Selasa, 26 Juni 2012

Buhori Muslim: Jurnal Almumtaz, Volume 1, Nomor 1, Januari-Juni 2012, hal. 1-18

REVITALISASI DAN REKONSTRUKSI PENDIDIKAN MORAL DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Oleh:
Buhori Muslim

ABSTRAK
Proses pembelajaran yang dilaksanakan baik di sekolah maupun di luar sekolah perlu disesuaikan dengan perkembangan tuntutan pembangunan, dan selaras dengan tujuan pendidikan nasional. Proses pendidikan harus memperhatikan aspek, intelektual, rohaniah, jasmanih dan spiritual. Oleh karena itu pendidikan harus mampu mengembangkan kemampuan peserta didik, membentuk watak dan karakter mereka untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Peserta didik harus diarahkan menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya. Untuk itu, dibutuhkan kultur sekolah dalam membangun nilai-nilai akhlak yang baik yang dapat menjadi sarana yang efektif dalam mentransformasi nilai-nilai moral-spiritual yang sangat berguna bagi pembentukan karakter peserta didik yang pada gilirannya diharapkan menjadi karakter budaya bangsa. Dengan demikian, nilai-nilai moral diharapkan akan tercermin dalam akhlak kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta didik.

Pendahuluan
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan dalam proses mencapai tujuannya perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi, baik antar sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya.
Pendidikan yang dilaksanakan baik di sekolah maupun di luar sekolah perlu disesuaikan dengan perkembangan tuntutan pembangunan yang memerlukan berbagai jenis keterampilan dan keahlian disegala bidang serta ditingkatkan mutunya sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pendidikan tersebut harus memperhatikan aspek, rohaniah, jasmanih dan spiritual.
Sebagai bangsa Indonesia, kita harus mengartikan dan memahami pendidikan sebagai perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional dengan sifat dan kekhususan tujuannya, dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat perkembangan peserta didik, keluasan dan kedalaman bahan pengajaran.
Oleh karena itu pendidikan berlangsung harus sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan Nasional sebagaimana dinyatakan di dalam UU RI No. 2 tahun 1989 pasal 3, adalah, terwujudnya bangsa yang cerdas, manusia yang utuh beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, terampil dan berpengetahuan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri, bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[1] Sementara dalam dalam BAB II pasal 3 UUSPN tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kemudian pada pasal 30 UUSPN, disebutkan bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.[2] Hal ini mencerminkan betapa pentingnya posisi pendidikan akhlakul karimah dalam bingkai pendidikan nasional.
Sementara itu, dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2003, Megawati Sukarno Putri, Presien RI saat itu menegaskan, kegagalan dan kekurangberhasilan yang terjadi selama ini merupakan cerminan dari kegagalan dalam membentuk mental dan karakter sebagai bangsa yang sedang membangun. Senada dengan pernyataan Mantan Ibu Negara RI tersebut, Wakil Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Fasal Jalal mengakui, pendidikan karakter harus dibangun secara integral. Menurutnya, dibutuhkan kultur sekolah membangun nilai-nilai akhlak yang baik dan itu harus dipraktikkan dan dilaksanakan. Semua mata pelajaran menuntut kompetensi yang menanggung nilai-nilai kebajikan, seperti kebaikan, kejujuran, keadilan, disiplin, dan sebagainya. Pendidikan karakter tidak harus diajarkan di sekolah saja, tetapi harus menjadi tanggung jawab semua guru, orang tua, rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Menurut praktisi pendidikan, Ratna Megawangi, pendidikan karakter harus mampu menyukseskan proses internalisasi nilai-nilai moral. Jadi, bukan sekadar mengetahui mana yang baik dan buruk. Tapi, seorang anak didik juga harus mampu mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dengan benar dalam kehidupan sehari-hari. Pakar psikologi sosial Yayah Khisbiyah menyatakan, pentingnya menyiapkan peserta didik sebagai warga negara yang kritis dan mampu memberikan kontribusi dalam memajukan bangsa.
Semua ungkapan-ungkapan ini, bagaikan bermuara pada kesimpulan tentang tipisnya etika kita dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimak ujung dari semua itu seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan nasional kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan tuntutan reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan lainnya. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia dinilai sebagai negara yang paling ketinggalan (least well-educated country) dalam pendidikan baik dari budgeting, out put, maupun manjerial.
Untuk menyusun dan mengimplentasikan pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.[3]
Dari ilustrasi tersebut, nampak jelas urgensitas pendidikan dan pembinaan akhlakul karimah (moralitas) dalam sistem pendidikan nasional. Ungkapan manusia seutuhnya yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, demokratis, berbudi pekerti luhur, mandiri serta memiliki rasa tanggungjawab terhadap sesama, merupakan manipestasi dari konsep pendidikan akhlak (moralitas). Eksistensi pendidikan akhlak dalam sistem pendidikan nasional sebenarnya menempati posisi teratas, dan utama. Akan tetapi, bila dikaji lebih jauh lagi pada pasal 37 UUSPN tahun 2003 tersebut, ditemukan bahwa kurikulum yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, sangat minim materi ajar yang berhubungan dengan akhlak dan agama. Dalam prakteknya juga ditemukan bahwa pendidikan agama yang memuat di dalamnya materi akhlak (moralitas) hanya diberikan satu kali tatap muka per minggu (2 jam pelajaran/minggu). Hal ini menyebabkan tujuan tersebut tidak mungkin dicapai secara maksimal.
Pendidikan akhlak merupakan salah satu materi yang paling utama diterapkan kepada anak bangsa untuk menciptakan suatu masyarakat yang berperadaban dan berkeadilan. Dalam UUD 1945 pasal 31 dijelaskan bahwa pemerintah berkewajiban menjamin keberlangsungan pendidikan anak bangsa dan memajukan kualitas bangsa secara komprehensif, integrated dan professional melalui institusi pendidikan. Dengan demikian, diperlukan suatu upaya dalam sistem pendidikan nasional yang berorientasi akhlakul karimah (moralitas) menuju masyarakat Indonesia yang berperadaban dan berkeadilan.
Upaya yang bersifat reformatif dalam proses pendidikan sangat diperlukan agar pendidikan kita tidak berjalan di tempat. Tujuan utama melakukan upaya yang bersifat reformatif dalam sektor pendidikan ialah untuk melakukan rekonstruksi sosial ke arah bentuk masyarakat madani ideal seperti yang dicita-citakan. Dengan upaya yang reformatif, semua praksis pendidikan yang bertentangan dengan proses demokratisasi kehidupan yang sehat, adil, dan berharkat, perlu disingkirkan. Dengan paradigma yang demikian itu, rekonstruksi sosial akan mampu membangun masyarakat menjadi masyarakat madani yang penuh dengan praktik-praktik kehidupan atas dasar kasih sayang antara sesama warga masyarakat secara egaliter.
Sebenarnya, terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan seperti yang diharapkan dalam penciptaan karakter anak didik yang baik sebenarnya dapat dicapai. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan pembinaan karakter dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Usaha ini dapat dilakukan dengan internalisasi nilai terhadap semua mata pelajaran. Proses internalisasi ini dapat ditempuh dengan tiga rekayasa, yaitu mengubah lingkungan dengan cara menata peraturan serta konsekuensi di sekolah dan dirumah, Memberikan pengetahuan, tentang bagaimana melakukan perilaku yang diharapakan untuk muncul dalam kesehariannya serta diaplikasikan, dan terakhir mengkondisikan emosi anak didik. Emosi manusia adalah kendali 88% dalam kehidupan manusia. Jika mampu menyentuh emosinya dan memberikan informasi yang tepat maka informasi tersebut akan menetap dalam hidupnya.[4]

Sistem Pendidikan Nasional
Kelahiran Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada dasarnya merupakan salah satu wujud reformasi bangsa dalam bidang pendidikan sebagai respons terhadap berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang baik global, nasional, maupun lokal. Dalam konsideran UU tersebut dinyatakan: “bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Moch. Surya menyatakan bahwa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 mengandung sejumlah paradigma baru yang menjadi landasan perwujudan pendidikan nasional. Paradigma tersebut, antara lain:
1. Penyelenggaraan pendidikan nasional dilandasi dengan prinsip-prinsip berikut ini: a) Secara demokratis dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keagamaan, dan budaya bangsa. b) Sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multi makna. c) Sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan yang berlangsung sepanjang hayat. d) Sebagai proses keteladanan membangun kemauan dan kreativitas dalam proses pembelajaran. e) Mengembangkan budaya belajar (baca, tulis, dan hitung) bagi segenap warga masyarakat. f) Memberdayakan masyarakat melalui partisipasi dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
2. Demokratisasi dan desentralisasi sebagai semangat yang melandasi penyelenggaraan pendidikan nasional dengan lebih menekankan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah dalam keseluruhan aktivitas penyelenggaraan pendidikan.
3. Peran serta masyarakat sebagai konsekuensi demokratisasi pendidikan nasional maka masyarakat memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
4. Tantangan global, hal ini berimplikasi bahwa pendidikan nasional harus beradaptasi dengan perkembangan global yang menuntut sumber daya manusia yang lebih berkualitas dalam menghadapi persaingan global di segala bidang.
5. Kesetaraan dan keseimbangan, bahwa Undang-undang Sisdiknas yang baru mengandung paradigma dengan menerapkan konsep kesetaraan dalam penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah memiliki kesetaraan dengan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta). Sedangkan yang dimaksud keseimbangan ialah keseimbangan yang utuh antara unsur-unsur kepribadian yang meliputi aspek intelektual, spiritual, emosional, fisik, sosial, moral, dan kultural.[5]
Menurut pandangan kami, UUSPN tahun 2003, secara teoritis, banyak memiliki kelebihan dibanding dengan UU Sistem Pendidikan Nasional sebelumnya, khususnya dalam bidang pendidikan akhlak, akan tetapi bila ditelaah secara operasional, proses pendidikan akhlak yang dilakukan dalam proses pembelajaran masih lemah dan bahkan terabaikan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah tatap muka mata pelajaran agama yang masih minim, tidak masuknya materi akhlak tersebut sebagai salah satu indikator kelulusan anak didik dalam suatu tingkat dan jenjang kependidikan.  Hal inilah yang menjadikan kualitas anak didik yang dihasilkan oleh institusi-instusi pendidikan di Indonesia khususnya pada institusi pendidikan umum, sangat lemah dari aspek moralitas, sekalipun mereka memiliki kualitas yang memadai dari aspek kognitif dan intelektual.
Disamping itu, bila kita amati sistem pendidikan Nasional di Indonesia terlalu birokratis. Sebuah gambaran sistem pendidikan nasional adalah tentang ketidaknyamanan dan ketidakberhasilan sistem  pendidikan Nasional karena terlalu dicampuri oleh sistem birokrasi yang ketat dan berlebihan. Kondisi sistem pendidikan  di Indonesia tidak berkembang akibat belenggu birokrasi negara yang dipengaruhi oleh perkembangan sosial politik. Hal ini seolah-olah menurut asumsi penulis bahwa birokrasi sistem pendidikan di Indonesia diwakili oleh sejarah birokrasi pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Tahun 1989 disebutkan bahwa yang dikatakan sistem pendidikan Nasional adalah perpaduan pendidikan warisan Belanda dan pendidikan Islam.
Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa sistem pendidikan warisan Belanda dan bahkan Jepang juga memberikan andil yang cukup besar dalam melahirkan para intelektual dan pemikir di Indonesia. Hal ini menunjukkan sistem pendidikan saat itu  menjadi bagian dari konsep yang utuh tentang hakikat pendidikan Nasional. Sebenarnya hal inilah yang menjadikan sistem pendidikan nasional menjadi dikotomis atau dualisme, baik dalam hal manajemen pengelolaan, pembiayaan, kurikulum, dan perekrutan tenaga pengajar.
Dari aspek manajemen pengelolaan, diketahui bahwa sistem pendidikan Nasional dikelola oleh dua lembaga/kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama. Kedua kementerian itu, sama-sama memiliki seorang menteri yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Masing-masing kementerian memiliki kebijakan tersendiri dalam melakukan manajemen pengelolaan pendidikan. Sebenarnya hal inilah yang menjadikan sistem pendidikan Nasional menjadi tumpang tindih dan tidak berkembang.
Hal ini dapat dilihat dari muatan kurikulum setiap lembaga pendidikan di kedua kementerian. Kementerian Pendidikan Nasional lebih banyak mengakomodir ilmu-ilmu umum dan meminimalkan ilmu-ilmu agama. Sedangkan kementerian Agama memberikan porsi yang agak lebih pada muatan-muatan keagamaan, walaupun pada aspek lain tetap menekankan pada bidang studi umum. Akan tetapi, suatu hal yang sangat dilematis adalah, bahwa kebijakan pendidikan secara Nasional berada pada kementerian  pendidikan Nasional. Hal ini dapat dilihat dengan pemberlakuan Ujian Nasional yang mayoritas bidang studi yang diujikan adalah bidang studi umum, kecuali pada bidang studi tertentu pada sekolah-sekolah di bawah naungan kementerian Agama.
Jadi secara umum dapat kita katakan bahwa masih diperlukan perhatian khusus dari pengambil kebijakan terhadap penerapan UUSPN tahun 2003 dalam proses kependidikan, karena masih memiliki banyak kelemahan, khusunya pada aspek aplikasi pendidikan akhlak (moral) bagi anak didik di tingkat sekolah dasar dan menengah. Implilaksi dari lemahnya proses pembelajaran akhlak (moral) bagi anak-anak bangsa di lembaga-lembaga pendidikan nasional, akan menyebabkan lemahnya kualitas generasi penerus bangsa secara moral, yang pada akhirnya usaha untuk menciptakan warga Negara yang berakhlak mulia dan memiliki karakter inovatif religious akan tidak tercapai sebagaimana yang diamanatkan oleh pendiri bangsa.

Tujuan Pendidikan Nasional
Perlu digaris bawahi, bahwa tujuan utama pendidikan nasional adalah menyemai karakter bangsa yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam hal ini pendidikan dimaknai sebagai proses belajar dan adaptasi secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita luhur masyarakat dan diorientasikan untuk menghadapi tantangan eksternal. Salah satu karakter budaya kuat bangsa Indonesia adalah pengamalan dan sikap berpegang teguh atas nilai-nilai religiusitas dan moral dalam dimensi kehidupan. Indonesia sejak zaman nenek moyang demikian menjunjung tinggi nilai moral, budaya, dan agama dan ini terjadi di hampir semua suku bangsa yang tercermin dalam adat istiadat yang mereka lakukan.
Cara pandang religius inilah yang menjadi modal dasar pembangunan termasuk dalam pengembangan pendidikan. Pembangunan manusia Indonesia melalui pendidikan dengan demikian berbeda dengan karakter pembangunan manusia Barat yang sekuler. Sistem pendidikan barat hanya lebih mementingkan kulit daripada isi, dan juga hanya lebih mementingkan kualitas dari kuantitas. Sistem pendidikan barat tidak dapat memecahkan permasalahan pendidikan di dunia Islam, dan bahkan seringkali menimbulkan permasalahan-permasalahan baru bagi masyarakat Islam yang menerapkan system tersebut.[6] Dalam system pendidikan barat, pendidikan keagamaan tidak dikelola dan diatur oleh Negara, bahkan tidak diajarkan dalam lembaga pendidikan formal, melainkan diserahkan sepenuhnya kepada individu untuk mencari dan mengembangkannya menurut pemahamannya masing-masing.
Menurut praktisi pendidikan, bahwa krisis pendidikan Islam pada masa kini adalah salah satunya makin bergesernya sikap manusia ke arah pragmatisme yang pada gilirannya membawa ke arah materialisme dan individualisme, sehingga melengahkan nilai-nilai agama dimana prinsip-prinsip moralitas dan etis serta berorietasi ke arah ukhrâwî semakin mengendor bahkan mengerosi jiwa pribadi dan masyarakat Islam.[7] Oleh karena itu, pembangunan SDM kita menekankan pentingnya moral (budi pekerti) di semua lini kehidupan baik privat maupun publik.
Adanya cakupan pendidikan nasional ke arah pendidikan budi pekerti seperti yang terdapat dalam system pendidikan nasional, sejalan dengan konsepsi dasar pendidikan yang diletakkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani, selaras dengan alam dan masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Mohammad Natsir juga menegaskan makna pendidikan kita adalah tidak sekuler. Menurut Natsir sebagaimana yang dikutip Jazuli Juwaini mengatakan, bahwa yang dinamakan pendidikan ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya.[8]
UUD 1945 mengamanatkan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. UUD 1945 menginginkan karakter manusia Indonesia yang berakhlak mulia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan cerdas dalam kehidupannya. Amanat UUD 1945 tersebut selanjutnya dijabarkan di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1 ayat (1) menjabarkan substansi pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Inilah makna pendidikan yang tidak sekularistik atau pendidikan yang membangun manusia Indonesia seutuhnya yaitu memiliki kekuatan moral, spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Agar tujuan pendidikan ini dapat terpenuhi, maka salah satu strategi yang harus dilakukan adalah melakukan internalisasi nilai-nilai moralitas dan keagamaan ke dalam seluruh komponen pendidikan, mulai dari komponen peserta didik, pendidik, kurikulum, metode, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan dan sampai pada aspek evaluasi pembelajaran.

Internalisasi Nilai-Nilai Moral dalam Pendidikan
Perlu diketahui, bahwa, manusia merupakan makhluk Allah yang dianugrahi potensi untuk mengimani Allah dan mengamalkan ajaran-Nya. Karena fitrah inilah manusia dijuluki homo religius, makhluk beragama. Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau peluang untuk berkembang. Namun dalam perkembangannya manusia sangat tergantung kepada proses pendidikan yang diterima (faktor lingkungan).[9] Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk pada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Tuhan dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan kepada-Nya., baik yang bersifat hablumminallah dan hablumminanas. Keimanan kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari internalisasi, yaitu proses pengenalan, pemahamamn, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap nilai-nilai agama.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak didik agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional), sosial, maupun moral-spiritual. Sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak didik, karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substitusi dari orangtua. Mengenai peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.[10]
Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama anak didik, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama. Diantara strategi yang dilakukan untuk melakukan internalisasi nilai-nilai moralitas dalam proses pendidikan dan pengajaran adalah sebagai berikut:
1.        Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode) yang bervariasi (seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya;
2.        Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks atau materi itu saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat (kontekstual);
3.        Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari;
4.        Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia);
5.        Guru hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal materi-materi yang terkandung dalam kurikulum;
6.        Guru hendaknya memahami ilmu-ilmu lain yang relevan atau yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi pendidikan, bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikanm teknik evaluasi, dan psikologi belajar agama;
7.        Pimpinan sekolah, guru-guru dan pihak sekolah lainnya hendaknya memberikan contoh, tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama, seperti dalam melaksanakan ibadah shalat, menjalin tali persaudaraan, memelihara kebersihan, mengucapkan dan menjawab salam, semangat dalam menuntut ilmu, dan berpakaian muslim/muslimat (menutup aurat);
8.        Guru-guru yang mengajar bukan pendidikan agama hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya;
9.        Sekolah hendaknya menyediakan saran ibadah (mesjid) yang memadai dan memfungsikannya secara optimal;
10.    Sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan ektrakulikuler kerohanian bagi para siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.[11] 
         Untuk memberikan pendalaman, penguatan dan pembiasaan terhadap sikap dan perilaku yang baik peserta didik, maka perlu dilakukan proses internalisasi nilai-nilai akhlak mulia dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Untuk perlu didesain model ekstra kurikuler yang bernuansa islami, seperti:
1.        Pembiasaan Akhlak Mulia, sebagi upaya yang dilakukan oleh sekolah secara rutin dan berkelanjutan dalam membangun karakter (character building) keagamaan dan akhlak mulia peserta didik, sebagai proses internalisasi nilai-nilai keagamaan agar peserta didik terbiasa berbicara, bersikap, dan berperilaku terpuji dalam kehidupan keseharian. Melalui kegiatan pembiasaan, diharapkan peserta didik memiliki karakter dan prilaku terpuji baik dalam komunitas kehidupan di sekolah, di rumah, maupun di masyarakat;
2.        Pekan Keterampilan dan Seni Islami, sebagai wahana kompetisi di kalangan peserta didik dalam berbagai jenis keterampilan dan seni agama yang diselenggarakan mulai tingkat sekolah, gugus, kecamatan kabupaten/kota, propinsi sampai dengan tingkat nasional. Jenis keterampilan yang dapat dilombakan antara lain: Musabaqah Tilawatil Qur'an, kaligrafi, hafalan surat pendek, pidato, cerdas cermat, khutbah Jum'at, hafalan do'a, menjadi imam, adzan, baca sajak, puisi, lomba mengarang, kesenian Islam seperti nasyid, qasidah, dan lain-lain. Mengenai jenis keterampilan yang dilombakan, setiap sekolah atau daerah dapat memilih jenis lomba yang cocok dan lebih memasyarakat di daerahnya masing-masing;
3.        Pesantren Kilat, merupakan kegiatan pesantren yang dilaksanakan pada saat liburan sekolah, dengan waktu yang relatif singkat di bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan;
4.        Ibadah Ramadhan, adalah salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang bernuansa islami yang dilakukan selama bulan suci Ramadhan, dengan durasi waktu mulai malam pertama shalat tarawih sampai dengan kegiatan halal bihalal (bersalam-salaman saling maaf-maafan) yang dilaksanakan dalam nuansa perayaan hari raya Iedul Fitri;
5.        Tuntas Baca Tutis Al-Qur'an, adalah kegiatan khusus yang dilakukan oleh sekolah di luar jam pelajaran dalam rangka mendidik, membimbing, dan melatih keterampilan membaca, menulis, menghafal, dan memahami arti Al-Qur'an, khususnya bagi para peserta didik yang belum memiliki kompetensi membaca dan menulis Al-Qur'an;
6.        Wisata Rohani, adalah salah satu kegiatan yang dapat dilakukan dalam bentuk out bound atau umroh pelajar yang ditujukan sebagai wahana hiburan yang menyenangkan sekaligus memperoleh pengetahuan dan pengalaman religius yang bermanfaat. Kegiatan ini dapat menambah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah;
7.        Peringatan Hari Besar Islam, dengan maksud syiar Islam sekaligus menggali arti dan makna dari suatu Hari Besar Islam,[12] dan kegiatan-kegiatan lainnya yang mendukung pendalaman, peningkatan dan pembiasaan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari.
Disamping peranan keluarga dan sekolah dalam pembinaan moralitas anak didik, juga perlu dilibatkan lingkungan masyarakat. Yang dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah interaksi sosial dan sosiokulktural yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak (terutama remaja). Perkembangan moral seorang anak didik banyak dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang; demikian pula halnya degan aspek moral pada anak. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannnya mengenai bagaimana ia harus bertingkahlaku yang baik dan tingkah laku yang dikatakan salah atau tidak baik.[13] 
Dalam masyarakat, anak didik melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya (peer group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukan kebobrokan moral, maka anak didik cenderung akan terpegaruh untuk berprilaku seperti temannya tersebut. Hal ini terjadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orang tuanya.[14].
Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak didik sangat bergantung kepada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri. Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif (menunjang) bagi perkembangan kesadaran beragama anak didik adalah mereka yang: a) taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong, dan bersikap jujur, dan b) menghindari sikap dan perilaku yang dilarang agama, seperti sikap permusuhan, saling mencurigai, sikap munafik, mengambil hak orang lain (mencuri, korupsi, dsb) dan perilaku maksiat lainnya (berzina, berjudi dan minuman keras). Sedangkan sikap dan perilaku warga masyarakat yang tidak kondusif, atau berpengaruh negatif terhadap perkembangan akhlak atau kesadaran beragama akan ditandai oleh karakteristik berikut:
1.        Gaya hidup warga masyarakat (orang dewasa) yang materialistis dan hedonisme, yaitu yang mendewakan materi dan hidupnya sangat berorientasi untuk meraih kenikmatan (walaupun dengan cara yang melanggar aturan agama);
2.        Warga masyarakat (baik yang memegang kekuasaan maupun warga biasa) bersikap melecehkan norma agama, atau bersikap acuh tak acuh dan bahkan mensponsori kemaksiatan, seperti: perjudian, prostitusi, minuman keras, dan penayangan acara-acara televisi yang merusak aqidah dan akhlak.[15]
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia anak didik, maka ketiga lingkungan tersebut secara sinergi harus bekerjasama, dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana ligkungan yang kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengan berkembangnya komitmen yang kuat dari masing-masing individu yang mempunyai kewajiban moral (orang tua, pihak sekolah, pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Membangun Kembali Semangat Nilai-Nilai Moralitas dalam Sistem Pendidikan Nasional
Secara eksplisit desain pendidikan nasional menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moral. Dalam kerangka ini, pendidikan harus menjadi sarana yang efektif dalam mentransformasi nilai-nilai moral-spiritual yang sangat berguna bagi pembentukan karakter peserta didik yang pada gilirannya diharapkan menjadi karakter budaya bangsa.
Philip H. Phenix sebagaimana dikutip Jazuli Juwaini mengatakan bahwa pendidikan karakter dan moral pada dasarnya adalah to guide the young towards voluntary personal commitment to values, yaitu pekerjaan membimbing generasi muda untuk secara sukarela mengikatkan diri mereka kepada norma-norma atau nilai-nilai.[16]
Yang penting di sini ialah bahwa commitment to values atau pengikatan diri kepada nilai-nilai harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam, dan bukan karena ancaman atau ketakutan kepada sesuatu di luar hati. Dengan kerelaan tersebut, nilai-nilai moral diharapkan akan tercermin dalam akhlak kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari anak didik didik. Pengembangan kantin kejujuran di sejumlah sekolah misalnya merupakan bentuk terobosan kegiatan pendidikan moral. [17]
Di sejumlah madrasah bahkan telah pula dikembangkan kelas kejujuran di mana anak didik terbiasa mengerjakan soal-soal ujian tanpa pengawasan guru. Jika hal ini menjadi kesadaran kolektif, niscaya kita tidak akan mendengar lagi “perburuan bocoran kunci jawaban” di setiap Ujian Nasional (UAN) dan dalam jangka panjang dapat membangun karakter moral yang kuat pada anak bangsa generasi penerus.
Pelajaran agama yang menjadi pijakan utama pendidikan moral misalnya tidak boleh dikesankan sebatas penyampaian doktrin-doktrin agama, tentang halal-haram, tata cara ibadah berikut pahala, surga dan ancaman dosa-neraka, tetapi harus banyak berbicara dimensi pemaknaan yang mengajak anak didik meraih kesadaran (conscience) terhadap nilai. Unsur-unsur ajaran agama menyangkut ibadah dan hukum-hukum agama tentu saja harus disampaikan, tapi tidak boleh dilupakan bahwa tujuan utama pendidikan akhlak (agama) adalah internalisasi nilai sehingga menjadi karakter.
Pengajaran moral melalui pembahasaan yang divergen atas nilai-nilai yang terkandung dalam materi ajar melalui kegiatan-kegiatan sederhana, tapi mengena akan mengefektifkan pembentukan karakter moral para anak didik didik. Pada gilirannya akan membentengi akhlak anak didik dari perbuatan yang dilarang (amoral).
Hal ini tentu saja sangat penting bagi fondasi pembangunan bangsa di masa depan. Ketika karakter moral telah membudaya, ia akan menjadi etos kerja bangsa sehingga proses-proses politik, perumusan kebijakan, dan praktik pemerintahan dan pembangunan akan dilandasi moralitas yang kuat, terhindar dari berbagai penyimpangan

Penutup
Dari uraian-uraian di atas, dapat diambil benang merahnya, yakni bahwa perubahan zaman yang semakin cepat, harus ada tuntutan untuk mengendalikan zaman tersebut. Sebagai langkah utama adalah menerapkan proses pembelajaran yang berorientasi akhlakul karimah (moral) sebagai penyeimbang dalam pengendalikan pertukaran kultur yang sangat cepat melalui media informasi yang akhir-akhir ini semakin canggih dan mengglobal.
Pendidikan akhlak mempunyai tanggung jawab yang cukup berat dalam usahanya menciptakan manusia yang cerdas, terampil, manusia yang beriman dan bertaqwa sehingga membentuk kepribadian yang luhur seperti disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003. Untuk itu lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar, menengah sampai perguruan tinggi harus berusaha menciptakan sistem yang selain demokratis, juga mempersiapkan dengan kebijakan-kebijakannya yang akan memperlebar ruang gerak pendidikan akhlak bagi anak didiknya. Usaha juga harus ditunjang dengan kajian ilmiah kritis tentang pemilihan materi-materi yang sesuai, tenaga pengajar yang mumpuni sebagai perisai keberhasilan pendidikan aklak. Dengan demikian, cita-cita menuju masyarakat Indonesia yang bermartabat dan berpradaban akan terwujud. Inilah tujuan akhir yang harus dicapai oleh pendidikan nasional sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 sebagai dasar penyelenggaraan Negara RI.

DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud, UU RI No. 2 tahun 1989,  tentang  Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Depdiknas, UU RI. No. 20  tahun  2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Fadil al-Jamaly, Tarbiyyat al-Insan al-Jadid, Tunis: Matba‘at al-Ittihad al-‘Am al-Tunisiyyat al-Sughli, 1967.
http://www.yudinet.com/pendidikan/pengertian-makna-pendidikan-karakter/ diakses tanggal 12 Agustus 2011.
Husnizar, Konsep Subjek Didik dalam Pendidikan Islam (Suatu telaah Perkembangan Spritual dan Intelektual Subjek Didik), Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007.
Jazuli Juwaini, Revitalisasi Pendidikan Moral, http://m.okezone.com, diakses tanggal 6 Oktober 2010.
Mohamad Surya, “Implikasi Kebijakan Otonomi daerah terhadap Tuntutan Pengembangan Sumber daya Manusia” Makalah dalam Seminar Sehari Dalam rangka Dies Natalis I Universitas Kuningan, tanggal 17 Juni 2004, di Kuningan
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Singgih Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga, Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, Bandung: Maestro, 2002.
Sukirman, Modul Pengembangan Ekstra Kurikuler PAI, Jakarta: Direktorat Pendidikan Agama Islam,: 2011.
























[1]Depdikbud, UU RI No. 2 tahun 1989,  tentang  Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, 1989
[2]Depdiknas, UU RI. No. 20  tahun  2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Jakarta: Balai Pustaka, 2003
[3]http://www.yudinet.com/pendidikan/pengertian-makna-pendidikan-karakter/ diakses tanggal 12 Agustus 2011
[5]Mohamad Surya, “Implikasi Kebijakan Otonomi daerah terhadap Tuntutan Pengembangan Sumber Daya Manusia”  Makalah dalam Seminar Sehari Dalam rangka Dies Natalis I Universitas Kuningan, tanggal 17 Juni 2004, di Kuningan

[6]Fadil al-Jamaly, Tarbiyyat al-Insân al-Jadid, (Tunis: Matba‘at al-Ittihad al-‘Am al-Tunisiyyat al-Sughli, 1967), hal. 36.
[7]M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hal. 41, disamping itu sumber krisis pendidikan Islam juga meliputi krisis nilai-nilai,  krisis konsep tentang kehidupan yang baik, adanya kesenjangan kredibilitas, adanya beban institusii sekolah yang terlalu besar, kurangnya sikap idealisme, kurangnnya sensitif terhadap pola kelangsungan hidup masa depan, kurangnya relevansi program pendidikan dengan kebutuhan masyarakat, adanya tendensi dalam pemanfaatan secara naif kekuatan teknologi canggih, makin membesarnya jurang si kaya dan si miskin, ledakan pertumbuhan penduduk dan makin menyusutnya jumlah ulama tradisional dan kualitasnya, lihat. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan…, hal. 38-41.
[8]Jazuli Juwaini, Revitalisasi Pendidikan Moral, http://m.okezone.com, diakses tanggal 6 Oktober 2010 
[9]Husnizar, Konsep Subjek Didik dalam Pendidikan Islam (Suatu telaah Perkembangan Spritual dan Intelektual Subjek Didik), (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007), hal. 116
[10]Singgih Gunarsa, Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hal. 61
[11]Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, (Bandung: Maestro, 2002), hal. 49-51
[12]Sukirman, Modul Pengembangan Ekstra Kurikuler PAI, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Agama Islam,: 2011), hal. 37-42
[13]Singgih Gunarsa,  Psikologi Perkembangan, …,  hal. 61
[14]Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar, …, hal. 53
[15] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar, …, hal. 53
[16] Jazuli Juwaini, Revitalisasi, …,hal. 2
[17]Jazuli Juwaini, Revitalisasi, …,hal. 2