PENGARUH
PENGGUNAAN MODUL KESEHATAN
REPRODUKSI
PADA SITUASI DARURAT
BENCANA TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN
SIKAP MAHASISWA PRODI D-III KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES ACEH
Oleh:
Mutia
Yacob¹, Alamsyah Taher ², Nizam Ismail³
ABSTRAK
Indonesia
merupakan salah satu negara yang rawan terhadap bencana dan tidak dapat
diperkirakan kapan terjadinya. Untuk meminimalisir
kerugian yang ditimbulkan akibat bencana maka perlu dilakukan fase persiapan
menghadapi bencana, diantaranya pendidikan dan pelatihan penduduk untuk
meningkatkan pengetahuan dan sikap mereka tentang kesehatan reproduksi dalam
situasi bencana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan
modul kesehatan reproduksi pada situasi darurat bencana terhadap peningkatan
pengetahuan dan sikap mahasiswa Prodi D-III Kebidanan Poltekkes Kemenkes Aceh
dalam menghadapi bencana. Penelitian Quasi exsperiment dengan menggunakan
rancangan one group pretes posttest design terhadap
78 mahasiswa TK II Prodi D-III Kebidanan Poltekkes Kemenkes Banda Aceh. Hasil
penelitian menunjukkan nilai rata-rata pengetahuan responden sebelum intervensi
adalah 11,73 dan sesudah intervensi meningkat menjadi 16,3. Nilai rata-rata
sikap responden sebelum intervensi adalah 31,44 dan sesudah intervensi meningkat
menjadi 34,00. Hasil uji Paired Sampel T Tes didapatkan P value = 0,0001
artinya ada perbedaan yang significan pengetahuan dan sikap responden sebelum
dan sesudah intervensi. Maka kepada Direktur dan Ketua Jurusan Kebidanan
Poltekkes Kemenkes Aceh disarankan agar dapat menyediakan Poliklinik Khusus
Kebencanaan di kampus dan selalu mengevaluasi penggunaan modul pembelajaran
kesehatan reproduksi kebencanaan agar pemberian informasi dapat diterima dengan
baik oleh mahasiswa.
Kata Kunci :
Modul Kesehatan Reproduksi, Situasi
Darurat Bencana, Pengetahuan, Sikap.
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan salah satu negara yang rawan terhadap bencana yang tidak dapat diperkirakan
kapan terjadinya, namun dapat dapat dicegah (Kodoatie dan Syarief, 2010).
Departemen Kesehatan sebagai salah satu
instansi pemerintah yang berperan dalam penanggulangan bencana, diharapkan agar
lebih bersiap diri dalam menghadapi dampak bencana terhadap status kesehatan
masyarakat pada umumnya dan status kesehatan reproduksi masyarakat pada khususnya.
Selama ini banyak bantuan pelayanan kesehatan dalam situasi bencana, namun
pelayanan tersebut masih terbatas pada penanganan masalah kesehatan secara
umum. Untuk
pelayanan kesehatan reproduksi dalam kondisi darurat, sering kali tidak
tersedia karena tidak dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak dan bukan
merupakan prioritas. Padahal dalam kondisi darurat, tetap saja ada ibu-ibu
hamil yang membutuhkan pertolongan, tetap ada proses kelahiran yang tidak bisa
ditunda, kebutuhan akan layanan keluarga berencana dan kebutuhan khusus
perempuan (Depkes RI,
2008).
Profil Kemenkes RI (2013) menyebutkan bahwa di seluruh dunia, 15% sampai dengan 20% ibu
hamil akan mengalami komplikasi selama kehamilan atau persalinan. Terdapat
lebih dari 500.000 kematian ibu setiap tahun dengan 99% nya terjadi di Negara
berkembang.
Dalam situasi bencana ibu hamil beresiko melahirkan sebelum waktunya
(prematur), karena stres psikologis atau rangsangan fisik seperti
gerakan-gerakan dan posisi yang dibebani abdomen ibu hamil. Risiko lainnya yang
dihadapi ibu hamil adalah perdarahan yang disebabkan oleh luka pada tubuh ibu
hamil, dampak bencana lain terjadinya pelepasan dini pada plasenta normal dan
ruptur dini karna adanya luka abdomen, luka tembus dan fraktur pelvis
(Kikoku,2009).
Menurut Depkes
RI dan UNFPA (2008), 80% dari pengungsi adalah perempuan dan
anak-anak dan mereka rentan terhadap kekerasan seksual dan tertular infeksi menular
seksual dan HIV. Hal ini didasarkan pada tidak dimilikinya rincian pelayanan
dasar terhadap wanita, pria dan anak-anak terhadap akses kesehatan obat-obatan,
termasuk kurangnya pasokan dasar (sandang-pangan-papan).
Di
Indonesia, 97 kasus kekerasan berbasis gender dilaporkan kepada CSC (Community
Support Center) selama Program Tsunami United Nation Fund For Population
Activities (UNFPA) Aceh pada tahun 2005-2006. Hal ini digambarkan melalui data
pada tahun 2004-2008 (Komnas Perempuan) berturut-turut adalah 14.020 kasus,
20.391 kasus, 22.517 kasus, 25,522 kasus, 54.425 kasus dan meningkat 263 %
menjadi 143.586 pada tahun 2009 (IASC, 2005).
Menurut Kikoku (2009), untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana maka perlu dilakukan fase persiapan menghadapi bencana. Menurut PBB ada
9 kerangka fase pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana yaitu: (1)
pengkajian terhadap kerentanan (2) membuat perencanaan (3) pengorganisasian (4)
sistem informasi (5) kumpulan sumber daya (6) sistem alarm (7) mekanisme
tindakan (8) pendidikan dan pelatihan penduduk (9) gladiresik.
Sesuai dengan konsep diatas maka pendidikan dan pelatihan merupakan faktor
yang paling utama agar masyarakat siap menghadapi bencana. Salah satu media
yang digunakan dalam pendidikan dan pelatihan adalah penggunaan modul.
Menurut Sukiman (2011) yang menyatakan bahwa modul
adalah bagian kesatuan belajar yang terencana yang dirancang untuk membantu
siswa secara individual dalam mencapai tujuan belajarnya. Siswa yang memiliki
kecepatan tinggi dalam belajar akan lebih cepat menguasai materi. Sementara
itu, siswa yang memiliki kecepatan rendah dalam belajar bisa belajar lagi
dengan mengulangi bagian-bagian yang belum dipahami sampai paham.
KAJIAN KEPUSTAKAAN
Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. UU Nomor 24 tahun 2007 menyebutkan bencana dibagi menjadi bencana alam, bencana non alam dan
bencana sosial. Penanggulangan Bencana (Disaster Management) adalah
seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan penanggulangan bencana pada
sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana mencakup tanggap darurat, pemulihan,
pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan (UNFPA, 2010).
Tahapan bencana menurut Undang-Undang No. 24 tahun 2007 dibagi menjadi 3
tahap, meliputi :
1.
Pra Bencana. Tahap pra bencana, dibagi menjadi Fase kesiapan (situasi normal)
dan Fase kesiapsiagaan (situasi dimana dinyatakan adanya potensi bencana).
Perbedaan antara kedua situasi tersebut terletak pada kondisi masing-masing
wilayah pada suatu waktu. Ketika pihak yang berwenang menyatakan bahwa suatu
wilayah berpotensi akan terjadi suatu bencana maka situasi yang semula
dinyatakan tidak terjadi bencana akan secara otomatis berubah menjadi situasi
terdapat potensi bencana.
2.
Saat Tanggap Darurat
Keadaan yang
mengancam nyawa individu dan kelompok masyarakat luas sehingga menyebabkan
ketidakberdayaan yang memerlukan respon intervensi sesegera mungkin guna
menghindari kematian dan atau kecacatan serta kerusakan lingkungan yang luas.
Pedoman Penanggulangan Bencana di bidang kesehatan). Pada masa tanggap bencana
ditandai dengan besarnya angka kematian kasar di daerah bencana sebesar ≥1 per
10,000 penduduk per hari. Status tanggap darurat akan ditentukan oleh
pemerintah berdasarkan rekomendasi dari Badan Penanggulangan Bencana.
3.
Pasca Bencana
Transisi dari fase
tanggap bencana ke fase pasca bencana tidak secara tegas dapat ditetapkan.
Keadaan pasca bencana dapat digambarkan dengan keadaan Angka kematian sudah
menurun hingga <1 10="" dan="" dari="" dasar="" dengan="" ditandai="" hari="" ke="" keamanan="" kebutuhan="" kembali="" kesehatan="" kondisi="" membaik="" mulai="" nbsp="" normal.="" o:p="" pelayanan="" penduduk="" per="" sudah="" terpenuhinya="">1>
Berdasarkan manual pelatihan PPAM jarak jauh/MISP distance
learning-Reproductive Health in Crisis Situation dan buku Kesehatan
Reproduksi Bagi Pengungsi. Tahapan bencana akan ditentukan oleh pemerintah
berdasarkan rekomendasi dari Badan Penanggulangan Bencana (UNFPA, 2010)
Tiap-tiap fase bencana memiliki karakteristik/kondisi yang
tertentu. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang berbeda untuk setiap
tahapan bencana. Agar kegiatan dapat berjalan dengan terarah, maka rencana yang
disusun oleh Tim Siaga Kesehatan Reproduksi harus bersifat spesifik untuk tiap
tahapan bencana yaitu:
1. Tahap
Prabencana
Baik dalam situasi normal dan potensi bencana, dilakukan
penyusunan Rencana kesiapsiagaan yang dapat dipergunakan untuk segala jenis
bencana. Tindakan yang dilakukan adalah penyusunan rencana kesiapsiagaan
kesehatan reproduksi pada setiap tingkat pemerintahan, mulai dari tingkat
kabupaten/kota, propinsi dan tingkat pusat. Rencana Kesiapsiagaan adalah
rencana kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (WHO,
2010).
Tujuan rencana Kesiapsiagaan adalah membangun kesadaran stakeholder agar turut
aktif dalam program penanganan bencana, memastikan koordinasi yang efektif dari
respon bencana dan memastikan respon bencana yang cepat, tepat dan efisien
melalui penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum untuk Kesehatan Reproduksi sejak
fase awal bencana.
Waktu penyusunan pada kondisi normal sebelum terjadi bencana
Rencana kesiapsiagaan disusun pada kondisi normal sebelum terjadi bencana dan
harus direview dan direvisi secara berkala sesuai dengan perkembangan kondisi
daerah setempat (minimal1 tahun sekali),
pada saat terdapat potensi bencana Rencana kesiapsiagaan harus
disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Pada saat terdapat potensi bencana
dimana sering terjadi perubahan kondisi daerah, maka frekuensi review dan
revisi rencana kesiapsiagaan harus ditingkatkan. Disamping itu harus pula ditingkatkan
persiapan operasionalisasi dari rencana kesiapsiagaan tersebut.
2. Saat
Tanggap Bencana
Pada Tahap Tanggap Bencana, dilakukan pengaktifan Rencana Operasi
(Operational Plan) yang merupakan operasionalisasi Rencana Kesiapsiagaan.
Tindakan yang dilakukan operasionalisasi dari rencana kesipasiagaan di bawah
koordinasi koordinator tim siaga kesehatan reproduksi. Tujuan pelaksanaan
tindakan operasional, Untuk memberikan
respon yang cepat, tepat dan sistematis segera setelah dan selama tanggap
bencana, sehingga efek yang ditimbulkan bencana terhadap kesehatan reproduksi
dapat seminimal mungkin.
3. Pasca
Bencana
Pada Tahap Pasca Bencana, dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan
(Recovery Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi. Kegiatan
difokuskan pada upaya pemulihan kondisi kesehatan reproduksi. Secara definisi
pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat
dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali
kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi dan
rekonstruksi dan difokuskan pada perencanaan pelaksanaan kesehatan reproduksi
komprehensif. Pelayanan kespro komprehensif meliputi : KIA, KB, IMS, HIV dan AIDS, Kesehatan Reproduksi
Remaja, Kespro usia lanjut, kasus kekerasan berbasis gender termasuk kekerasan
seksual.
Kegiatan Pemulihan ini meliputi kegiatan melakukan assessment
untuk menilai kesiapan pelayanan Kesehatan Reproduksi sesuai kondisi normal.
Penanggung jawab: Koordinator bidang data dan informasi. Data yang dikumpulkan
meliputi: Validasi data penduduk pasca bencana (mengacu pada apendiks 3), lihat
data-data awal kesehatan reproduksi sebelum bencana, mengidentifikasi sarana
dan pra sarana (fasilitas kesehatan, ketersediaan staf, termasuk ketersediaan
alat dan bahan) yang dapat direhabilitasi dan dikembangkan untuk pelaksanaan
pelayanan yang komprehensif terpadu, perencanaan pelaksanaan Kesehatan
Reproduksi komprehensif terpadu Perencanaan disusun berdasarkan hasil dari
proses assessment. Komponen perencanaan meliputi : sumber daya manusia,
fasilitas, alat dan bahan, anggaran dan pelaksanaan upaya pemulihan kesehatan
reproduksi. operasionalisasi dari perencanaan pelaksanaan kespro komprehensif
terpadu (WHO, 2010).
Pengetahuan (Knowleadge)
Pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau didasari oleh
seseorang. Pengetahuan tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori,
prinsip dan prosedur. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala
yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan indrawi. Pengetahuan
muncul ketika seseorang menggunakan indra atau akal budinya untuk mengenali
benda / kejadian tertentu yang belum pernah dilihat ataupun dirasakan
sebelumnya (Meliono, 2007).
Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi
atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek.
Seorang ahli psikologi sosial yang bernama Newcomb mengungkapkan bahwa sikap
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan sebagai pelaksana
motif tertentu (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Azhar (2006) sikap dapat dibedakan atas karakteristik
sebagai berikut:
1.
Sikap
positif, adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui,
menyetujui serta berniat melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu
itu berada.
2.
Sikap
negatif, adalah sikap yang menunjukkan penolakan terhadap suatu norma yang
berlaku dimana individu itu berada.
Modul
Modul merupakan bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan
bahasa yang mudah dipahami oleh siswa, sesuai usia dan tingkat pengetahuan
mereka agar mereka dapat belajar secara mandiri dengan bimbingan minimal dari
pendidik (Prastowo, 2012).
Modul yang dikembangkan harus memiliki karakteristik yang
diperlukan sebagai modul agar mampu menghasilkan modul yang mampu meningkatkan
motivasi penggunannya. Menurut Ariantoni (2009), modul yang akan dikembangkan
harus memperhatikan lima karaktersistik sebuah modul yaitu self instruction,
self contained, stand alone, adaptif, dan userfriendly.
1.
Self Instruction, siswa dimungkinkan
belajar secara mandiri dan tidak tergantung pada pihak lain. Self Intruction
dapat terpenuhi jika modul tersebut: memuat tujuan pembelajaran yang jelas;
materi pembelajaran dikemas dalam unit-unit kegiatan yang kecil/spesifik;
ketersediaan contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan pemaparan materi
pembelajaran; terdapat soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya; kontekstual;
bahasanya sederhana dan komunikatif; adanya rangkuman materi pembelajaran;
adanya instrumen penilaian mandiri (self assessment); adanya umpan balik
atas penilaian siswa; dan adanya informasi tentang rujukan.
2.
Self Contained, seluruh materi
pembelajaran yang dibutuhkan termuat dalam modul tersebut. Karakteristik ini
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajran secara
tuntas.
3.
Stand Alone, modul yang
dikembangkan tidak tergantung pada bahan ajar lain atau tidak harus digunakan
bersama-sama dengan bahan ajar lain. Siswa tidak perlu bahan ajar lain untuk
mempelajari atau mengerjakan tugas pada modul tersebut.
4.
User Friendly, (bersahabat/akrab),
modul memiliki instruksi dan paparan informasi bersifat sederhana, mudah
dimengerti, serta menggunakan istilah yang umum digunakan. Penggunaan bahasa
sederhana dan penggunaaan istilah yang umum digunakan merupakan salah satu
bentuk user friendly.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metoda Quasi exsperiment dengan rancangan one group pretes posttest design yaitu eksperimen yang dilakukan
pada suatu kelompok tanpa kelompok pembanding. Penelitian ini dilakukan
sebanyak 2 kali yaitu sebelum eksperimen (pre test) dan sesudah ekperimen (post
test) dengan suatu kelompok subjek.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa kuesioner yang
berisi pernyataan terdiri dari
pertanyaan pre test dan post test diberikan pada mahasiswa dengan jumlah soal
pada variabel pengetahuan 20 soal dan pada variabel sikap berjumlah 10 soal.
Pada saat pretes mahasiswa hanya diberikan kuesioner lalu dilihat hasilnya, dan
dilakukan pemberian kuesioner ulang setelah intervensi dengan menggunakan modul
kesehatan reproduksi dalam situasi bencana dengan metode pembelajaran ceramah
sebanyak 4 kali pertemuan atau 4X100 menit.
HASIL PEMBAHASAN
Penelitian
dilakukan terhadap 78 orang mahasiswa Prodi D-III Kebidanan Poltekkes Kemenkes
Aceh dengan distribusi data responden seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1. Identitas Responden di Prodi D-III
Kebidanan Poltekkes Kemenkes Aceh (n=78)
No
|
Variabel
|
f
|
%
|
|
Umur
|
|
|
1.
|
18 tahun
|
13
|
16,7
|
2.
|
19 tahun
|
61
|
78,2
|
|
Kelas
|
|
|
1.
|
A
|
39
|
50,0
|
2
|
B
|
39
|
50,0
|
|
Jumlah
|
78
|
100,0
|
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 19
tahun (78,2%) dan responden adalah Mahasiswa kelas A dan B masing-masing 39
orang perkelas.
Pengetahuan
Hasil analisis nilai variabel pengetahuan sebelum dan sesudah
intervensi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Nilai
Pengetahuan Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi di Prodi D-III
Kebidanan Poltekkes Kemenkes Aceh.
No
|
Pengetahuan
|
N
|
Mean
|
SD
|
SE
|
1.
|
Sebelum
|
78
|
11,73
|
2,260
|
0,256
|
2.
|
Sesudah
|
78
|
16,31
|
2,689
|
0,304
|
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata pengetahuan responden
sebelum intervensi dengan modul kebencanaan adalah 11,73 dengan nilai SD 2,260
dan sesudah intervensi meningkat menjadi 16,31 dengan nilai SD 2,689.
Hasil uji menunjukkan terjadi peningkatan nilai rata-rata
pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan intervensi dengan modul
Kesehatan Reproduksi tentang kebencanaan.
Secara lebih rinci, distribusi persentase jawaban responden pada
masing-masing item pertanyaan sebelum dan sesudah intervensi, seperti yang
ditunjukkan oleh gambar berikut :
Gbr 4.1. Distribusi
Jawaban Pengetahuan Responden Per Item
Soal
Distribusi jawaban responden pada masing-masing item
pertanyaan didapatkan bahwa adanya perubahan nilai pengetahuan
setelah dilakukan intervensi. Perubahan nilai tertinggi terdapat pada
pertanyaan tentang jenis dan jadwal pemberian KIT, terjadi peningkatan jawaban
benar hingga 64%. Sementara, pertanyaan yang sulit dijawab dengan benar
terdapat pada item soal tentang faktor resiko penularan Penyakit Menular
Seksual. Hal ini disebabkan karena informasi tentang konsep pengetahuan
tersebut masih asing dan sulit difahami oleh sebagian besar responden.
Hasil penelitian juga ditemukan 3 (tiga) item soal jawaban yang menurun
kearah negatif yaitu pertanyaan tentang waktu yang tepat untuk melakukan
skrining, pelayanan kesehatan reproduksi yang dilakukaan saat bencana dan
masalah yang akan timbul bila berada lama di pengungsian. Hasil evaluasi
menunjukkan penurunan pemahaman responden ini disebabkan karena metode
pengajaran saat pre test kurang memberikan penekanan kepada ke 3 item
pertanyaan tersebut sehingga membingungkan mahasiswa dalam menjawab pertanyaan
tersesbut.
Hasil analisis bivariat dengan uji Paired T Test terhadap kedua
kelompok sebelum dan sesudah diberikan intervensi adalah sebagai berikut:
Tabel 4.3. Hasil Uji T Dependen Pengetahuan
Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi
Variabel
|
|
N
|
Mean
|
SD
|
SE
|
P value
|
Pengetahuan
|
Sebelum – Sesudah
Intervensi
|
78
|
-4,577
|
3,822
|
0,433
|
0,000
|
Hasil uji T dependen dengan Paired Sample T Test terhadap variabel
pengetahuan menunjukkan bahwa selisih nilai rata-rata pengetahuan responden
sebelum dan sesudah intervensi adalah -4,577 dengan SD 3,822. Hasil uji didapatkan nilai t test = -10,575 dengan nilai p=0,000 (p<0 ada="" adalah="" artinya="" baik="" dan="" daripada="" dengan="" ditemukan="" ditolak="" h0="" intervensi="" kebencanaan.="" lebih="" menggunakan="" modul="" negatif="" nilai="" o:p="" pengetahuan="" perbedaan="" post="" pre="" responden="" sangat="" sebelum="" sehingga="" sesudah="" signifikan="" t="" test.="" test="" yang="">0>
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Munawarah (2014) dengan judul strategi pelayanan kesehatan reproduksi dalam
situasi darurat bencana di Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie. Faktor yang dominan
mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan adalah sumber daya manusia (p=0,027)
dan fasilitas kesehatan (p=0,001).
Untuk mendukung hasil penelitian tersebut, penggunaan modul adalah
salah satu media yang berpengaruh dalam meningkatkan kualitas tenaga kesehatan
atau sumber daya manusia dibidang kesehatan. Modul yang digunakan dalam
penelitian ini adalah modul yang dilengkapi dengan gambar yang menarik
perhatian responden.
Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian Rostaviani dan
Handayani (2012) dengan judul pengetahuan dan sikap dan perilaku seksual remaja
sebelum dan sesudah mendapatkan promosi kesehatan reproduksi dikelurahan
Cipedas Bandung didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada
pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukannya intervensi dengan nilai significan
p<0 ada="" bermakna="" dan="" dengan="" dilakukannya="" intervensi="" nilai="" p="" pada="" perbedaan="" sebelum="" sedangkan="" sesudah="" significan="" sikap="" tidak="" yang="">0,05. Adapun
untuk perilaku tidak dilihat perbedaannya. 0>
Lebih lanjut Notoatmodjo (2013) menyebutkan pengetahuan
(knowledge) merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Oleh karena itu, penggunaan modul adalah salah satu media yang
tepat untuk meningkatkan pengetahuan responden melalui rangsangan indera
penglihatan dan pendengaran. Lebih lanjut Notoatmodjo (2013) juga menjelaskan
bahwa media pada hakikatnya adalah alat bantu dalam menyampaikan informasi.
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media cetak.
Keuntungan dari media cetak adalah dapat mengaktfikan 2 indera manusia yaitu
indera penglihatan dan pendengaran. Menurut Meliono (2007), pengetahuan adalah
berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan indrawi.
Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indra atau akal budinya untuk
mengenali benda / kejadian tertentu yang belum pernah dilihat ataupun dirasakan
sebelumnya.
Penggunaan modul yang menarik dapat merangsang rasa ingin tahu
individu terhadap suatu objek, karena itu modul harus disiapkan sedemikian rupa
agar lebih menarik dan merangsang indera penglihatan manusia untuk
memperhatikan isi dari informasi yang akan disampaikan.
4.3. Sikap
Hasil penelitian variabel sikap responden sebelum dan sesudah
intervensi dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 4.4. Nilai
Sikap Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi di Prodi D-III Kebidanan
Poltekkes Kemenkes Aceh.
No
|
Sikap
|
N
|
Mean
|
SD
|
SE
|
1.
|
Sebelum
|
78
|
31,44
|
5,186
|
0,587
|
2.
|
Sesudah
|
78
|
34,00
|
2,787
|
0,316
|
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata sikap responden
sebelum intervensi dengan modul kebencanaan adalah 31,44 dengan nilai SD 5,186
dan sesudah intervensi meningkat menjadi 34,00 dengan nilai SD 2,787.
Distribusi jawaban sikap responden pada masing-masing item
pertanyaan sebelum dan sesudah intervensi, dimana terjadi peningkatan sikap responden
kearah positif setelah diberikan intervensi, seperti yang ditunjukkan oleh
gambar berikut ini.
Gambar 4.2. Distribusi Jawaban Sikap Reponden Per Item
Pertanyaan
Distribusi jawaban
responden pada masing-masing item soal menunjukkan bahwa nilai sikap tertinggi
diperoleh untuk item soal tentang pendapat responden sebagai calon petugas
kesehatan pada situasi darurat bencana dalam melindungi diri dari penularan
penyakit infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa sikap responden tentang kesehatan
reproduksi dalam situasi bencana sudah kearah yang positif terlebih kesiapan
mereka sebagai calon petugas kesehatan.
Namun,
hasil penelitian juga ditemukan penurunan sikap responden ke arah negatif yaitu pada item soal tentang pentingnya informasi
kesehatan reproduksi bagi remaja. Mereka
berpendapat bahwa informasi tentang kesehatan reproduksi yang paling penting
harus dimiliki oleh ibu hamil dan ibu menyusui, sehingga remaja bukan menjadi
skala prioritas utama.
Hasil analisis bivariat dengan uji T dependen terhadap variabel
sikap dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.4. Hasil Uji T Dependen Sikap
Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi
Variabel
|
|
N
|
Mean
|
SD
|
SE
|
P-value
|
Sikap
|
Sebelum – Sesudah
Intervensi
|
78
|
-2,564
|
5,792
|
0,656
|
0,000
|
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selisih nilai rata-rata sikap
responden sebelum dan sesudah intervensi adalah -2,564 dengan SD 5,792. Hasil uji didapatkan nilai t test -3,910
dengan nilai p=0,000 (p<0 ada="" adalah="" artinya="" baik="" dan="" daripada="" dengan="" ditemukan="" ditolak="" h0="" intervensi="" kebencanaan.="" lebih="" menggunakan="" modul="" negatif="" nilai="" o:p="" perbedaan="" post="" pre="" responden="" sangat="" sebelum="" sehingga="" sesudah="" signifikan="" sikap="" t="" test.="" test="" yang="">0>
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
yang pernah dilakukan oleh Citrawathi, Adhnyana dan Maryam (2010) dengan judul
Penggunaan Modul Kesehatan Reproduksi remaja berwawasan STM dengan Modul
Pembelajaran Kooperatif JIGSAW untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMA di Singaraja. Hasil penelitian didapatkan penerapan
modul kesehatan reproduksi ternyata dapat meningkatkan hasil
belajar siswa yang meliputi aspek kognitif, sikap, dan keterampilan proses,
serta berpengaruh positif terhadap keterampilan kooperatif siswa.
Menurut peneliti, penggunaan modul juga dapat
mempengaruhi perubahan sikap mahasiswa kearah posisitf. Perubahan sikap ini sangat penting, karena
sikap yang baik sangat mempengaruhi terhadap perilaku yang baik. Sikap yang
positif akan mendukung seseorang berperilaku yang benar dalam meningkatkan
kesehatan reproduksinya meskipun dalam situasi bencana.
Menurut Budiarto (2002) sikap dapat dibedakan atas
karakteristik sebagai berikut sikap positif, adalah sikap yang menunjukkan atau
memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui serta berniat melaksanakan
norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada. Sikap
negatif, adalah sikap yang menunjukkan penolakan terhadap suatu norma yang
berlaku dimana individu itu berada.
Remaja terutama mahasiswa
Prodi D III Kebidanan Banda Aceh selaku calon petugas kesehatan perlu mengetahui tentang
kesehatan reproduksi agar mereka memiliki informasi yang benar mengenai menjaga kesehatan reproduksinya karena dengan
informasi yang benar, diharapkan remaja mampu menunjukkan sikap dan tingkah
laku yang bertanggung jawab sehingga dapat melakukan berbagai pencegahan
seperti pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) dalam situasi bencana terutama di
pengungsian.
KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan terjadi peningkatan nilai
rata-rata pengetahuan responden sebelum (11,73) dan sesudah intervensi (16,3)
dengan modul kebencanaan. Juga terjadi peningkatan nilai rata-rata sikap
responden sebelum intervensi (31,44) dan sesudah intervensi (34,00).
Hasil uji Paired Sample T Test didapatkan ada perbedaan yang
sangat signifikan pengetahuan dan sikap responden sebelum dan sesudah
intervensi dengan nilai p=0,0001.
SARAN
Kepada Dinas Kesehatan
Provinsi Aceh disarankan dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap tenaga
kesehatan tentang kesehatan reproduksi dalam situasi bencana melalui pelatihan
dan seminar kesehatan. Kepada pemerintah daerah Provinsi Aceh agar mengalokasi
dana khusus dalam kegiatan promosi kesehatan tentang kebencanaan khususnya
bidang kesehatan reproduksi. Kepada Direktur dan Ketua Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Aceh
disarankan agar dapat menyediakan Poliklinik Khusus Kebencanaan di Kampus
Kebidanan dan selalu mengevaluasi penggunaan modul pembelajaran kesehatan
reproduksi kebencanaan agar pemberian informasi dapat diterima dengan baik oleh
mahasiswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, 2013. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2007 Nomor 66. Jakarta.
Anonim,
2013. Hubungan Bencana dan Pembangunan, Simposium Nasional Kedua Manajemen Risiko Bencana Berbasis
Masyarakat. Jakarta. Masyarakat Peduli Bencana Indonesia (MPBU). Palang Merah
Indonesia (PMI). International Red Cross.
Anonim,
2013. Pendidikan Seks Efektifkah.
http//lifestyle.okezone.com/read/2015/ 02/24/196/30666. Jakarta. ECG (dikutip 15 Mei 2015).
Ariantoni,
2009. Modul Pelatihan Pengintegrasian Pengurangan Resiko Bencana (PRB) ke
dalam Sistem Pendidikan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan Nasional
Arsyad, S. 2006. Media Pembelajaran. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Budiarto, 2002. Pengantar Statistik
Jilid I. Tarsito. Bandung
BKKBN.2000. Panduan Pengelolaan Pusat Informasi dan
Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Jakarta. Direktorat Remaja
dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi
Citrawati,
Adhnyana dan Maryam (2010), Penggunaan Modul Kesehatan Reproduksi Remaja Berwawasan Stm Dengan
Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Siswa SMA,, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan ISSN 1979-7109 Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Volume 4, Nomor 1, April 2010 (dikutip 2 Oktober
2015).
Depkes RI dan
UNFPA. 2008. Pedoman Praktis Kesehatan
Reproduksi pada Penanggulangan Bencana di Indonesia. Jakarta.
Inter agency Standing Committee
(IASC). 2005. Focusing on prevention of
and Response to Sexual Violence in Emergencies. Guidelines for Gender-based
Violence Intervention in Humanitarian.
Inter agency
Working Group on Reproductive Health in Crises (IWGRHC). 2010. Buku Panduan Lapangan antar Lembaga
Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana. Revisi untuk Peninauan.
Jakarta. Inter agency Working Group on Reproductive Health in Crises.
Kemenkes
RI. 2013. Untuk Menurunkan Angka Kematian Ibu dan
Kematian Bayi Perlu Kerja Keras. http/
depkes.go.id/index.php//berita/press-klease/793. Untuk menurunkan-angka
kematian-Ibu-dan kematian bayi-perlu-kerja-keras) (dikutip 12 Maret 2015).
Kemenkes
RI, 2013. Standar Pelayanan Kebidanan. Jakarta.
Keputusan Menteri
Kesehatan R.I Nomor 1357/Menkes/SK/12/2001, tentang
Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan akibat Bencana dan
Penananganan Pengungsi, Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan
Kikoku.
2012. Keperawatan bencana (terjemahan
oleh Zailani dkk). Banda Aceh (Japanese
Red Cross Society).
Kodoatie dan Syarief. 2010. Tata Ruang Air Pengelolaan Bencana, Pengelolaan Infastruktur, Penataan
Ruang Wilayah, Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta.
Meliono. 2007. MPKT Modul I. Jakarta. Lembaga Penerbit
FEUI.
Munawarah, Siti.
2014. Strategi Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Dalam Situasi Darurat Bencana Di Dinas Kesehatan. Banda Aceh.
Magister Ilmu Kebencanaan PPS Unsyiah.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta. Rineka Cipta.
Notoatmodjo,
S. 2003. Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.
Notoatmodjo,
S. 2013. Pengantar pendidikan Kesehatan
dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Depok, BPKM FKM. UI.
Notoatmodjo,
S. 2005. Promosi Kesehatan, Ilmu Perilaku
dan Sikap. Jakarta. Rineka Cipta.
Prastowo. 2012 . Panduan Kreatif
Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta:
Diva Press.
Rostaviani
dan Handayani. 2012. Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku Seksual Sebelum Dan Sesudah Mendapatkan Promosi Kesehatan Reproduksi
Di Kelurahan Cipedes: Jurnal Pendidikan Bidan (the jouernal of midwifery
education) : mo-KTI-0412-2012.
Sukiman. 2012. Pengembangan Media Pembelajaran. Yogyakarta. Pedajogja
UNFPA. 2010. Pedoman Lapangan Antar Lembaga Kesehatan
Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana: Revisi untuk Peninjauan Lapangan.
Jakarta. UNFPA
UNFPA, IPPF,
UNSW. 2009. Fasilitor’s Manual : Training
on the Minimum Initial Service Package (MSIP) for Sexual and Reproductive
Health in Crises, A Course fo SRH Coordinators.
UNFPA dan WHO.
2008. Pedoman Praktis Kesehatan
Reproduksi pada Penanggulangan Bencana di Indonesia. Jakarta. Dpartemen
Kesehatan RI dan UNFPA
UU No 24 tahun 2007, Penanggulangan Bencana, www.bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/1. pdf (dikutip 2 Oktober 2015)
WHO.
2010. Kesehatan Reproduksi Bagi
Pengungsi. Pedoman Implementasi Bagi Pengelola Program. Jakarta: WHO dan
Depkes.
Widyastuti. 2009.
Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta.
Fitramaya
Women Commision.
2007. Paket Pelayanan Awal Minimum Untuk
Kesehatan Reproduksi Dalam Situasi Krisis. Modul pembelajaran jarak jauh.
http:/ / www.womenscommission.org. diunduh tanggal 10 April 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar