Rabu, 17 Juni 2015

Nunung Sri Mulyani: Jurnal Al-Mumtaz, Volume IV, Nomor 1, Januari-Juni 2015, hal. 115-122

HUBUNGAN FREKUENSI KONSUMSI MAKANAN JAJANAN
DENGAN STATUS OBESITAS

Oleh:
Nunung Sri Mulyani
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jurusan Gizi Banda Aceh

ABSTRAK
Kegemukan dan obesitas didefinisikan oleh WHO sebagai akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan yang berpeluang menimbulkan beberapa resiko kesehatan pada seorang individu. Kegemukan dan obesitas mempengaruhi banyak orang dari segala usia, jenis kelamin, ras, dan kelompok etnis. Ini merupakan masalah kesehatan yang serius dan telah berkembang sejak lama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan frekuensi konsumsi makanan jajanan dengan status obesitas pada siswa SMP Negeri 1 Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan crossectional study yang ingin melihat bagaimana hubungan antara frekuensi konsumsi makanan jajanan dengan status obesitas pada siswa SMP Negeri 1 Banda Aceh. Hasil yang diperoleh yaitu dari 5 makanan jajanan yang berhubungan dengan status obesitas adalah 1 jenis jajanan yaitu bakso sedangkan 4 jajanan lainnya tidak ada hubungan dengan status obesitas. Adanya hubungan frekuensi konsumsi makanan jajanan pada jenis makanan bakso dengan menggunakan uji statistic chi-square dan tidak ada hubungan antara frekuensi konsumsi makanan jajanan siomay, mie goreng, es krim dan nasi goreng dengan menggunakan uji statistic chi-square. Diharapkan bagi pihak sekolah agar dapat memperhatikan jajanan yang di jual di sekitaran sekolah.

Kata Kunci: Obesitas, Frekuensi Makanan Jajanan

Pendahuluan
            Kegemukan dan obesitas didefinisikan oleh WHO sebagai akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan yang berpeluang menimbulkan beberapa resiko kesehatan pada seorang individu. Dengan kata lain, obesitas adalah kondisi dimana lemak tubuh telah menumpuk sehingga bisa menimbulkan efek buruk pada kesehatan (Rina,2011).
            Kegemukan dan obesitas mempengaruhi banyak orang dari segala usia, jenis kelamin, ras, dan kelompok etnis. Ini merupakan masalah kesehatan yang serius dan telah berkembang sejak lama. Di negara maju, obesitas bahkan telah meningkat dua kali lipat sejak tahun 80-an. Seperti di Amerika, yang mana orang-orang dewasa yang tinggal disana hampir sepertiganya gemuk. Tentu kita bisa membandingkan tingkat obesitas untuk masyarakat Indonesia dengan negara lainnya seperti Amerika, India, Jepang, atau bahkan Malaysia sekalipun. Tingkat obesitas berbeda-beda dari satu negara ke Negara lain, mungkin ini merupakan cerminan dari gaya hidup, genetik, dan faktor ekonomi. (Rina, 2011).
            Banyak faktor penyebab obesitas, salah satunya adalah kebiasaan makan. Kebiasaan makan anak kini telah bergeser jauh, dari makanan yang sehat (seperti buah-buahan, sayuran, gandum, dan padi-padian) menjadi ketergantungan terhadap makanan-makanan berisiko seperti makanan cepat saji, makanan ringan olahan, dan minuman manis. Makanan–makanan ini cenderung tinggi lemak dan kalori. Dan pola lainnya yang terkait dengan obesitas adalah kebiasaan makan sambil nonton TV, faktor genetik,status soaial ekonomi, gaya hidup yang tidak aktif, lingkungan, kurangnya keseimbangan energi, kehamilan, usia, obat-obatan, dan kurang tidur (rina, 2011)
            Dampak kesehatan dari obesitas adalah bisa terjadinya penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi, diabetes tipe 2, stroke, kanker, gagal jantung, jerawatan dan masih banyak penyakit yang lainnya (rina, 2011).
            Berdasarkan data yang di peroleh dari provinsi Aceh masalah kegemukan sudah terlihat tinggi dengan prevalensi 16,6%. Data Riskesdas tahun 2007 menyatakan bahwa anak yang berusia 6-14 tahun di Aceh Tenggara menunjukkan prevalensi kegemukan untuk anak laki-laki 9,3% dan untuk anak perempuan 3,8% menurut jenis kelamin menurut kabupaten/kota provinsi NAD dan prevalensi BB lebih anak umur 6-14 tahun menurut karakteristik, umur 13 tahun laki-laki 3,8% dan perempuan 2,5% umur 14 tahun laki-laki 2,5% dan perempuan 1,5% (riskesdas,2007).
            Konsumsi makanan jajanan salah satu cara yang dapat menyebabkan perkembangan tubuh menyimpang dari keadan normal terlebih jika ini terjadi pada tepat pada usia perkembangan. Remaja yang sedang dalam usia perkembangan mayoritas memiliki tubuh gemuk, dapat disebabkan oleh keadaan lingkungan dan kurang kontrolnya remaja pada saat mengkonsumsi makanan.
l 1. Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan (bakso tehadap status gizi)

No
Frekuensi Makanan Jajanan (Bakso)
Indeks massa tubuh
Total

P- Value
Kurus
Normal
Obesitas
N
%
N
%
n
%
n
%
1
Tidak Pernah

1
100
0
0
0
0
1
100
0,03
2
Jarang
    6
8,6
60
85,7
4
5,7
70
100
3
Sering
2
5,7
31
88,6
2
5,7
35
100
4
Selalu
0
0
13
92,9
1
7,1
14
100

Total
9
7,5
104
86,7
7
5,8
120
100
Metode
            Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan crossectional study yang ingin melihat bagaimana hubungan antara frekuensi konsumsi makanan jajanan dengan status obesitas pada siswa kelas II SMP Negeri 1 kutacane kabupaten Aceh Tenggara. Penelitian ini di lakukan di SMP Negeri 1 kutacane pada tanggal Juli 2012.
            Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas II SMP Negeri 1 kutacane. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling. Data berat badan dan tinggi badan yang diperoleh dengan cara penimbangan dan pengukuran langsung, serta mengukur makanan yang sering di konsumsi di peroleh dengan menggunakan daftar FFQ. Analisa statistik dilakukan untuk mengetahui hubungan frekuensi konsumsi makanan jajanan sebagai faktor terjadinya obesitas dengan menggunakan uji statistik chi-square dengan menggunakan bantuan komputer.
Berdasarkan tabel 8. diatas diketahui bahwa sampel yang tingkat frekuensi makanan jajanan (bakso) tidak pernah memiliki status gizi kurus sebanyak 1 orang (100 %), sampel yang  tingkat frekuensi makan makanan jajanan (bakso) jarang memiliki status gizi kurus sebanyak 6 orang (8,6 %), sedangkan yang memiliki status gizi normal terdapat sebanyak 60 orang (85,7 %) dan sampel yang memiliki status gizi obesitas sebanyak 4 orang (5,7 %).
         Sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (bakso) sering memiliki status gizi kurus sebanyak 2 orang (5,7 %), sedangkan sampel yang memiliki status gizi normal sebanyak sebanyak 31 orang (88,6 %), dan yang memiliki status gizi obesitas terdapat sebanyak 2 orang (5,7 %). Pada Sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (bakso) selalu memiliki status gizi normal sebanyak 13 orang (92,9 %), sedangkan sampel yang memiliki status gizi obesitas sebanyak sebanyak 1 orang (7,1 %).
    Maka dari hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square pada derajat kepercayaan 95 % menghasilkan P-value 0,03. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan makanan jajanan bakso dengan status gizi obesitas berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT).

1.   Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan (Siomay) Terhadap Status Gizi
Tabel 1.  Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan (Siomay Terhadap Status Gizi)

No
Frekuensi Makanan Jajanan (Siomay)
Indeks massa tubuh
Total

P- Value
Kurus
Normal
Obesitas
N
%
N
%
n
%
n
%
1
Jarang
2
13,3
12
80,0
1
6,7
15
100
0,14
2
Sering

4
6,1
61
92,4
1
1,5
66
100
3
Selalu
3
7,7
31
79,5
5
12,8
39
100

Total
9
7,5
104
86,7
7
5,8
120
100
Berdasarkan tabel 1. diatas diketahui bahwa sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (siomay) jarang memiliki status gizi kurus sebanyak 2 orang (13,3 %), sedangkan yang memiliki status gizi normal sebanyak 12 orang (80,0 %) dan sampel yang memiliki status gizi obesitas sebanyak 1 orang (6,7 %). Pada sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (siomay)  sering memiliki status gizi kurus sebanyak 4 orang (6,1 %), sedangkan yang memiliki status gizi normal terdapat sebanyak 61 orang (92,4 %) dan sampel yang memiliki status gizi obesitas sebanyak 1 orang (1,5 %).
      Sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (siomay) selalu memiliki status gizi kurus sebanyak 3 orang (7,7 %), sedangkan sampel yang memiliki status gizi normal sebanyak sebanyak 31 orang (79,5 %), dan yang memiliki status gizi obesitas terdapat sebanyak 5 orang (12,8 ) Maka dari hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square pada derajat kepercayaan 95 % menghasilkan P-value 0,14. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makanan jajanan siomay dengan status gizi obesitas berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT).

2.   Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan (Es Krim ) Terhadap Status Gizi
Tabel 2.  Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan jajanan (Es Krim Terhadap Status Gizi)

No
Frekuensi Makan jajanan (Es Krim)
Indeks massa tubuh
Total

P- Value
Kurus
Normal
Obesitas
N
%
N
%
n
%
N
%
1
Jarang
2
5,7
32
91,4
1
2,9
35
100
0,67
2
Sering

7
9,3
63
84,0
5
6,7
75
100
3
Selalu
0
0
9
90,0
1
10,0
10
100

Total
9
7,5
104
86,7
7
5,8
120
100
Berdasarkan tabel 2 diatas diketahui bahwa sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (Es Krim) jarang yang memiliki status gizi kurus sebanyak 2 orang (5,7 %), sedangkan yang memiliki status gizi normal sebanyak 32 orang (91,4 %) dan sampel yang memiliki status gizi obesitas terdapat sebanyak 1 orang (2,9 %). Pada sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (Es Krim) sering yang memiliki status gizi kurus sebanyak 7 orang (9,3 %), sedangkan yang memiliki status gizi normal terdapat sebanyak 63 orang (84,0 %) dan yang memiliki status gizi obesitas terdapat sebanyak 5 orang (6,7 %).
Sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (siomay) selalu memiliki status  gizi normal sebanyak sebanyak 9 orang (90,0 %), dan yang memiliki status gizi obesitas terdapat sebanyak 1 orang (10,0 %).
Maka dari hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square pada derajat kepercayaan 95 % menghasilkan P-value 0,67. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan makanan jajanan es krim dengan status gizi obesitas berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT).
3.   Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan (Mie Goreng) Terhadap Status Gizi
No
Frekuensi Makan jajanan (Mie Goreng)
Indeks massa tubuh
Total

P- Value
Kurus
Normal
Obesitas
N
%
N
%
n
%
N
%
1
Jarang
2
25,0
6
75,0
0
0
8
100
0,19
2
Sering

6
9,2
55
84,6
4
6,2
65
100
3
Selalu
1
2,1
43
91,5
3
6,4
47
100

Total
9
7,5
104
86,7
7
5,8
120
100

Tabel 3.  Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan jajanan (Mie Goreng) Terhadap Status Gizi)


           Berdasarkan tabel 3. diatas diketahui bahwa sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (Mie Goreng) jarang yang memiliki status gizi kurus sebanyak 2 orang (25,0 %), sedangkan yang memiliki status gizi normal sebanyak 6 orang (75,0 %). Pada sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (Mie Goreng) sering yang memiliki status gizi kurus sebanyak 6 orang (9,2 %), sedangkan yang memiliki status gizi normal terdapat sebanyak 55 orang (84,6 %) dan yang memiliki status gizi obesitas terdapat sebanyak 4 orang (6,2 %).
      Sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (Mie Goreng) selalu memiliki status  gizi kurus sebanyak sebanyak 1 orang (2,1 %), sedangkan yang memiliki status gizi normal terdapat sebanyak 43 orang (91,5%) dan yang memiliki status gizi obesitas terdapat sebanyak 3 orang (6,4%).
    Maka dari hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square pada derajat kepercayaan 95 % menghasilkan P-value 0,19. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan makanan jajanan mie goreng dengan status gizi obesitas berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT).

4.      Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan (Nasi Goreng ) Terhadap Status Gizi

Tabel 4.  Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan jajanan (Nasi Goreng Terhadap Status Gizi
No
Frekuensi Makan jajanan (Nasi Goreng)
Indeks massa tubuh
Total

P- Value
Kurus
Normal
Obesitas
N
%
N
%
n
%
N
%
1
Jarang
1
7,7
11
84,6
1
7,7
13
100
0,81
2
Sering

6
9,8
51
83,6
4
6,6
61
100
3
Selalu
2
4,3
42
91,3
2
4,3
46
100

Total
9
7,5
104
86,7
7
5,8
120
100

   Berdasarkan tabel 4 diatas diketahui bahwa sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (Nasi Goreng) jarang yang memiliki status gizi kurus terdapat sebanyak 1 orang (7,7 %) sedangkan yang memiliki status gizi normal sebanyak 11 orang (84,6 %) dan yang memiliki status gizi obesitas terdapat sebanyak 1 orang (7,7 %). Pada sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (Nasi Goreng) sering yang memiliki status gizi kurus sebanyak 6 orang (9,8 %) sedangkan yang memiliki status gizi normal terdapat sebanyak 51 orang (83,6 %) dan yang memiliki status gizi obesitas terdapat sebanyak 4 orang (6,6 %).
      Sampel yang tingkat frekuensi makan makanan jajanan (Nasi Goreng) selalu memiliki status  gizi kurus sebanyak 2 orang (4,3 %) sedangkan yang memiliki status gizi normal terdapat sebanyak 42 orang (91.3 %) dan yang memiliki status gizi obesitas terdapat sebanyak 2 orang (4,3 %).
    Maka dari hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square pada derajat kepercayaan 95 % menghasilkan P-value 0,81. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi makan makanan jajanan nasi goreng dengan status gizi obesitas berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT).

Pembahasan
            Masalah gizi kurang terutama banyak terjadi pada anak usia di bawah lima tahun, sedangkan masalah gizi lebih (Overweight dan obesitas) meningkat pada usia 30 tahun keatas dengan prevalensi ˂ 5 %, masalah obesitas ˃ 30 tahun ini meningkat sejak tahun 1999 sampai 2001 (Trisna, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian Pratama (2009) yang dilakukan di SMA Assalam Surakarta terhadap 70 siswa yang di observasi, menunjukkan bahwa 60 (85%) siswa yang memiliki berat badan ideal, 4 (5%) siswa memiliki berat badan berlebih (overweight), dan 8 (10%) siswa yang mengalami obesitas (Pratama, 2009).
Frekuensi konsumsi makanan jajanan dapat berdampak pada tingkat kenaikan berat badan khususnya pada anak usia sekolah, remaja serta dewasa, hingga berdampak pada status gizi. Semakin tinggi frekuensi mengkonsumsi makanan jajanan maka semakin tinggi pula kemungkinan mengalami kenaikan berat badan serta obesitas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMP Negeri 1 Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara maka hasil penelitian yang diperoleh yaitu dari 5 variabel (makanan jajanan) yaitu bakso, siomay, mie goreng , es krim, nasi goreng yang memliki hubungan yang bermakna terhadap status gizi obesitas yaitu pada jenis makanan bakso dengan P-value 0,03 pada derajat kepercayaan 95 %.
Banyak faktor yang terkait dalam terjadinya obesitas salah satu diantaranya adalah pola makan yang tidak sehat yaitu mengkonsumsi makanan jajanan. Makanan jajanan merupakan makanan yang mengandung lemak tinggi dan dapat menyumbangkan kalori lebih banyak. Makanan yang dikonsumsi akan menyubangkan energi, ketika tubuh menerima terlalu banyak asupan kalori dari yang dibutuhkan, maka kalori lebih ini akan disimpan sebagai lemak di tubuh untuk energy cadangan. Pada saat tubuh mengalami kelebihan kalori secara terus menerus berlanjut dari waktu ke waktu maka tubuh akan menjadi kelebihan berat badan dan bahkan dapat mengalami obesitas (Nurmalina, 2011).
Kebiasaan makan yang berbeda dapat kita lihat pada setiap orang yang mengalami obesitas. Kebiasaan makan makanan yang tinggi lemak dapat menyebabkan kelebihan penimbunan lemak di atas 20 % dari berat badan ideal, hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam kesehatan tubuh manusia (Misnadiarly, 2007).

Kesimpulan
1.      Prevalensi obesitas pada siswa/i di SMP Negeri 1 Kota Kuta Cane terdapat sebanyak 7 orang (5,8 %).
2.      Frekuensi konsumsi makanan jajanan (bakso) dengan kategori tidak pernah terdapat sebanyak 1 orang (0,8 %), sedangkan dengan kategori jarang sebanyak 70 orang (58,3 %) dan dengan kategori sering sebanyak 35 orang (29,2 %) dan dengan kategori selalu sebanyak 14 orang (11,7 %).
3.      Pada frekuensi konsumsi makanan jajanan (siomay) dengan kategori jarang sebanyak 15 orang (12,5%) dan dengan kategori sering sebanyak 66 orang (55,0 %) dan dengan kategori selalu sebanyak 39 orang (32,5 %).
4.      Pada frekuensi konsumsi makanan jajanan (mie goreng) dengan kategori jarang sebanyak 8 orang (6,7 %) dan dengan kategori sering sebanyak 65 orang (54,2 %) dan dengan kategori selalu sebanyak 47 orang (39,2 %).
5.      Frekuensi konsumsi makanan jajanan (es krim) dengan kategori jarang sebanyak 35 orang (29,2 %) dan dengan kategori sering sebanyak 75 orang (62,5%) dan dengan kategori selalu sebanyak 10 orang (8,3%).
6.      Pada frekuensi konsumsi makanan jajanan (nasi goreng) dengan kategori jarang sebanyak 13 orang (10,8 %) dan dengan kategori sering sebanyak 61 orang (50,8 %) dan dengan kategori selalu sebanyak 46 orang (38,3 %).
7.      Adanya hubungan frekuensi konsumsi makanan jajanan pada jenis makanan bakso dengan menggunakan uji statistic chi-square pada derajat kepercayaan 95 % menghasilkan P-Value 0,03, dan tidak ada hubungan antara frekuensi konsumsi makanan jajanan siomay, mie goreng, es krim dan nasi goreng dengan menggunakan uji statistic chi-square pada derajat kepercayaan 95% .

Saran
Bagi pihak sekolah agar dapat memperhatikan jajanan yang di jual di sekitaran sekolah.

 DAFTAR PUSTAKA

Jonh M deMan., 1997. Kimia Makanan. ITB, Bandung.
Merawati desiana, dkk, 2005. Perilaku Makan Pada Siswa Obesitas. Jurnal Iptek Olahraga. 1 (187)
Misnadiarly, 2007. Obesitas Sebagai Faktor Risiko Beberapa Penyakit, Pustaka Obor Populer, Jakarta.
Rina, nurmalina 2011. Pencegahan dan Manajemen Obesitas, PT Elex media komputindo kompas Gramedia, Jakarta.
Riskesdas, 2007. Laporan  Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2 (28-29)
Saydina, 2011. Sejarah Suku Alas dan Marganya. http://kutacaneku.blogspot.com/
Sediaoetama, AD, 2008. Ilmu Gizi I, Dian Rakyat, Jakarta.
Semiardji Gatut, 2007.Lingkar Pinggang: Barometer Kesehatan Anda. http://www.obesitas.web.id/obe-news(i)22.html
Sumber oleh Seksi Bank Data, Bidang Manajemen Database, Pelayanan Media dan Informasi, Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika. 3 (1)
Supariasa, IDN, dkk, 2002. Penilaian Status Gizi, EGC, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar