Rabu, 24 Juni 2020

Putri Santy: Jurnal Al-Mumtaz, Volume 9, Nomor 1, Januari-Juni 2020, hal. 7-12

 

HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANG TUA DISABILITAS DENGAN

SIKAP REMAJA TENTANG SEKSUALITAS DI HIMPUNAN WANITA

DISABILITAS INDONESIA (HWDI) KOTA BANDA ACEH

 

Oleh:

Putri Santy

 

ABSTRAK

Perilaku seksual berisiko tidak hanya terjadi pada remaja-remaja yang tinggal di kota besar, namun telah merambah ke daerah lain tidak terkecuali Provinsi Aceh. Survei yang dilakukan PKBI Provinsi Aceh terdapat 90% remaja pernah mengakses media pornografi, 40% mengaku pernah petting dan 12,5% pernah melakukan hubungan seks bebas. Seringkali remaja merasa bahwa orangtuanya menolak membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media internet. Cara-cara komunikasi orang tua dengan anak yang tidak sesuai, berdampak pada sikap dan prilaku remaja yang cenderung salah. Pelayanan yang diperoleh oleh perempuan disabilitas tidak setara dengan masyarakat “normal”. Kurangnya akses dan pengetahuan yang diperoleh oleh wanita disabilitas tentang kesehatan reproduksi akan mempengaruhi pemberian informasi kepada keluarga terutama anak remaja yang mereka miliki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komunikasi orangtua penyandang disabilitas (tuna netra) dengan sikap remaja terhadap hubungan seksual pranikah. Penelitian dengan rancangan cross sectional ini mengikutsertakan 53 remaja usia 10-19 dari orang tua penyandang disabilitas yang berada di wilayah Kota Banda Aceh sebagai sampel. Pengambilan sampel secara total populasi sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditetapkan oleh peneliti. Hasil Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara komunikasi orang tua disabilitas-remaja dengan sikap tentang hubungan seksual pranikah (ρ=0,000 CI 14,951-1382,115). Komunikasi orang tua dengan remaja berperan dalam membentuk sikap positif pada remaja tentang hubungan seksual pranikah. Kepada orang tua sebaiknya dapat memulai komunikasi tentang pendidikan seksual kepada anak sedini mungkin mulai usia 5 tahun, serta memperhatikan cara berkomunikasi yang baik.

 

Kata Kunci: komunikasi, remaja, sikap, hubungan seksual pranikah, disabilitas

 

PENDAHULUAN

Permasalahan remaja di Indonesia semakin memprihatinkan. Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan kasus kenakalan remaja yang melakukan hubungan seksual pra nikah. Perilaku seksual tersebut dapat ditimbulkan karena berbagai macam kondisi. Kemajuan teknologi mempermudah komunikasi dan mencari informasi untuk mengakses berbagai pengetahuan salah satunya tentang kesehatan reproduksi. Bila informasi dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS yang diperoleh tidak tepat, maka remaja yang sedang berada dalam masa pubertas dengan rasa ingin tahu yang tinggi dapat melakukan hubungan seks yang tidak aman yang akan mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan, HIV/AIDS maupun Infeksi Menular Seksual.1

Perilaku seksual berisiko tidak hanya terjadi pada remaja-remaja yang tinggal di kota besar, namun juga telah merambah ke daerah lain tidak terkecuali Provinsi Aceh. Hasil penelitian Dinas Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2012 menyimpulkan, pasca tsunami di Aceh, perilaku seksual berisiko di kalangan pelajar semakin meningkat. Berdasarkan informasi, tercatat kejadian yang paling mengkhawatirkan terjadi di Kota Lhokseumawe yakni mencapai 70%, sementara Kota Banda Aceh yang merupakan ibu kota Provinsi Aceh mencapai 50%.2  Sementara itu hasil survei yang dilakukan PKBI Provinsi Aceh menunjukkan bahwa 90% remaja pernah mengakses media pornografi, 40% mengaku pernah petting atau menyentuh organ intim pasangannya dan 12,5% pernah melakukan hubungan seks bebas.3

Remaja mempunyai rasa ingin tahu yang besar, namun remaja justru kurang mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang cukup berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Sebagai bentuk rasa keingintahuannya, maka remaja mencari informasi sebanyak- banyaknya. Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya, mereka akan berusaha untuk mendapatkan informasi ini. Seringkali remaja merasa bahwa orangtuanya menolak membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media internet.4

Dari beberapa bukti dan fakta tentang remaja, karakteristik dan permasalahan yang menyertainya, ditemukan bahwa faktor yang paling dominan yang menyebabkan muncul permasalahan pada diri remaja adalah karena faktor komunikasi antara orang tua dan anak.10 Penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Purwandari tahun 2002, sebagian kecil partisipan mengatakan mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dari orang tua, tetapi masih sebatas mengajarkan anak saat menstruasi, mengganti pembalut dan mencuci pakaian dalam. Orang tua merasa kesulitan untuk mengajarkan kesehatan reproduksi kepada anaknya, terutama melarang anak ketika berhubungan dengan pacar. Karena anak cenderung melawan. Peran orang tua sering dibantu oleh anggota keluarga lain (anak lain) yaitu kakak.5

 Keterbatasan secara fisik oleh perempuan penyandang tuna netra, menimbulkan berbagai kesulitan salah satunya adalah akses dalam mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi. Pelayanan yang diperoleh oleh perempuan disabilitas tidak setara dengan masyarakat “normal” atau bukan penyandang cacat. Perlakuan diskriminasi masih terus terjadi pada hampir semua bidang. Ditambah stigma masyarakat yang masih menempatkan para difabel sebagai kelompok masyarakat yang kurang produktif karena keterbatasan fisik, menyebabkan mereka menjadi kelompok masyarakat yang terpinggirkan.6

Kurangnya akses dan pengetahuan yang diperoleh oleh wanita disabilitas tentang kesehatan reproduksi akan mempengaruhi pemberian informasi kepada keluarga terutama anak remaja yang mereka miliki. Padahal orang tua memegang peranan penting untuk mencegah hubungan seksual pranikah pada remaja melalui komunikasi antara orang tua dan anak tentang isu seksualitas.

Berdasarkan Data Collection Survey on Disability and Development in Indonesia tahun 2015 jumlah penyandang disabilitas di Propinsi Aceh sebesar 219,017 atau 5,12% dari jumlah penduduk. Organisasi HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) Kota Banda Aceh beranggotakan 345 orang dengan berbagai kecacatan fisik. Wawancara yang dilakukan kepada lima orang ibu yang merupakan anggota HWDI mengatakan bahwa sulit untuk berkomunikasi dengan anak mereka yang remaja. Permasalahan seputar kesehatan reproduksi jarang sekali mereka bicarakan dengan anak, disebabkan rasa malu dan tidak mengetahui tentang kesehatan reproduksi. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang pernah mereka ajarkan kepada anaknya adalah seputar menstruasi dan melarang anaknya berpacaran.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian survey yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di Organisasi HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) Kota Banda Aceh. Populasi adalah remaja pertengahan dan akhir yaitu usia 14-19 dari orang tua penyandang disabilitas yang berada di wilayah Kota Banda Aceh serta tercatat sebagai anggota HWDI. Pengambilan sampel menggunakan teknik total populasi dengan jumlah sampel yang didapat 53orang responden, dengan kriteria a) tinggal bersama kedua orang tua; b) remaja normal secara fisik dan mental; c) menyetujui dan menandatangani informed consent; d) orang tua tidak mengalami tuna rungu.

Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data primer adalah kuesioner dan panduan melakukan wawancara. Penelitian ini dibantu oleh satu orang enumerator dengan latar belakang pendidikan DIII Kebidanan.

  

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

No

Variabel

f

%

1

Jenis kelamin

-         Laki-laki

-         Perempuan

13

40

24,5

75,5

2

Umur

 

 

 

-      14 tahun

-      15 tahun

-      16 tahun

-      17 tahun

-      18 tahun

-      19 tahun

10

12

7

8

4

12

18,9

22,6

13,2

15,1

7,5

22,6

3

Anak ke

 

 

 

-      1

28

52,8

 

-      2

-      3

20

5

37,7

9,4

3

Jumlah saudara kandung

 

 

 

-      1

1

1,9

 

-      2

16

30,2

 

-      3

-      4

22

14

41,5

26,4

4

Pendidikan Ayah

-         Rendah

-         Tinggi

38

15

71,7

28,3

5

Pendidikan Ibu

-         Rendah

-         Tinggi

40

13

75,5

24,5

 

Tabel 1 menggambarkan karakteristik responden dilihat dari jenis kelamin, mayoritas remaja yang menjadi sampel penelitian adalah perempuan (75,5%), dengan umur terbanyak 15 tahun dan 19 tahun sebesar 22,6%. Dari 53 orang sampel, 28 orang (52,8%) diantaranya adalah anak pertama dan jumlah saudara kandung terbanyak 3 orang (41,5%). Untuk pendidikan baik ayah dan ibu sama-sama memiliki tingkat pendidikan yang rendah, masing masing 71,7% (ayah) dan  75,5% (ibu).

Tabel 2. Analisis Hubungan Komunikasi Orangtua Disabilitas dan Remaja dengan Sikap tentang Hubungan Seksual Pranikah di HWDI Kota Banda Aceh

 

 

Sikap

χ2

P

RP

95% CI

 

Negatif

Positif

 

n

%

n

%

Komunikasi

 

 

 

 

 

 

 

 

      Buruk

25

96,2

1

3,8

35,367

0,000

6,4

14,951 - 1382,115*

      Baik

4

14,8

23

85,2

 

 

 

 

 

Hasil uji statistik pada Tabel 2, menyatakan hubungan yang bermakna antara komunikasi orang tua disabilitas-remaja dengan sikap tentang hubungan seksual pranikah (ρ=0,000 CI 14,951-1382,115). Sikap yang negatif sebesar 96,2% pada remaja yang proses komunikasi buruk dengan orang tua. Nilai RP=6,4 menunjukkan prevalensi remaja yang memiliki sikap negatif lebih banyak 6,4 kali jika remaja menjalin komunikasi yang buruk dengan orang tua disabilitas, dibandingkan dengan remaja yang menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua.

Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Nuranti (2009) bahwa rata-rata skor sikap remaja pada komunikasi orang tua-remaja baik, lebih tinggi dibandingkan dengan komunikasi orangtua-remaja yang buruk.7  Studi kualitatif yang dilakukan oleh Sari (2010) menunjukkan hasil yang sama yaitu untuk frekuensi komunikasi sebanyak 51,6% remaja melaporkan bahwa mereka sering berkomunikasi dengan orang tua tentang hal yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja, tapi 76% dengan kualitas komunikasi yang masih rendah. Secara keseluruhan, hanya 56,4% responden yang menyatakan bahwa komunikasi orang tua tentang seksual dalam kategori baik.8 

Komunikasi interpersonal antara remaja dengan orangtua sangat penting, karena komunikasi interpersonal merupakan bentuk komunikasi yang paling besar pengaruhnya dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan, opini dan perilaku.9  Pada Pembentukan sikap dapat dilakukan oleh orangtua melalui pendidikan seks untuk meningkatkan pengetahuan remaja tentang seksualitas.

Faktor yang paling dominan menyebabkan munculnya permasalahan pada diri remaja adalah karena faktor komunikasi antara orang tua dan anak. Cara-cara komunikasi orang tua dengan anak yang tidak sesuai, terutama berkaitan dengan penananaman nilai-nilai religiusitas dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja berdampak pada sikap dan prilaku remaja yang cenderung salah, tidak terarah dalam mengatasi berbagai problema yang dihadapi, terutama problema terkait dengan masalah kesehatan reproduksi.10

Perempuan penyandang disabilitas minim terhadap akses untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan kesehatan. Hal ini diakibatkan oleh perilaku orang di sekitar perempuan penyandang disabilitas, juga disebabkan oleh berbagai halangan secara fisik, komunikasi dan keuangan. Sehingga perempuan penyandang disabilitas memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang kurang.11

Sebuah  penelitian  di  Kamerun  menunjukkan bahwa  perempuan  penyandang  cacat  memiliki keterbatasan  pemahaman  terhadap  kesehatan reproduksi  dan  memiliki  pendidikan  kesehatan reproduksi yang rendah.  Penyandang cacat memiliki hambatan untuk mengakses pelayanan dan informasi kesehatan. Hambatan tersebut muncul dari  berbagai aspek  seperti  norma  dan  budaya  yang  membatasi, keterbatasan  pelayanan,  kurangnya  alat  bantu, lemahnya  kemampuan  komunikasi  para  petugas kesehatan, tidak tersedianya bangunan, marjinalisasi dalam  komunitas,  buta  huruf,  keterbatasan pendidikan,  serta  ketidaksetaraan gender.  Keluarga, pengasuh, institusi, atau bahkan pelayanan kesehatan profesional  seringkali  mengabaikan  kebutuhan perempuan  penyandang  cacat  karena  munculnya persepsi bahwa mereka tidak aktif secara seksual dan tidak  memerlukan  informasi  kesehatan  seksual.11

Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas juga disebabkan oleh rasa rendah diri, karena rendahnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan reproduksi (pendidikan seks). Hasil pre-test materi dasar Reproduksi Sehat Anak dan Remaja (RSAR) di Jakarta Timur (perkotaan) dan Lembang (pedesaan) menunjukkan bahwa apabila orang tua merasa memiliki pengetahuan yang cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, mereka lebih yakin dan tidak merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan dengan masalah seks.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Prihatin (2006) terhadap perilaku seksual remaja di Kota Lhokseumawe, menunjukkan bagaimana hubungan antara remaja dan orang tua, bahwa 39,4% remaja yang berperilaku seksual berat berasal dari keluarga dengan hubungan orang tua yang rendah. Dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan menunjukkan bahwa orang tua sangat memonitor perilaku seksual remaja, akan tetapi mereka kurang memberikan informasi dan alasan tepat mengenai seksualitas dan mengapa ada hal tertentu yang tidak boleh dilakukan. Orang tua masih tabu membicarakan tentang seks karena melanggar norma-norma adat, agama dan tidak perlu dibicarakan. Pada tatanan masyarakat Aceh,  remaja lebih dekat dengan ibunya. Komunikasi terjalin dengan baik tetapi tidak untuk masalah yang berhubungan dengan komunikasi seksual. Ayah sebagai kepala keluarga memiliki otoritas untuk membuat keputusan secara penuh dikeluarga sehingga fungsi ayah lebih dominan dibandingkan ibu.12

Pertanyaan yang tercantum di kuesioner untuk variabel komunikasi dalam penelitian ini, mayoritas remaja menjawab tidak pernah mendapatkan informasi dari orang tua tentang risiko terkena AIDS/HIV jika melakukan hubungan seks sebelum nikah dan risiko terkena penyakit seksual menular jika melakukan hubungan seks sewaktu pacaran. Hal serupa diungkapkan oleh Sari (2010) dalam studi kualitatif bahwa topik yang sering dibahas oleh orang tua dan remaja adalah pacaran, risiko kehamilan, larangan seksual pranikah, nilai keperawanan, norma sosial dan norma agama. Sedangkan topik yang jarang dibahas adalah dampak terhadap kehamilan, penyakit menular seksual (PMS) dan AIDS/HIV. Topik seksual yang biasa orang tua sampaikan kepada remaja adalah tentang menstruasi dan nasehat dalam pacaran, nilai agama, cara berteman dan peraturan di rumah tentang jam malam serta harapan orang tua tentang masa depan remaja.8

Remaja seringkali tidak menerima pendidikan kesehatan reproduksi yang memadai dari orangtuanya ketika menginjak remaja, meskipun pendidikan orangtuanya tinggi. Hal tersebut disebabkan antara lain: 1) waktu orangtua lebih banyak diluar rumah karena orangtua bekerja, 2) orangtua masih malu untuk berbicara mengenai kesehatan reproduksi pada remaja karena masih menganggap bahwa seks tabu untuk dibicarakan; dan 3) keterbatasan informasi yang dimiliki orangtua tentang pendidikan kesehatan reproduksi remaja.10

Pengetahuan perempuan penyandang disabilitas yang kurang tentang seksualitas menyebabkan penyampaian informasi kepada anak menjadi tidak terarah dan sulit dipahami oleh anak. Berbagai kendala baik fisik, pengetahuan, tingkat pendidikan menjadi kendala langsung dalam berkomunikasi. 

 KESIMPULAN

1.        Proporsi remaja yang memiliki sikap positif  tentang hubungan seksual pranikah lebih tinggi pada remaja yang proses komunikasi orang tua disabilitas-remajanya baik (85,2).

2.        Komunikasi orang tua dengan remaja berperan dalam membentuk sikap positif pada remaja tentang hubungan seksual pranikah.

 

SARAN

Bagi masyarakat khususnya orang tua sebaiknya dapat memulai komunikasi tentang masalah seksual kepada anak sedini mungkin mulai usia 5 tahun. Serta memperhatikan cara berkomunikasi yang baik. Pada usia remaja, isi pesan seksualitas harus jelas, lebih ditekankan pada batasan dan dampak dari aktifitas pacaran, cara mengendalikan dorongan libido remaja yang sehat dengan berbagai aktifitas. Dan bagi para pendidik di sekolah, hendaknya melakukan pengawasan khusus dan dukungan bagi remaja dari orang tua yang menyandang disabilitas.

  

DAFTAR PUSTAKA

 

Azwar, S. (1997) Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Darwisyah, SR. 2008. Seksualitas Remaja Indonesia. Available at http://yudhim.dagdigdug.com/2008/02/04seksualitas-remajaindonesia/sekssepanjangusia. Accessed on 20 Pebruari 2017.

Dinas kesehatan provinsi aceh 2012

Haryono, T.J.S., Kinasih, S.E., Mas’udah, S.,  Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 26, No. 2, tahun 2013, hal. 65-79

Irianti. 2010. Psikologi Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: EGC

Lestari dan Purwandari (2002) (Lestari S dan Purwandari E (2002), “Kemampuan komunikasi ibu anak tentang seksualitas ditinjau dari tingkat pengetahuan ibu.” Indegenousvol 6 nomor 1)

Memprihatinkan, Sisi gelap kehidupan ABG di Aceh. Banda Aceh. Serambi Indonesia, kompas.com, 2014

Nuranti, A., 2009. Hubungan Antara Komunikasi Orangtua - Remaja Dengan Sikap Remaja Terhadap Hubungan Seksual Pranikah di SMA Kabupaten Purworejo, Tesis, UGM, Yogyakarta.

Nurhidayah, Y, 2011. Pengaruh Komunikasi Orang Tua Tentang Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dan Penanaman Nilai-Nilai Religiusitas Terhadap Prilaku Seksual Remaja, Holistik. Vol 12 Nomor 02, Desember 2011/1433 H.

Prihatin, N.S. (2006) Hubungan antara asupan seksual pada televisi dan internet dengan perilaku seksual remaja SMU Negeri I Lhokseumawe. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Rahayu, S., dkk. Pelayanan Publik Bidang Transportasi bagi kaum Difabel, Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Sari, D.K., Komunikasi Orang Tua dan Perilaku Seksual Remaja Sekolah Menengah  Kejuruan di Kota Baturaja, Tesis, UGM, Yogyakarta.

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar