HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANG TUA DISABILITAS
DENGAN
SIKAP REMAJA TENTANG SEKSUALITAS DI HIMPUNAN WANITA
DISABILITAS INDONESIA (HWDI) KOTA BANDA ACEH
Oleh:
Putri Santy
Perilaku seksual berisiko tidak
hanya terjadi pada remaja-remaja yang tinggal di kota besar, namun telah
merambah ke daerah lain tidak terkecuali Provinsi Aceh. Survei yang dilakukan
PKBI Provinsi Aceh terdapat 90% remaja pernah mengakses media pornografi, 40%
mengaku pernah petting dan 12,5% pernah melakukan hubungan seks bebas.
Seringkali remaja merasa bahwa orangtuanya menolak membicarakan masalah seks
sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman
atau media internet. Cara-cara komunikasi orang tua dengan anak yang tidak
sesuai, berdampak pada sikap dan prilaku remaja yang cenderung salah. Pelayanan
yang diperoleh oleh perempuan disabilitas tidak setara dengan masyarakat
“normal”. Kurangnya akses dan pengetahuan
yang diperoleh oleh wanita disabilitas tentang kesehatan reproduksi akan
mempengaruhi pemberian informasi kepada keluarga terutama anak remaja yang
mereka miliki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
komunikasi orangtua penyandang disabilitas (tuna netra) dengan sikap remaja
terhadap hubungan seksual pranikah. Penelitian dengan rancangan cross sectional
ini mengikutsertakan 53 remaja usia
10-19 dari orang tua penyandang disabilitas yang berada di wilayah Kota Banda
Aceh sebagai sampel. Pengambilan sampel secara total populasi sesuai dengan
kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditetapkan oleh peneliti. Hasil
Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara komunikasi orang
tua disabilitas-remaja dengan sikap tentang hubungan seksual pranikah (ρ=0,000
CI 14,951-1382,115). Komunikasi orang tua dengan remaja berperan dalam
membentuk sikap positif pada remaja tentang hubungan seksual pranikah. Kepada
orang tua sebaiknya dapat memulai komunikasi tentang pendidikan seksual kepada
anak sedini mungkin mulai usia 5 tahun, serta memperhatikan cara berkomunikasi
yang baik.
Kata Kunci: komunikasi, remaja, sikap,
hubungan seksual pranikah, disabilitas
PENDAHULUAN
Permasalahan
remaja di Indonesia semakin memprihatinkan. Dari tahun ke tahun terjadi
peningkatan kasus kenakalan remaja yang melakukan hubungan seksual pra nikah.
Perilaku seksual tersebut dapat ditimbulkan karena berbagai macam kondisi.
Kemajuan teknologi mempermudah komunikasi dan mencari informasi untuk mengakses
berbagai pengetahuan salah satunya tentang kesehatan reproduksi. Bila informasi
dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS yang diperoleh tidak
tepat, maka remaja yang sedang berada dalam masa pubertas dengan rasa ingin
tahu yang tinggi dapat melakukan hubungan seks yang tidak aman yang akan
mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan, HIV/AIDS maupun Infeksi Menular
Seksual.1
Perilaku
seksual berisiko tidak hanya terjadi pada remaja-remaja yang tinggal di kota
besar, namun juga telah merambah ke daerah lain tidak terkecuali Provinsi Aceh.
Hasil penelitian Dinas Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2012 menyimpulkan, pasca
tsunami di Aceh, perilaku seksual berisiko di kalangan pelajar semakin
meningkat. Berdasarkan informasi, tercatat kejadian yang paling mengkhawatirkan
terjadi di Kota Lhokseumawe yakni mencapai 70%, sementara Kota Banda Aceh yang
merupakan ibu kota Provinsi Aceh mencapai 50%.2 Sementara itu hasil survei yang
dilakukan PKBI Provinsi Aceh menunjukkan bahwa 90% remaja pernah mengakses
media pornografi, 40% mengaku pernah petting atau menyentuh organ intim
pasangannya dan 12,5% pernah melakukan hubungan seks bebas.3
Remaja
mempunyai rasa ingin tahu yang besar, namun remaja justru kurang mendapatkan
kesempatan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang cukup berkaitan
dengan kesehatan reproduksi. Sebagai bentuk rasa keingintahuannya, maka remaja
mencari informasi sebanyak- banyaknya. Remaja seringkali merasa tidak nyaman
atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya.
Akan tetapi karena faktor keingintahuannya, mereka akan berusaha untuk
mendapatkan informasi ini. Seringkali remaja merasa bahwa orangtuanya menolak
membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber
informasi lain seperti teman atau media internet.4
Dari beberapa
bukti dan fakta tentang remaja, karakteristik dan permasalahan yang
menyertainya, ditemukan bahwa faktor yang paling dominan yang menyebabkan
muncul permasalahan pada diri remaja adalah karena faktor komunikasi antara
orang tua dan anak.10 Penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan
Purwandari tahun 2002, sebagian kecil partisipan mengatakan mendapatkan
informasi kesehatan reproduksi dari orang tua, tetapi masih sebatas mengajarkan
anak saat menstruasi, mengganti pembalut dan mencuci pakaian dalam. Orang tua
merasa kesulitan untuk mengajarkan kesehatan reproduksi kepada anaknya, terutama
melarang anak ketika berhubungan dengan pacar. Karena anak cenderung melawan.
Peran orang tua sering dibantu oleh anggota keluarga lain (anak lain) yaitu
kakak.5
Keterbatasan secara fisik oleh perempuan
penyandang tuna netra, menimbulkan berbagai kesulitan salah satunya adalah
akses dalam mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi. Pelayanan yang
diperoleh oleh perempuan disabilitas tidak setara dengan masyarakat “normal”
atau bukan penyandang cacat. Perlakuan diskriminasi masih terus terjadi pada
hampir semua bidang. Ditambah stigma masyarakat yang masih menempatkan para
difabel sebagai kelompok masyarakat yang kurang produktif karena keterbatasan
fisik, menyebabkan mereka menjadi kelompok masyarakat yang terpinggirkan.6
Kurangnya
akses dan pengetahuan yang diperoleh oleh wanita disabilitas tentang kesehatan
reproduksi akan mempengaruhi pemberian informasi kepada keluarga terutama anak
remaja yang mereka miliki. Padahal orang tua memegang peranan penting untuk
mencegah hubungan seksual pranikah pada remaja melalui komunikasi antara orang
tua dan anak tentang isu seksualitas.
Berdasarkan
Data Collection Survey on Disability and Development in Indonesia tahun 2015
jumlah penyandang disabilitas di Propinsi Aceh sebesar
219,017 atau 5,12% dari jumlah penduduk. Organisasi HWDI (Himpunan Wanita
Disabilitas Indonesia) Kota Banda Aceh beranggotakan 345 orang dengan berbagai
kecacatan fisik. Wawancara yang dilakukan kepada lima orang ibu yang merupakan
anggota HWDI mengatakan bahwa sulit untuk berkomunikasi dengan anak mereka yang
remaja. Permasalahan seputar kesehatan reproduksi jarang sekali mereka
bicarakan dengan anak, disebabkan rasa malu dan tidak mengetahui tentang
kesehatan reproduksi. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang pernah
mereka ajarkan kepada anaknya adalah seputar menstruasi dan melarang anaknya
berpacaran.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini
merupakan penelitian survey yang
bersifat analitik dengan pendekatan cross
sectional. Penelitian dilakukan di Organisasi HWDI (Himpunan Wanita
Disabilitas Indonesia) Kota Banda Aceh. Populasi adalah remaja pertengahan dan
akhir yaitu usia 14-19 dari orang tua penyandang disabilitas yang berada di
wilayah Kota Banda Aceh serta tercatat sebagai anggota HWDI. Pengambilan sampel
menggunakan teknik total populasi dengan jumlah sampel
yang didapat 53orang responden, dengan kriteria a) tinggal bersama kedua
orang tua; b) remaja normal secara fisik dan mental; c) menyetujui dan
menandatangani informed consent; d) orang tua tidak mengalami tuna rungu.
Instrumen
penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data primer adalah kuesioner dan
panduan melakukan wawancara. Penelitian ini dibantu oleh satu orang enumerator
dengan latar belakang pendidikan DIII Kebidanan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik
Responden
No |
Variabel |
f |
% |
1 |
Jenis kelamin -
Laki-laki -
Perempuan |
13 40 |
24,5 75,5 |
2 |
Umur |
|
|
|
-
14 tahun -
15 tahun -
16 tahun -
17 tahun -
18 tahun -
19 tahun |
10 12 7 8 4 12 |
18,9 22,6 13,2 15,1 7,5 22,6 |
3 |
Anak ke |
|
|
|
-
1 |
28 |
52,8 |
|
-
2 -
3 |
20 5 |
37,7 9,4 |
3 |
Jumlah saudara kandung |
|
|
|
-
1 |
1 |
1,9 |
|
-
2 |
16 |
30,2 |
|
-
3 -
4 |
22 14 |
41,5 26,4 |
4 |
Pendidikan Ayah -
Rendah -
Tinggi |
38 15 |
71,7 28,3 |
5 |
Pendidikan Ibu -
Rendah -
Tinggi |
40 13 |
75,5 24,5 |
Tabel 1
menggambarkan karakteristik responden dilihat dari jenis kelamin, mayoritas
remaja yang menjadi sampel penelitian adalah perempuan (75,5%), dengan umur
terbanyak 15 tahun dan 19 tahun sebesar 22,6%. Dari 53 orang sampel, 28 orang
(52,8%) diantaranya adalah anak pertama dan jumlah saudara kandung terbanyak 3
orang (41,5%). Untuk pendidikan baik ayah dan ibu sama-sama memiliki tingkat
pendidikan yang rendah, masing masing 71,7% (ayah) dan 75,5% (ibu).
Tabel 2. Analisis Hubungan Komunikasi Orangtua
Disabilitas dan Remaja dengan Sikap tentang Hubungan Seksual Pranikah di HWDI
Kota Banda Aceh
|
Sikap |
χ2 |
P |
RP |
95% CI |
|||
|
Negatif |
Positif |
||||||
|
n |
% |
n |
% |
||||
Komunikasi |
|
|
|
|
|
|
|
|
Buruk |
25 |
96,2 |
1 |
3,8 |
35,367 |
0,000 |
6,4 |
14,951
- 1382,115* |
Baik |
4 |
14,8 |
23 |
85,2 |
|
|
|
|
Hasil
uji statistik pada Tabel 2, menyatakan hubungan yang bermakna antara komunikasi
orang tua disabilitas-remaja dengan sikap tentang hubungan seksual pranikah
(ρ=0,000 CI 14,951-1382,115). Sikap yang negatif sebesar 96,2% pada remaja yang
proses komunikasi buruk dengan orang tua. Nilai RP=6,4 menunjukkan prevalensi
remaja yang memiliki sikap negatif lebih banyak 6,4 kali jika remaja menjalin
komunikasi yang buruk dengan orang tua disabilitas, dibandingkan dengan remaja
yang menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua.
Penelitian
ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Nuranti (2009) bahwa rata-rata skor
sikap remaja pada komunikasi orang tua-remaja baik, lebih tinggi dibandingkan
dengan komunikasi orangtua-remaja yang buruk.7 Studi kualitatif yang dilakukan oleh
Sari (2010) menunjukkan hasil yang sama yaitu untuk frekuensi komunikasi
sebanyak 51,6% remaja melaporkan bahwa mereka sering berkomunikasi dengan orang
tua tentang hal yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja, tapi 76%
dengan kualitas komunikasi yang masih rendah. Secara keseluruhan, hanya 56,4%
responden yang menyatakan bahwa komunikasi orang tua tentang seksual dalam
kategori baik.8
Komunikasi
interpersonal antara remaja dengan orangtua sangat penting, karena komunikasi
interpersonal merupakan bentuk komunikasi yang paling besar pengaruhnya dalam
kegiatan mengubah sikap, kepercayaan, opini dan perilaku.9 Pada Pembentukan sikap dapat dilakukan oleh
orangtua melalui pendidikan seks untuk meningkatkan pengetahuan remaja tentang
seksualitas.
Faktor yang
paling dominan menyebabkan munculnya permasalahan pada diri remaja adalah
karena faktor komunikasi antara orang tua dan anak. Cara-cara komunikasi orang
tua dengan anak yang tidak sesuai, terutama berkaitan dengan penananaman
nilai-nilai religiusitas dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja
berdampak pada sikap dan prilaku remaja yang cenderung salah, tidak terarah
dalam mengatasi berbagai problema yang dihadapi, terutama problema terkait
dengan masalah kesehatan reproduksi.10
Perempuan
penyandang disabilitas minim terhadap akses untuk mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan kesehatan. Hal ini diakibatkan oleh perilaku orang di sekitar
perempuan penyandang disabilitas, juga disebabkan oleh berbagai halangan secara
fisik, komunikasi dan keuangan. Sehingga perempuan penyandang disabilitas
memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang kurang.11
Sebuah penelitian
di Kamerun menunjukkan bahwa perempuan
penyandang cacat memiliki keterbatasan pemahaman
terhadap kesehatan
reproduksi dan memiliki
pendidikan kesehatan reproduksi
yang rendah. Penyandang cacat memiliki
hambatan untuk mengakses pelayanan dan informasi kesehatan. Hambatan tersebut
muncul dari berbagai aspek seperti
norma dan budaya
yang membatasi, keterbatasan pelayanan,
kurangnya alat bantu, lemahnya kemampuan
komunikasi para petugas kesehatan, tidak tersedianya
bangunan, marjinalisasi dalam komunitas, buta
huruf, keterbatasan
pendidikan, serta ketidaksetaraan gender. Keluarga, pengasuh, institusi, atau bahkan
pelayanan kesehatan profesional
seringkali mengabaikan kebutuhan perempuan penyandang
cacat karena munculnya persepsi bahwa mereka tidak aktif
secara seksual dan tidak memerlukan informasi
kesehatan seksual.11
Keengganan para
orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas juga
disebabkan oleh rasa rendah diri, karena rendahnya pengetahuan mereka mengenai
kesehatan reproduksi (pendidikan seks). Hasil pre-test materi dasar Reproduksi
Sehat Anak dan Remaja (RSAR) di Jakarta Timur (perkotaan) dan Lembang
(pedesaan) menunjukkan bahwa apabila orang tua merasa memiliki pengetahuan yang
cukup mendalam tentang kesehatan reproduksi, mereka lebih yakin dan tidak
merasa canggung untuk membicarakan topik yang berhubungan dengan masalah seks.
Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Prihatin (2006) terhadap perilaku seksual remaja
di Kota Lhokseumawe, menunjukkan bagaimana hubungan antara remaja dan orang
tua, bahwa 39,4% remaja yang berperilaku seksual berat berasal dari keluarga
dengan hubungan orang tua yang rendah. Dari hasil wawancara mendalam yang
dilakukan menunjukkan bahwa orang tua sangat memonitor perilaku seksual remaja,
akan tetapi mereka kurang memberikan informasi dan alasan tepat mengenai seksualitas
dan mengapa ada hal tertentu yang tidak boleh dilakukan. Orang tua masih tabu
membicarakan tentang seks karena melanggar norma-norma adat, agama dan tidak
perlu dibicarakan. Pada tatanan masyarakat Aceh, remaja lebih dekat dengan ibunya. Komunikasi
terjalin dengan baik tetapi tidak untuk masalah yang berhubungan dengan
komunikasi seksual. Ayah sebagai kepala keluarga memiliki otoritas untuk
membuat keputusan secara penuh dikeluarga sehingga fungsi ayah lebih dominan
dibandingkan ibu.12
Pertanyaan yang
tercantum di kuesioner untuk variabel komunikasi dalam penelitian ini,
mayoritas remaja menjawab tidak pernah mendapatkan informasi dari orang tua
tentang risiko terkena AIDS/HIV jika melakukan
hubungan seks sebelum nikah dan risiko terkena
penyakit seksual menular jika melakukan hubungan seks sewaktu pacaran.
Hal serupa diungkapkan oleh Sari (2010) dalam studi kualitatif bahwa topik yang
sering dibahas oleh orang tua dan remaja adalah pacaran, risiko kehamilan,
larangan seksual pranikah, nilai keperawanan, norma sosial dan norma agama.
Sedangkan topik yang jarang dibahas adalah dampak terhadap kehamilan, penyakit
menular seksual (PMS) dan AIDS/HIV. Topik
seksual yang biasa orang tua sampaikan kepada remaja adalah tentang menstruasi
dan nasehat dalam pacaran, nilai agama, cara berteman dan peraturan di rumah
tentang jam malam serta harapan orang tua tentang masa depan remaja.8
Remaja
seringkali tidak menerima pendidikan kesehatan reproduksi yang memadai dari
orangtuanya ketika menginjak remaja, meskipun pendidikan orangtuanya tinggi.
Hal tersebut disebabkan antara lain: 1) waktu orangtua lebih banyak diluar
rumah karena orangtua bekerja, 2) orangtua masih malu untuk berbicara mengenai
kesehatan reproduksi pada remaja karena masih menganggap bahwa seks tabu untuk
dibicarakan; dan 3) keterbatasan informasi yang dimiliki orangtua tentang
pendidikan kesehatan reproduksi remaja.10
Pengetahuan
perempuan penyandang disabilitas yang kurang tentang seksualitas menyebabkan
penyampaian informasi kepada anak menjadi tidak terarah dan sulit dipahami oleh
anak. Berbagai kendala baik fisik, pengetahuan, tingkat pendidikan menjadi
kendala langsung dalam berkomunikasi.
1.
Proporsi remaja yang memiliki sikap positif tentang hubungan seksual pranikah lebih
tinggi pada remaja yang proses komunikasi orang tua disabilitas-remajanya baik
(85,2).
2.
Komunikasi orang tua dengan remaja berperan dalam membentuk sikap
positif pada remaja tentang hubungan seksual pranikah.
SARAN
Bagi masyarakat
khususnya orang tua sebaiknya dapat memulai komunikasi tentang masalah seksual
kepada anak sedini mungkin mulai usia 5 tahun. Serta memperhatikan cara
berkomunikasi yang baik. Pada usia remaja, isi pesan seksualitas harus jelas,
lebih ditekankan pada batasan dan dampak dari aktifitas pacaran, cara
mengendalikan dorongan libido remaja yang sehat dengan berbagai aktifitas. Dan
bagi para pendidik di sekolah, hendaknya melakukan pengawasan khusus dan
dukungan bagi remaja dari orang tua yang menyandang disabilitas.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar,
S. (1997) Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Darwisyah,
SR. 2008. Seksualitas Remaja Indonesia. Available at
http://yudhim.dagdigdug.com/2008/02/04seksualitas-remajaindonesia/sekssepanjangusia.
Accessed on 20 Pebruari 2017.
Dinas
kesehatan provinsi aceh 2012
Haryono,
T.J.S., Kinasih, S.E., Mas’udah, S., Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol.
26, No. 2, tahun 2013, hal. 65-79
Irianti.
2010. Psikologi Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: EGC
Lestari
dan Purwandari (2002) (Lestari S dan Purwandari E (2002), “Kemampuan komunikasi
ibu anak tentang seksualitas ditinjau dari tingkat pengetahuan ibu.”
Indegenousvol 6 nomor 1)
Memprihatinkan,
Sisi gelap kehidupan ABG di Aceh. Banda Aceh. Serambi Indonesia, kompas.com,
2014
Nuranti,
A., 2009. Hubungan Antara Komunikasi Orangtua - Remaja Dengan Sikap Remaja
Terhadap Hubungan Seksual Pranikah di SMA Kabupaten Purworejo, Tesis, UGM,
Yogyakarta.
Nurhidayah,
Y, 2011. Pengaruh Komunikasi Orang Tua Tentang Pengetahuan Kesehatan Reproduksi
dan Penanaman Nilai-Nilai Religiusitas Terhadap Prilaku Seksual Remaja, Holistik.
Vol 12 Nomor 02, Desember 2011/1433 H.
Prihatin,
N.S. (2006) Hubungan antara asupan seksual pada televisi dan internet dengan
perilaku seksual remaja SMU Negeri I Lhokseumawe. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Rahayu,
S., dkk. Pelayanan Publik Bidang Transportasi bagi kaum Difabel, Di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Sari,
D.K., Komunikasi Orang Tua dan Perilaku
Seksual Remaja Sekolah Menengah Kejuruan
di Kota Baturaja, Tesis, UGM, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar