Rabu, 30 Desember 2015

Mutia Yacob, Alamsyah Taher, Nizam Ismail: Jurnal Al-Mumtaz, Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2015, hal. 51-60

PENGARUH PENGGUNAAN  MODUL  KESEHATAN REPRODUKSI
PADA  SITUASI  DARURAT BENCANA TERHADAP  PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN SIKAP  MAHASISWA PRODI D-III KEBIDANAN 
POLTEKKES KEMENKES ACEH

Oleh:
Mutia Yacob¹, Alamsyah Taher ², Nizam Ismail³
                                                            
ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap bencana dan tidak dapat diperkirakan kapan terjadinya. Untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan akibat bencana maka perlu dilakukan fase persiapan menghadapi bencana, diantaranya pendidikan dan pelatihan penduduk untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap mereka tentang kesehatan reproduksi dalam situasi bencana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan modul kesehatan reproduksi pada situasi darurat bencana terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap mahasiswa Prodi D-III Kebidanan Poltekkes Kemenkes Aceh dalam menghadapi bencana. Penelitian Quasi exsperiment dengan menggunakan rancangan one group pretes posttest design terhadap 78 mahasiswa TK II Prodi D-III Kebidanan Poltekkes Kemenkes Banda Aceh. Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum intervensi adalah 11,73 dan sesudah intervensi meningkat menjadi 16,3. Nilai rata-rata sikap responden sebelum intervensi adalah 31,44 dan sesudah intervensi meningkat menjadi 34,00. Hasil uji Paired Sampel T Tes didapatkan P value = 0,0001 artinya ada perbedaan yang significan pengetahuan dan sikap responden sebelum dan sesudah intervensi. Maka kepada Direktur dan Ketua Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Aceh disarankan agar dapat menyediakan Poliklinik Khusus Kebencanaan di kampus dan selalu mengevaluasi penggunaan modul pembelajaran kesehatan reproduksi kebencanaan agar pemberian informasi dapat diterima dengan baik oleh mahasiswa.

Kata Kunci : Modul Kesehatan Reproduksi, Situasi Darurat Bencana, Pengetahuan, Sikap.



PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap bencana yang tidak dapat diperkirakan kapan terjadinya, namun dapat dapat dicegah (Kodoatie dan Syarief, 2010).
Departemen Kesehatan sebagai salah satu instansi pemerintah yang berperan dalam penanggulangan bencana, diharapkan agar lebih bersiap diri dalam menghadapi dampak bencana terhadap status kesehatan masyarakat pada umumnya dan status kesehatan reproduksi masyarakat pada khususnya. Selama ini banyak bantuan pelayanan kesehatan dalam situasi bencana, namun pelayanan tersebut masih terbatas pada penanganan masalah kesehatan secara umum. Untuk pelayanan kesehatan reproduksi dalam kondisi darurat, sering kali tidak tersedia karena tidak dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak dan bukan merupakan prioritas. Padahal dalam kondisi darurat, tetap saja ada ibu-ibu hamil yang membutuhkan pertolongan, tetap ada proses kelahiran yang tidak bisa ditunda, kebutuhan akan layanan keluarga berencana dan kebutuhan khusus perempuan (Depkes RI, 2008).
Profil Kemenkes RI (2013) menyebutkan bahwa di seluruh dunia, 15% sampai dengan 20% ibu hamil akan mengalami komplikasi selama kehamilan atau persalinan. Terdapat lebih dari 500.000 kematian ibu setiap tahun dengan 99% nya terjadi di Negara berkembang.
Dalam situasi bencana ibu hamil beresiko melahirkan sebelum waktunya (prematur), karena stres psikologis atau rangsangan fisik seperti gerakan-gerakan dan posisi yang dibebani abdomen ibu hamil. Risiko lainnya yang dihadapi ibu hamil adalah perdarahan yang disebabkan oleh luka pada tubuh ibu hamil, dampak bencana lain terjadinya pelepasan dini pada plasenta normal dan ruptur dini karna adanya luka abdomen, luka tembus dan fraktur pelvis (Kikoku,2009).
Menurut Depkes RI dan UNFPA (2008), 80% dari pengungsi  adalah perempuan dan anak-anak dan mereka rentan terhadap kekerasan seksual dan tertular infeksi menular seksual dan HIV. Hal ini didasarkan pada tidak dimilikinya rincian pelayanan dasar terhadap wanita, pria dan anak-anak terhadap akses kesehatan obat-obatan, termasuk kurangnya pasokan dasar (sandang-pangan-papan).
Di Indonesia, 97 kasus kekerasan berbasis gender dilaporkan kepada CSC (Community Support Center) selama Program Tsunami United Nation Fund For Population Activities (UNFPA) Aceh pada tahun 2005-2006. Hal ini digambarkan melalui data pada tahun 2004-2008 (Komnas Perempuan) berturut-turut adalah 14.020 kasus, 20.391 kasus, 22.517 kasus, 25,522 kasus, 54.425 kasus dan meningkat 263 % menjadi 143.586 pada tahun 2009 (IASC, 2005).
Menurut Kikoku (2009), untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan akibat bencana maka perlu dilakukan fase persiapan menghadapi bencana. Menurut PBB ada 9 kerangka fase pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana yaitu: (1) pengkajian terhadap kerentanan (2) membuat perencanaan (3) pengorganisasian (4) sistem informasi (5) kumpulan sumber daya (6) sistem alarm (7) mekanisme tindakan (8) pendidikan dan pelatihan penduduk (9) gladiresik.
Sesuai dengan konsep diatas maka pendidikan dan pelatihan merupakan faktor yang paling utama agar masyarakat siap menghadapi bencana. Salah satu media yang digunakan dalam pendidikan dan pelatihan adalah penggunaan modul. Menurut  Sukiman (2011) yang menyatakan bahwa modul adalah bagian kesatuan belajar yang terencana yang dirancang untuk membantu siswa secara individual dalam mencapai tujuan belajarnya. Siswa yang memiliki kecepatan tinggi dalam belajar akan lebih cepat menguasai materi. Sementara itu, siswa yang memiliki kecepatan rendah dalam belajar bisa belajar lagi dengan mengulangi bagian-bagian yang belum dipahami sampai paham.

KAJIAN KEPUSTAKAAN
Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,kerugian harta benda, dan dampak psikologis. UU Nomor 24 tahun 2007 menyebutkan bencana dibagi menjadi bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Penanggulangan Bencana (Disaster Management) adalah seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan penanggulangan bencana pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana mencakup tanggap darurat, pemulihan, pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan (UNFPA, 2010).
Tahapan bencana menurut Undang-Undang No. 24 tahun 2007 dibagi menjadi 3 tahap, meliputi :
1.    Pra Bencana. Tahap pra bencana, dibagi menjadi Fase kesiapan (situasi normal) dan Fase kesiapsiagaan (situasi dimana dinyatakan adanya potensi bencana). Perbedaan antara kedua situasi tersebut terletak pada kondisi masing-masing wilayah pada suatu waktu. Ketika pihak yang berwenang menyatakan bahwa suatu wilayah berpotensi akan terjadi suatu bencana maka situasi yang semula dinyatakan tidak terjadi bencana akan secara otomatis berubah menjadi situasi terdapat potensi bencana.
2.    Saat Tanggap Darurat
Keadaan yang mengancam nyawa individu dan kelompok masyarakat luas sehingga menyebabkan ketidakberdayaan yang memerlukan respon intervensi sesegera mungkin guna menghindari kematian dan atau kecacatan serta kerusakan lingkungan yang luas. Pedoman Penanggulangan Bencana di bidang kesehatan). Pada masa tanggap bencana ditandai dengan besarnya angka kematian kasar di daerah bencana sebesar ≥1 per 10,000 penduduk per hari. Status tanggap darurat akan ditentukan oleh pemerintah berdasarkan rekomendasi dari Badan Penanggulangan Bencana.
3.    Pasca Bencana
Transisi dari fase tanggap bencana ke fase pasca bencana tidak secara tegas dapat ditetapkan. Keadaan pasca bencana dapat digambarkan dengan keadaan Angka kematian sudah menurun hingga <1 10="" dan="" dari="" dasar="" dengan="" ditandai="" hari="" ke="" keamanan="" kebutuhan="" kembali="" kesehatan="" kondisi="" membaik="" mulai="" nbsp="" normal.="" o:p="" pelayanan="" penduduk="" per="" sudah="" terpenuhinya="">
Berdasarkan manual pelatihan PPAM jarak jauh/MISP distance learning-Reproductive Health in Crisis Situation dan buku Kesehatan Reproduksi Bagi Pengungsi. Tahapan bencana akan ditentukan oleh pemerintah berdasarkan rekomendasi dari Badan Penanggulangan Bencana (UNFPA, 2010)
Tiap-tiap fase bencana memiliki karakteristik/kondisi yang tertentu. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang berbeda untuk setiap tahapan bencana. Agar kegiatan dapat berjalan dengan terarah, maka rencana yang disusun oleh Tim Siaga Kesehatan Reproduksi harus bersifat spesifik untuk tiap tahapan bencana yaitu:

1.    Tahap Prabencana
Baik dalam situasi normal dan potensi bencana, dilakukan penyusunan Rencana kesiapsiagaan yang dapat dipergunakan untuk segala jenis bencana. Tindakan yang dilakukan adalah penyusunan rencana kesiapsiagaan kesehatan reproduksi pada setiap tingkat pemerintahan, mulai dari tingkat kabupaten/kota, propinsi dan tingkat pusat. Rencana Kesiapsiagaan adalah rencana kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (WHO, 2010).
Tujuan rencana Kesiapsiagaan adalah  membangun kesadaran stakeholder agar turut aktif dalam program penanganan bencana, memastikan koordinasi yang efektif dari respon bencana dan memastikan respon bencana yang cepat, tepat dan efisien melalui penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum untuk Kesehatan Reproduksi sejak fase awal bencana.
Waktu penyusunan pada kondisi normal sebelum terjadi bencana Rencana kesiapsiagaan disusun pada kondisi normal sebelum terjadi bencana dan harus direview dan direvisi secara berkala sesuai dengan perkembangan kondisi daerah setempat (minimal1 tahun sekali),  pada saat terdapat potensi bencana Rencana kesiapsiagaan harus disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Pada saat terdapat potensi bencana dimana sering terjadi perubahan kondisi daerah, maka frekuensi review dan revisi rencana kesiapsiagaan harus ditingkatkan. Disamping itu harus pula ditingkatkan persiapan operasionalisasi dari rencana kesiapsiagaan tersebut.
2.    Saat Tanggap Bencana
Pada Tahap Tanggap Bencana, dilakukan pengaktifan Rencana Operasi (Operational Plan) yang merupakan operasionalisasi Rencana Kesiapsiagaan. Tindakan yang dilakukan operasionalisasi dari rencana kesipasiagaan di bawah koordinasi koordinator tim siaga kesehatan reproduksi. Tujuan pelaksanaan tindakan operasional,  Untuk memberikan respon yang cepat, tepat dan sistematis segera setelah dan selama tanggap bencana, sehingga efek yang ditimbulkan bencana terhadap kesehatan reproduksi dapat seminimal mungkin.
3.    Pasca Bencana
Pada Tahap Pasca Bencana, dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan (Recovery Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi. Kegiatan difokuskan pada upaya pemulihan kondisi kesehatan reproduksi. Secara definisi pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dan difokuskan pada perencanaan pelaksanaan kesehatan reproduksi komprehensif. Pelayanan kespro komprehensif meliputi : KIA, KB,  IMS, HIV dan AIDS, Kesehatan Reproduksi Remaja, Kespro usia lanjut, kasus kekerasan berbasis gender termasuk kekerasan seksual.
Kegiatan Pemulihan ini meliputi kegiatan melakukan assessment untuk menilai kesiapan pelayanan Kesehatan Reproduksi sesuai kondisi normal. Penanggung jawab: Koordinator bidang data dan informasi. Data yang dikumpulkan meliputi: Validasi data penduduk pasca bencana (mengacu pada apendiks 3), lihat data-data awal kesehatan reproduksi sebelum bencana, mengidentifikasi sarana dan pra sarana (fasilitas kesehatan, ketersediaan staf, termasuk ketersediaan alat dan bahan) yang dapat direhabilitasi dan dikembangkan untuk pelaksanaan pelayanan yang komprehensif terpadu, perencanaan pelaksanaan Kesehatan Reproduksi komprehensif terpadu Perencanaan disusun berdasarkan hasil dari proses assessment. Komponen perencanaan meliputi : sumber daya manusia, fasilitas, alat dan bahan, anggaran dan pelaksanaan upaya pemulihan kesehatan reproduksi. operasionalisasi dari perencanaan pelaksanaan kespro komprehensif terpadu (WHO, 2010).

Pengetahuan (Knowleadge)
Pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau didasari oleh seseorang. Pengetahuan tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan indrawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indra atau akal budinya untuk mengenali benda / kejadian tertentu yang belum pernah dilihat ataupun dirasakan sebelumnya (Meliono, 2007).

Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Seorang ahli psikologi sosial yang bernama Newcomb mengungkapkan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan sebagai pelaksana motif tertentu (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Azhar (2006) sikap dapat dibedakan atas karakteristik sebagai berikut:
1.    Sikap positif, adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui serta berniat melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.
2.    Sikap negatif, adalah sikap yang menunjukkan penolakan terhadap suatu norma yang berlaku dimana individu itu berada.

Modul
Modul merupakan bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa, sesuai usia dan tingkat pengetahuan mereka agar mereka dapat belajar secara mandiri dengan bimbingan minimal dari pendidik (Prastowo, 2012).
Modul yang dikembangkan harus memiliki karakteristik yang diperlukan sebagai modul agar mampu menghasilkan modul yang mampu meningkatkan motivasi penggunannya. Menurut Ariantoni (2009), modul yang akan dikembangkan harus memperhatikan lima karaktersistik sebuah modul yaitu self instruction, self contained, stand alone, adaptif, dan userfriendly.
1.    Self Instruction, siswa dimungkinkan belajar secara mandiri dan tidak tergantung pada pihak lain. Self Intruction dapat terpenuhi jika modul tersebut: memuat tujuan pembelajaran yang jelas; materi pembelajaran dikemas dalam unit-unit kegiatan yang kecil/spesifik; ketersediaan contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan pemaparan materi pembelajaran; terdapat soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya; kontekstual; bahasanya sederhana dan komunikatif; adanya rangkuman materi pembelajaran; adanya instrumen penilaian mandiri (self assessment); adanya umpan balik atas penilaian siswa; dan adanya informasi tentang rujukan.
2.    Self Contained, seluruh materi pembelajaran yang dibutuhkan termuat dalam modul tersebut. Karakteristik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajran secara tuntas.
3.    Stand Alone, modul yang dikembangkan tidak tergantung pada bahan ajar lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan bahan ajar lain. Siswa tidak perlu bahan ajar lain untuk mempelajari atau mengerjakan tugas pada modul tersebut.
4.    User Friendly, (bersahabat/akrab), modul memiliki instruksi dan paparan informasi bersifat sederhana, mudah dimengerti, serta menggunakan istilah yang umum digunakan. Penggunaan bahasa sederhana dan penggunaaan istilah yang umum digunakan merupakan salah satu bentuk user friendly.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metoda Quasi exsperiment dengan rancangan one group pretes posttest design yaitu eksperimen yang dilakukan pada suatu kelompok tanpa kelompok pembanding. Penelitian ini dilakukan sebanyak 2 kali yaitu sebelum eksperimen (pre test) dan sesudah ekperimen (post test) dengan suatu kelompok subjek. 
Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa kuesioner yang berisi pernyataan  terdiri dari pertanyaan pre test dan post test diberikan pada mahasiswa dengan jumlah soal pada variabel pengetahuan 20 soal dan pada variabel sikap berjumlah 10 soal. Pada saat pretes mahasiswa hanya diberikan kuesioner lalu dilihat hasilnya, dan dilakukan pemberian kuesioner ulang setelah intervensi dengan menggunakan modul kesehatan reproduksi dalam situasi bencana dengan metode pembelajaran ceramah sebanyak 4 kali pertemuan atau 4X100 menit.

HASIL PEMBAHASAN
            Penelitian dilakukan terhadap 78 orang mahasiswa Prodi D-III Kebidanan Poltekkes Kemenkes Aceh dengan distribusi data responden seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1.        Identitas Responden di Prodi D-III Kebidanan Poltekkes Kemenkes Aceh (n=78)
No
Variabel
f
      %

Umur


1.
18 tahun
13
  16,7
2.
19 tahun
61
  78,2

Kelas


1.
A
39
  50,0
2
B
39
  50,0

Jumlah
78
100,0

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 19 tahun (78,2%) dan responden adalah Mahasiswa kelas A dan B masing-masing 39 orang perkelas.

Pengetahuan
Hasil analisis nilai variabel pengetahuan sebelum dan sesudah intervensi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.


Tabel 1.    Nilai Pengetahuan Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi di Prodi D-III Kebidanan  Poltekkes Kemenkes Aceh.
No
Pengetahuan
N
Mean
SD
SE
1.
Sebelum
78
11,73
2,260
 0,256
2.
Sesudah
78
16,31
2,689
 0,304
 
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum intervensi dengan modul kebencanaan adalah 11,73 dengan nilai SD 2,260 dan sesudah intervensi meningkat menjadi 16,31 dengan nilai SD 2,689. 
Hasil uji menunjukkan terjadi peningkatan nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan intervensi dengan modul Kesehatan Reproduksi tentang kebencanaan. 
Secara lebih rinci, distribusi persentase jawaban responden pada masing-masing item pertanyaan sebelum dan sesudah intervensi, seperti yang ditunjukkan oleh gambar berikut :
 
Gbr 4.1. Distribusi Jawaban Pengetahuan Responden  Per Item Soal

Distribusi jawaban responden pada masing-masing item pertanyaan  didapatkan  bahwa adanya perubahan nilai pengetahuan setelah dilakukan intervensi. Perubahan nilai tertinggi terdapat pada pertanyaan tentang jenis dan jadwal pemberian KIT, terjadi peningkatan jawaban benar hingga 64%. Sementara, pertanyaan yang sulit dijawab dengan benar terdapat pada item soal tentang faktor resiko penularan Penyakit Menular Seksual. Hal ini disebabkan karena informasi tentang konsep pengetahuan tersebut masih asing dan sulit difahami oleh sebagian besar responden.
Hasil penelitian juga ditemukan 3 (tiga) item soal jawaban  yang menurun  kearah negatif yaitu pertanyaan tentang waktu yang tepat untuk melakukan skrining, pelayanan kesehatan reproduksi yang dilakukaan saat bencana dan masalah yang akan timbul bila berada lama di pengungsian. Hasil evaluasi menunjukkan penurunan pemahaman responden ini disebabkan karena metode pengajaran saat pre test kurang memberikan penekanan kepada ke 3 item pertanyaan tersebut sehingga membingungkan mahasiswa dalam menjawab pertanyaan tersesbut.



Hasil analisis bivariat dengan uji Paired T Test terhadap kedua kelompok sebelum dan sesudah diberikan intervensi adalah sebagai berikut:
Tabel 4.3.   Hasil Uji T Dependen Pengetahuan Responden Sebelum  dan Sesudah Intervensi
Variabel

N
Mean
SD
SE
P  value
Pengetahuan
Sebelum – Sesudah Intervensi
78
-4,577
3,822
0,433
0,000



Hasil uji T dependen dengan Paired Sample T Test terhadap variabel pengetahuan menunjukkan bahwa selisih nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum dan sesudah intervensi adalah -4,577 dengan SD 3,822.  Hasil uji didapatkan nilai t test =  -10,575 dengan nilai p=0,000 (p<0 ada="" adalah="" artinya="" baik="" dan="" daripada="" dengan="" ditemukan="" ditolak="" h0="" intervensi="" kebencanaan.="" lebih="" menggunakan="" modul="" negatif="" nilai="" o:p="" pengetahuan="" perbedaan="" post="" pre="" responden="" sangat="" sebelum="" sehingga="" sesudah="" signifikan="" t="" test.="" test="" yang="">
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Munawarah (2014) dengan judul strategi pelayanan kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana di Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie. Faktor yang dominan mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan adalah sumber daya manusia (p=0,027) dan fasilitas kesehatan (p=0,001).
Untuk mendukung hasil penelitian tersebut, penggunaan modul adalah salah satu media yang berpengaruh dalam meningkatkan kualitas tenaga kesehatan atau sumber daya manusia dibidang kesehatan. Modul yang digunakan dalam penelitian ini adalah modul yang dilengkapi dengan gambar yang menarik perhatian responden.
Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian Rostaviani dan Handayani (2012) dengan judul pengetahuan dan sikap dan perilaku seksual remaja sebelum dan sesudah mendapatkan promosi kesehatan reproduksi dikelurahan Cipedas Bandung didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukannya intervensi dengan nilai significan p<0 ada="" bermakna="" dan="" dengan="" dilakukannya="" intervensi="" nilai="" p="" pada="" perbedaan="" sebelum="" sedangkan="" sesudah="" significan="" sikap="" tidak="" yang="">0,05. Adapun untuk perilaku tidak dilihat perbedaannya.
Lebih lanjut Notoatmodjo (2013) menyebutkan pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Oleh karena itu, penggunaan modul adalah salah satu media yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan responden melalui rangsangan indera penglihatan dan pendengaran. Lebih lanjut Notoatmodjo (2013) juga menjelaskan bahwa media pada hakikatnya adalah alat bantu dalam menyampaikan informasi.
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media cetak. Keuntungan dari media cetak adalah dapat mengaktfikan 2 indera manusia yaitu indera penglihatan dan pendengaran. Menurut Meliono (2007), pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan indrawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indra atau akal budinya untuk mengenali benda / kejadian tertentu yang belum pernah dilihat ataupun dirasakan sebelumnya.
Penggunaan modul yang menarik dapat merangsang rasa ingin tahu individu terhadap suatu objek, karena itu modul harus disiapkan sedemikian rupa agar lebih menarik dan merangsang indera penglihatan manusia untuk memperhatikan isi dari informasi yang akan disampaikan. 

4.3. Sikap
Hasil penelitian variabel sikap responden sebelum dan sesudah intervensi dapat  dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.4.        Nilai Sikap Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi di Prodi D-III Kebidanan Poltekkes Kemenkes Aceh.
No
Sikap
N
Mean
SD
SE
1.
Sebelum
78
31,44
5,186
 0,587
2.
Sesudah
78
34,00
2,787
 0,316

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata sikap responden sebelum intervensi dengan modul kebencanaan adalah 31,44 dengan nilai SD 5,186 dan sesudah intervensi meningkat menjadi 34,00 dengan nilai SD 2,787.
Distribusi jawaban sikap responden pada masing-masing item pertanyaan sebelum dan sesudah intervensi, dimana terjadi peningkatan sikap responden kearah positif setelah diberikan intervensi, seperti yang ditunjukkan oleh gambar berikut ini.
Gambar 4.2. Distribusi Jawaban Sikap Reponden Per Item Pertanyaan


Distribusi jawaban responden pada masing-masing item soal menunjukkan bahwa nilai sikap tertinggi diperoleh untuk item soal tentang pendapat responden sebagai calon petugas kesehatan pada situasi darurat bencana dalam melindungi diri dari penularan penyakit infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa sikap responden tentang kesehatan reproduksi dalam situasi bencana sudah kearah yang positif terlebih kesiapan mereka sebagai calon petugas kesehatan.
Namun, hasil penelitian juga ditemukan penurunan sikap responden ke arah negatif  yaitu pada item soal tentang pentingnya informasi kesehatan reproduksi  bagi remaja. Mereka berpendapat bahwa informasi tentang kesehatan reproduksi yang paling penting harus dimiliki oleh ibu hamil dan ibu menyusui, sehingga remaja bukan menjadi skala prioritas utama.



Hasil analisis bivariat dengan uji T dependen terhadap variabel sikap dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.4.        Hasil Uji T Dependen Sikap Responden Sebelum  dan Sesudah Intervensi
Variabel

N
Mean
SD
SE
P-value
Sikap
Sebelum – Sesudah Intervensi
78
-2,564
5,792
0,656
0,000



Hasil penelitian menunjukkan bahwa selisih nilai rata-rata sikap responden sebelum dan sesudah intervensi adalah -2,564 dengan SD 5,792.  Hasil uji didapatkan nilai t test -3,910 dengan nilai p=0,000 (p<0 ada="" adalah="" artinya="" baik="" dan="" daripada="" dengan="" ditemukan="" ditolak="" h0="" intervensi="" kebencanaan.="" lebih="" menggunakan="" modul="" negatif="" nilai="" o:p="" perbedaan="" post="" pre="" responden="" sangat="" sebelum="" sehingga="" sesudah="" signifikan="" sikap="" t="" test.="" test="" yang="">
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Citrawathi, Adhnyana dan Maryam (2010) dengan judul Penggunaan Modul Kesehatan Reproduksi remaja berwawasan STM dengan Modul Pembelajaran Kooperatif  JIGSAW untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMA di Singaraja. Hasil penelitian didapatkan penerapan modul kesehatan reproduksi ternyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang meliputi aspek kognitif, sikap, dan keterampilan proses, serta berpengaruh positif terhadap keterampilan kooperatif siswa.
Menurut peneliti, penggunaan modul juga dapat mempengaruhi perubahan sikap mahasiswa kearah posisitf.  Perubahan sikap ini sangat penting, karena sikap yang baik sangat mempengaruhi terhadap perilaku yang baik. Sikap yang positif akan mendukung seseorang berperilaku yang benar dalam meningkatkan kesehatan reproduksinya meskipun dalam situasi bencana.
Menurut Budiarto (2002) sikap dapat dibedakan atas karakteristik sebagai berikut sikap positif, adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui serta berniat melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada. Sikap negatif, adalah sikap yang menunjukkan penolakan terhadap suatu norma yang berlaku dimana individu itu berada.
Remaja terutama mahasiswa Prodi D III Kebidanan Banda Aceh selaku calon petugas kesehatan perlu mengetahui tentang kesehatan reproduksi agar mereka memiliki informasi yang benar mengenai menjaga kesehatan reproduksinya karena dengan informasi yang benar, diharapkan remaja mampu menunjukkan sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab sehingga dapat melakukan berbagai pencegahan seperti pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) dalam situasi bencana terutama di pengungsian.
KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan terjadi peningkatan nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum (11,73) dan sesudah intervensi (16,3) dengan modul kebencanaan. Juga terjadi peningkatan nilai rata-rata sikap responden sebelum intervensi (31,44) dan sesudah intervensi (34,00).
Hasil uji Paired Sample T Test didapatkan ada perbedaan yang sangat signifikan pengetahuan dan sikap responden sebelum dan sesudah intervensi dengan nilai p=0,0001.

SARAN
Kepada Dinas Kesehatan Provinsi Aceh disarankan dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan tentang kesehatan reproduksi dalam situasi bencana melalui pelatihan dan seminar kesehatan. Kepada pemerintah daerah Provinsi Aceh agar mengalokasi dana khusus dalam kegiatan promosi kesehatan tentang kebencanaan khususnya bidang kesehatan reproduksi. Kepada Direktur dan Ketua Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Aceh disarankan agar dapat menyediakan Poliklinik Khusus Kebencanaan di Kampus Kebidanan dan selalu mengevaluasi penggunaan modul pembelajaran kesehatan reproduksi kebencanaan agar pemberian informasi dapat diterima dengan baik oleh mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim2013. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 Nomor 66. Jakarta.
Anonim, 2013. Hubungan Bencana dan Pembangunan, Simposium Nasional Kedua Manajemen Risiko Bencana Berbasis Masyarakat. Jakarta. Masyarakat Peduli Bencana Indonesia (MPBU). Palang Merah Indonesia (PMI). International Red Cross.
Anonim, 2013. Pendidikan Seks Efektifkah. http//lifestyle.okezone.com/read/2015/ 02/24/196/30666.  Jakarta. ECG (dikutip 15 Mei 2015).
Ariantoni, 2009. Modul Pelatihan Pengintegrasian Pengurangan Resiko Bencana (PRB) ke dalam Sistem Pendidikan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional
Arsyad, S. 2006. Media Pembelajaran. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Budiarto, 2002. Pengantar Statistik Jilid I. Tarsito. Bandung
BKKBN.2000. Panduan Pengelolaan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Jakarta. Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi
Citrawati, Adhnyana dan Maryam (2010), Penggunaan Modul Kesehatan Reproduksi Remaja Berwawasan Stm Dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMA,, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan ISSN 1979-7109 Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Volume 4, Nomor 1, April 2010 (dikutip 2 Oktober 2015).
 Depkes RI dan UNFPA. 2008. Pedoman Praktis Kesehatan Reproduksi pada Penanggulangan Bencana di Indonesia. Jakarta.
Inter agency Standing Committee (IASC). 2005. Focusing on prevention of and Response to Sexual Violence in Emergencies. Guidelines for Gender-based Violence Intervention in Humanitarian.
Inter agency Working Group on Reproductive Health in Crises (IWGRHC). 2010. Buku Panduan Lapangan antar Lembaga Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana. Revisi untuk Peninauan. Jakarta. Inter agency Working Group on Reproductive Health in Crises.
Kemenkes RI. 2013. Untuk Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Kematian Bayi Perlu Kerja Keras. http/ depkes.go.id/index.php//berita/press-klease/793. Untuk menurunkan-angka kematian-Ibu-dan kematian bayi-perlu-kerja-keras) (dikutip 12 Maret 2015).
Kemenkes RI, 2013. Standar Pelayanan Kebidanan. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan R.I Nomor 1357/Menkes/SK/12/2001, tentang Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan akibat Bencana dan Penananganan Pengungsi, Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan
Kikoku. 2012. Keperawatan bencana (terjemahan oleh Zailani dkk). Banda Aceh  (Japanese Red Cross Society).
Kodoatie dan Syarief. 2010. Tata Ruang Air Pengelolaan Bencana, Pengelolaan Infastruktur, Penataan Ruang Wilayah, Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta.
Meliono. 2007. MPKT Modul I. Jakarta. Lembaga Penerbit FEUI.
Munawarah, Siti. 2014. Strategi Pelayanan Kesehatan Reproduksi Dalam Situasi Darurat Bencana Di Dinas Kesehatan. Banda Aceh. Magister Ilmu Kebencanaan PPS Unsyiah.
Notoatmodjo, S.  2010.  Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta. 
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2013. Pengantar pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Depok, BPKM FKM. UI.
Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan, Ilmu Perilaku dan Sikap. Jakarta. Rineka Cipta.
Prastowo. 2012 . Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta:  Diva Press.
Rostaviani dan Handayani. 2012. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Seksual Sebelum Dan Sesudah Mendapatkan Promosi Kesehatan Reproduksi Di Kelurahan Cipedes: Jurnal Pendidikan Bidan (the jouernal of midwifery education) : mo-KTI-0412-2012.
Sukiman. 2012. Pengembangan Media Pembelajaran. Yogyakarta. Pedajogja
UNFPA. 2010. Pedoman Lapangan Antar Lembaga Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana: Revisi untuk Peninjauan Lapangan. Jakarta. UNFPA
UNFPA, IPPF, UNSW. 2009. Fasilitor’s Manual : Training on the Minimum Initial Service Package (MSIP) for Sexual and Reproductive Health in Crises, A Course fo SRH Coordinators.
UNFPA dan WHO. 2008. Pedoman Praktis Kesehatan Reproduksi pada Penanggulangan Bencana di Indonesia. Jakarta. Dpartemen Kesehatan RI dan UNFPA
UU No 24 tahun 2007, Penanggulangan Bencana, www.bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/1. pdf (dikutip 2 Oktober 2015)
UU No 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, www.kemenag.go.id (dikutip 2 Oktober 2015)
WHO. 2010. Kesehatan Reproduksi Bagi Pengungsi. Pedoman Implementasi Bagi Pengelola Program. Jakarta: WHO dan Depkes.
Widyastuti. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta. Fitramaya

Women Commision. 2007. Paket Pelayanan Awal Minimum Untuk Kesehatan Reproduksi Dalam Situasi Krisis. Modul pembelajaran jarak jauh. http:/ / www.womenscommission.org. diunduh tanggal 10 April 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar