KONFLIK ACEH
DAN POSISI MEDIA MASSA
Oleh:
Baharuddin
ABSTRAK
Konflik Acheh
dengan Pemerintah Pusat (Jakarta), atau sering disebut dengan konflik vertikal,
telah berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Benih-benih konflik ini telah
disemai dalam masa yang lama pula oleh para penjajah (colonialism). Kondisi
media massa di wilayah konflik (conflict area) baik cetak maupun elektronik
sangat dilematis. Di satu sisi, dituntut indepedensi, kejujuran, keadilan,
keberanian dan berpihak kepada kebenaran. Di sisi lain, proses perebutan
pengaruh kedua pihak berkonflik juga sangat berimbas pada eksistensi media
massa dan pekerja pers. Dalam konteks ini, telah menjadi pembenaraan bahwa
media massa ikut andil mengacaukan suasana sekaligus menganjurkan perang. Bagaimana
prinsip-prinsip jurnalistik yang digunakan oleh pekerja pers dalam meliput
berita-berita konflik. Apakah cenderung ke jurnalisme damai (peace journalism)
atau jurnalisme perang (war journalism). Dan bagaimana pula bahasa-bahasa
berita yang digunakan.Tulisan sederhana ini mencoba menyoroti dan menganalisis
kondisi, posisi dan kecendrungan media
massa dalam meliput berita-berita konflik, terutama media massa di Aceh. Di
samping itu, juga akan disorot, bagaimana proses komunikasi politik yang
dimainkan. Konteks ini terkait dengan proses politik yang dimainkan dalam
penyelesaian konflik vertikal di Aceh. Hegemoni dan ideologi media dan
bagaimana media merekonstruksi realitas, juga menjadi sorotan dalam bahasan
ini. Terkait dengan konteks ini, proses penyelesaiaannya harus melibatkan semua
komponen public, baik lokal, nasional maupun international, termasuk komponen
media massa. Media massa dalam konteks ini, harus senantiasa cenderung
menggunakan prinsip dan etika jurnalisme damai (peace journalism) atau perang
(war journalism).
Kata Kunci: Konflik Aceh, Media Massa
Pendahuluan
Konflik Acheh dengan Pemerintah Pusat
(Jakarta), atau sering disebut dengan konflik vertikal, telah
berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Benih-benih konflik ini telah
disemai dalam masa yang lama pula oleh para penjajah (colonialism). Setelah
Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, ternyata spirit dan aktualisasi
praktik-praktik model klasik dan ortodok ini masih juga diamalkan. Sehingga
ketidakpuasan rakyat terhadap hasil-hasil pembangunan menuai protes di
mana-mana, baik pada masa Orde Lama (Soekarno), lebih-lebih lagi masa Orde Baru
(Soeharto), termasuk di Acheh. Demikian pula media massa, terutama di
wilayah-wilayah konflik, seperti di Acheh, sangatlah sulit menonjolkan
idealisme kepemihakan kepada rakyat, utamanya kepada korban konflik, yang selalu
masyarakat umum (sivil). Tetapi keberadaan media massa selalu dihimpit oleh
kedua pihak yang berkonflik.
Kondisi media massa di wilayah konflik (conflict area) baik cetak maupun elektronik memang sangat
dilematis. Di satu sisi, dituntut indepedensi, kejujuran, keadilan, keberanian
dan berpihak kepada kebenaran. Di sisi lain, proses perebutan pengaruh kedua
pihak berkonflik juga sangat berimbas pada eksistensi media massa dan pekerja
pers.
Terror, intimidasi, penculikan, bahkan pembunuhan, menjadi fenomena mengerikan bagi pekerja
pers. Pembakaran kantor dan surat kabar tertentu yang tidak sesuai
mempublikasikan informasi dengan pihak berkonflik, juga menjadi catatan yang
sangat mengusik kemerdekaan kerja bagi insan-insan
pers. Realiti ke kinian ini berimbas pada kesempatan dan ruang (space) yang
sangat sempit bagi jurnalis untuk bekerja meliput, mengolah, dan
mempublikasikan berita-berita konflik Acheh secara objektif kepada khalayak.
Kemerdekan memperoleh informasi (KMI) yang benar dan akurat bagi publik, yang merupakan bagian dari HAM dalam wilayah
konflik, hanya menjadi impian belaka. Apalagi berita-berita yang damai dan
menyejukkan. Media massa ikut-ikutan menabuh genderang perang
sebagai sebuah upaya penggiringan media ke arah anarkhisme dan
brutalisme. Dalam konteks ini, telah menjadi pembenaraan bahwa media massa ikut
andil mengacaukan suasana sekaligus menganjurkan perang. Persoalannya adalah,
bagaimana prinsip-prinsip jurnalistik yang digunakan oleh pekerja pers dalam
meliput berita-berita konflik. Apakah cenderung ke jurnalisme damai (peace
journalism) atau jurnalisme perang (war journalism). Dan bagaimana
pula bahasa-bahasa berita yang digunakan.Tulisan sederhana ini mencoba menyoroti
dan menganalisis kondisi, posisi dan kecendrungan media massa dalam meliput berita-berita
konflik, terutama media massa di Aceh.
Di samping itu, juga akan disorot, bagaimana proses komunikasi politik yang
dimainkan. Konteks ini terkait dengan proses politik yang dimainkan dalam
penyelesaian konflik vertikal di Aceh. Hegemoni dan ideologi media dan
bagaimana media merekonstruksi realitas, juga menjadi sorotan dalam bahasan
ini.
Konflik
Acheh
Membedah
konfik Aceh dalam sejarah panjang memang agak melelahkan. Perjalanan sejarah
panjang ke-Acehan itu tidak pernah sepi dengan konflik yang mengarah kepada
kekerasan-kerasan (violence). Konflik-konflik terebut secara perioderisasi sederhana dapat dibagi dua, pertama, sebelum kemerdekaan RI. Konflik
pada era ini lebih mengarah pada perlawanan-perlawanan rakyat terhadap
penjajahan-penjajahan luar (eksternal), sebut saja, Belanda, Portugis dan jepang.
Tahun 1873, merupakan klimaks kemarahan Belanda terhadap rakyat Aceh untuk
melancarkan perang. Kemudian perang ini
dikenal dengan Perang Aceh. Belanda
ketika itu telah menabur benih-benih konflik
di seluruh wilayah Indonesia. Bagi rakyak Aceh sendiri, perang semacam ini disebut Snouck Hurgronje sebagai Perang Kaphe (Hurgronje,1906).
Perang dengan orang bermata biru
ini bagi orang Aceh juga dikenal dengan Prang
Sabi (perang menegakkan Agama di jalan Allah).
Salahsatu
benih konflik yang masih membekas dalam sanubari rakyat Aceh yang dimunculkan
penjajah adalah kerja paksa (Rudi). Semua rakyat dipaksa kerja pada tanah
sendiri tanpa diberi upah yang sesuai. Sedang keuntungan yang berlipat ganda
diambil oleh mereka. Terkait dengan ini, banyak buruh kasar yang dibawa dari
pulau jawa dan mereka dipekerjakan di kebun-kebun karet dan kelapa sawit.
Mereka sewaktu-waktu juga dimamfaatkan untuk membantu operasi tentera
penjajahan. Setidaknya menjadi informan untuk menyuplai informasi dan data-data
pejuang Aceh. Perang Aceh dengan Belanda ini dianggap paling lama dalam sejarah
perlawanan rakyat melawan penjajah. Terkait dengan ini, rakyat Aceh juga telah
memperkenalkan bagaimana Perang gerilya.
Alfian (1987) menggambarkan bahwa, orang Aceh dengan gigih melawan Belanda
karena dianggap sangat berbahaya, disamping merusak tata kehidupan masyarakat
dan nilai-nilai keagamaan,juga mereka dianggap kafir.
Bersamaan
dengan berkecamuknya perang dengan Belanda, tiba-tiba Jepang mendarat melalui
Malaya(Malaysia sekarang). Mula-mula mendapat sambutan hangat. Bahkan para
pemuda secara rahasia menanti kedatangan Jepang dengan memakai sandi “F”
(Fujiwara). Tidak begitu lama “bersahabat”dengan rakyat Aceh, Jepang semakin
terlihat sifat-sifat fasisme dan kolonialismenya. Bangkitlah kemarahan rakyat
Aceh untuk melawan Jepang. Dalam gambaran dan pandangan rakyat Aceh, baik
Belanda maupun Jepang sama saja tidak boleh dipercaya. Ungkapan kesal ini
tergambar dalam pepatah “Tapicrok Bui Jiteka Asei” (kita kejar babi
datang anjing).
Dendam
dan benci kepada penjajahan (colonial), sifat, karakter dan bentuk-bentuknya
(kolonialis) dalam jiwa rakyat Aceh, sebenarnya sebuah proses panjang dan
sangat sulit untuk dihilangkan. Kalau kemudian karakter dan prinsip semacam ini
masih eksis dalam jiwa-jiwa rakyat Aceh
dan setiap saat akan muncul, adalah sikap-sikap kesal dan ketidakpuasan
terhadap praktek-praktek yang masih diaktualisasikan seperti penjajahan masa
dahulu (kolonialis). Konteks ini, tidak terbatas waktu dan ruang. Siapa saja
yang mewarisi dan mengaktualisasikan kerja-kerja colonial akan dibenci oleh orang
Aceh. Termasuk familinya sendiri. Kedua,
pascakemerdekaan RI. Pengkhianatan demi pengkhianatan yang dilakukan RI
terhadap Aceh, adalah bagian dari punca merebaknya konflik dan munculnya
protes-protes dan ketidakpercayaan rakyat Aceh terhadap pusat (RI).
Meletusnya
pemberontakan DI/TII yang dikomandoi Tgk. Daud Bereueh, merupakan jawaban
terhadap pengkhianatan tersebut. Tuntutan rakyat saat itu sebenarnya sangat
sederhana untuk mengembalikan bagian identitas ke-Acehan, yaitu masyarakat Aceh
diberikan kebebasan sepenuhnya melaksanakan Syariat Islam secara kaffah. Tuntutan
ini hanya pengulangan janji-janji Soekarno (presiden RI) ketika menghadap ulama
dan tokoh-tokoh Aceh, bahwa akan menggunakan legalitasnya untuk memberlakukan
syariat Islam di Aceh merujuk pada Piagam Jakarta (Baca: syamsuddin, 1990).
Setelah
janji-janji kotor tidak dipenuhi, Soekarno juga membubarkan Provinsi Aceh. Dan
yang sangat menyakitkan rakyat lagi, Tgk. Daud Bereueh diberhentikan secara
resmi sebagai Gubernur -Militer Aceh dan Tanah Karo.
Perlakuan-perlakuan
semacam ini berimbas pada bertambahnya luka bagi rakyat Aceh, bagaikan jatuh
tertimpa tangga. Ketidakpercayaan rakyat Aceh kepada kerajaan pusat, telah
memunculkan protes-protes social secara keras dalam bentuk pemberontakan.
Konflik
vertikal antara kerajaan pusat dengan rakyat Aceh tidak dapat dihindarkan.
Ketidakpercayaan rakyat ini berlarut-larut sampai munculnya Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) yang dipimpin Dr. Hasan Di Tiro (1953-1976). Dari rentangan waktu
ke waktu sebelum munculnya generasi
penggugat baru, seharusnya kerajaan pusat membuka mata lebar-lebar,
kemudian secara jujur dan transparan mengakui segala kelemahan dan berikrar
secara sungguh-sungguh untuk memperbaikinya serta tidak akan mengulangi lagi
kekeliruan masa lalu. Komitmen inilah sebenarnya yang ditungu-tunggu publik,
tidak hanya rakyat Aceh. Namun yang muncul sentiasa sikap-sikap arogan, gengsi,
tamak, rakus dan suka korupsi. Aksi-aksi semacam ini yang kemudian diaktualkan
lagi oleh aparat keamanan yang bertugas di Acheh secara berlebih-lebihan
sebagai bagian dari tugas-tugas negara itu sendiri.
Melihat
keseriusan Jakarta menumpas setiap protes sosial, termasuk di Aceh,
mengindikasikan bahwa GAM bukan lagi gerakan sempalan tanpa dukungan. Berbagai
operasi militer telah digelar sejak GAM dideklarasi th 1976 di Gunung Halimun,
Pidie. Dengan mengunakan berbagai sandi, mulai dari Operasi Siwah Alpha
(1977-1982). Operasi Siwah Beta (1982-1983). Operasi Sadar (1989-1990). Operasi
Jaring Merah (1990-1998). Sandi-sandi operasi ini mulai 1989-1998 (selama 10
tahun) masuk dalam kebijakan yang sangat mengerikan yang disebut Daerah Operasi
Militer (DOM jilid I).
Mulai
19 Mei 2003-19 Mei 2004 telah ditetapkan kembali Aceh Daerah Operasi Militer
(DOM jilid II). Penguasa sipil dilebur menjadi Penguasa Darurat Militer Daerah
(PDMD).Dalam arti kata, semua lembaga, dan institusi, baik sipil, militer,
maupun swasta, tak terkecuali media massa, berada dalam kungkungan PDMD.
Pelanggaran
HAM dalam aksi-aksi operasi militer tersbut bagaikan catatan-catatan mati pada
batu nisan. Begitu pula pembungkaman media massa, juga bagaikan permainan
penyamun di siang bolong dan telah melanggar pula hak-hak mengemukakan pendapat
dan kemerdekaan memperoleh informasi bagi publik. Yang merepotkan (baca panik)
adalah, bahwa Acheh telah menjadi bagian dari global village (desa global). Kondisi semacam ini, telah
mempengaruhi dan memungkinkan isu-isu semasa dan sejagat telah menjadi santapan
setiap orang dalam masa yang sama, termasuk isu-isu Aceh sekarang. Dibantu pula dengan kecanggihan teknologi
komunikasi, termasuk multi media. Maka teori pembungkaman yang selama ini
digunakan sudah sewajarnya secara sadar harus ditinggalkan.
Dari
berbagai konflik kekerasan (perang) tersebut, baik sebelum kemerdekaan RI,
maupun pascakemerdekaan RI sampai sekarang, banyak pengalaman pahit yang
tersisa, baik dari pihak penjajah, mapun di pihak Aceh sendiri. Pusara Jendral
Kohler di depan Mesjid Raya Baiturrahman dan perkuburan serdadu-serdadu
Belanda, Kerkhop, adalah bukti-bukti
sejarah kerugian konflik kekerasan tersebut. Demikian pula bagi RI sendiri,
berapa banyak aparatnya yang gugur setiap operasi yang digelar di Aceh. Bagi
pihak Aceh kerugian yang paling dirasakan adalah, ribuan korban orang-orang
yang tidak bersalah (secara hukum), dan kerugian hartabenda, penghilangan,
penculikan, pembunuhan, terror, pemerkosaan, dll. Kondisi refresif aparat
(baca: negara) berketerusan ini, telah menyisakan trauma psikologis berbalut
dendam dan sangat sulit untuk disembuhkan. Walaupun kondisi semacam ini bagian
dari sebuah scenario dan setting dalam
jangka panjang. Konteks inilah yang sangat prihatin dan membimbangkan masa depan,
meskipun kondisi aman di Aceh dapat dicapai kelak.
Ketiga, aksi Referendum. Tumbangnya rezim kuku besi,
orde baru, Mei 1998, Soeharto dipaksa
meninggalkan jabatan kesayangannya
sebagai presiden RI (seumur hidup). Rezim ini, kemudian bertukar menjadi Orde Reformasi. Ketika itu, spirit
gerakan reformasi ini telah melanda seluruh pelosok tanah air, termasuk ke
Aceh. Gerakan pembungkaman yang begitu lama di bawah rezim Soeharto, mulai
terkuak secara lebar. Ruang dan kesempatan berharga ini tidak disia-siakan oleh
aktivis, mahasiswa dan akademisi untuk mencadangkan dan menyuarakan agar
konflik Aceh dapat diselesaikan secara demokratis, manusiawi dan bermartabat.
Cadangan konseptual ini ditawarkan sebagai sebuah upaya untuk memberikan
proteksi dan meminimalisir korban di pihak masyarakat (sivil). Cadangan
konseptual ini, pada awalnya dipelopori oleh tokoh-tokoh muda intelektual
kampus. Beberapa kali diskusi internal dilakukan untuk mempertajam dan
mempertegas konsep, visi dan misi. Akhirnya, bersepakat untuk menawarkan wacana
referendum sebagai solusi bijak
penyelesaian konflik Aceh. Pertama kali wacana ini dibacakan dan diperdengarkan
di hadapan Pangdam Bukit Barisan, Affan Gaffar (waktu itu belum terbentuk Kodam
di Aceh masih tunduk ke Medan), para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat Aceh.
Acara akbar ini diadakan di Anjong Mon Mata (komplek pendopo Gubernur Aceh).
Wacana
referendum ini, kemudian diback up oleh media massa (cetak dan
elektronik) samada di tingkat lokal mahupun nasional. Demikian pula para
aktivis pro demokrasi dan kemanusiaan, mahasiswa, akademisi dan aktivis NGO
sudah mulai membicarakan wacana referendum ini dalam diskusi-duskusi, dialog
dan seminar-seminar.
Kongres
Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau (Kompas) yang diadakan di gedung sosial, Jl Tgk.
Syik Ditiro Banda Aceh, merupakan klimaks kesadaran rasional penerimaan
referendum sebagai tawaran bijak solusi konflik Acheh oleh para aktivis Aceh
serantau. Kongres perdana ini diikuti lebih dari delapan puluh wadah
(organisasi) mahasiswa dan pemuda Aceh serantau, samada bersifat kampus, NGO,
dayah, mahupun ormas. Kongres bersejarah ini dalam salahsatu agendanya
membicarakan pula apa dan bagaimana wadah-wadah aktivis Aceh serantau ini boleh
disatukan dalam sebuah wadah baru yang representative yang memuat isu
referendum sebagai titik focus. Peserta kongres kemudian menyepakati SIRA
(Sentral Informasi Referendum Aceh) sebagai wadah representatif bersifat
presidium. Salahsatu agendanya adalah, mensosialisasikan isu referendum ini
kepada rakyat di seluruh pelosok Aceh dengan cara-cara damai dan bijak.
Tanggal
9 November 1999, merupakan puncak kesuksesan proses sosialisasi isu referendum
kepada rakyat Aceh. Lebih dari satu juta orang berbondong-bondong datang ke
Banda Aceh menghadiri upacara pendeklarasian
referendum sebagai simbol pemberdayaan kedaulatan rakyat secara damai,
demokratis dan manusiawi. Upacara akbar ini diselenggarakan di halaman mesjid
raya Baiturrahman Banda Aceh, tanpa sembarang insiden dan berjalan secara aman
dan damai. Upacara ini juga dihadiri oleh ketua DPRD Aceh, Moh.Yus, Wakil
Gubernur, Bustari mansur dan beberapa anggota dewan dan pejabat Aceh lainnya.
Bahkan, Moh.Yus (ketua DPRD) dan Bustari mansur (Wakil Gubernur) menandatangani
naskah referendum ini di hadapan peserta upacara bersejarah ini dan di hadapan
saksi-saksi dan berikrar untuk memperjuangkannya kepada pemerintah pusat
(Jakarta).
Gerakan referendum ini,
akhirnya kandas di tengah jalan, walaupun presiden Republik Indonesia (ketika
itu) Gus Dur, pernah berucap: “…masak untuk Timur-Timor diberikan referendum,
apalagi untuk Aceh,… “. Namun, ucapan ini tidak membawa legalitas sama sekali.
Akhirnya, Gus Dur sendiri diturunkan dari jabatan presiden dan digantikan oleh
Megawati Soekarno Putri.
Pergantian tampuk kepemimpinan di
tingkat nasional dan proses penyelesaian konflik vertikal ini secara damai
sentiasa menjadi agenda utama setiap pemimpin baru yang terpilih, termasuk
Megawati Soekarno Putri. Ketika beliau berkunjung ke Acheh menjelang
terpilihnya menjadi Presiden, ucapan pertama yang keluar dari mulutnya adalah…
"seandainya saya terpilih menjadi presiden Republik Indonesia (RI), saya
menjamin tidak akan ada lagi setetes darah pun mengalir di bumi Acheh tercinta
ini". Ucapan beliau itu sangat melegakan rakyat Acheh ketika itu. Tetapi
bayang-bayang penipuan ayahnya, Soekarno terhadap rakyat Acheh tempo hari tetap
masih tersisa dalam ingatan kebanyakan rakyat Acheh. Ternyata memang benar.
Tidak lama Megawati memerintah Indonesia, Aceh kembali ditetap sebagai daerah
Darurat Militer (DM), atau Daerah Operasi Militer (DOM) jilid II, setelah
proses dialog dengan Gerakan Acheh Merdeka (GAM) dinayatakan gagal dan semua
tokoh perunding GAM ditangkap di Hotel Kuala Tripa Banda Acheh (hotel tersebut
yang kini telah hancur akibat gempa dan tsunami 26 Desember 2004). Dan ketua
perunding GAM, Sofyan Ibrahim Tiba yang ditahan di rumah tahanan (Rutan) Kedah
Banda Acheh, telah meninggal dunia bersama ratusan tahanan lainnya, ketika
terjadi gempa dan tsunami di Acheh yang lalu, akibat rumah tahanan tersebut
digulung oleh gelombang tsunami itu.
Penetapan Acheh sebagai
daerah operasi militer dalam rezim Megawati, dimulai tgl 19 Mei 2003 dan
terjadi sekali perpanjangan. Kemudian status Acheh diturunkan menjadi Daerah
Darurat Sipil (DS), sampai terjadinya pergantian pucuk pimpinan nasional dari
Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhir tahun 2004. Ternyata ketika
SBY memerintah, status Aceh sebagai daerah Darurat Sipil, juga masih tetap
berlaku (belum dicabut), walaupun SBY berasal dari partai Demokrat, yang
katanya lebih demokratis, tetapi nuansa militerisme agaknya lebih dominan
sebagai latar belakang profesinya.
Tragedi kemanusiaan paling dahsyat gempa dan
tsunami berkekuatan 9,1 (versi luar negeri) dan 8,9 (versi Indoenesia) di Acheh
dan telah menewaskan ratusan ribu manusia serta memporak-porandakan hartabenda
dan perkampungan-perkampungan penduduk
di sekitar pantai. Tragedi ini telah menjadi berita besar bagi dunia dan
sekaligus telah membongkar isolasi dan "pembongsaian" wilayah Aceh
yang selama ini sangat tertutup dan ditutupi bagi dunia luar (International).
Berbagai bangsa dan pemimpin terkenal dunia turut berduka serta berkunjung ke
Acheh untuk menyaksikan sendiri tragedi terdhasyat ini sambil menyerahkan
bantuan kepada korban gempa dan tsunami tersebut. Tidak terkecuali Jecky Chan,
bintang film laga, bahkan Kofi Anann, ketua Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
juga Abdullah Ahmad Badawi, Mahathir Muhammad, dan rombongan dari Negara jiran,
Malaysia. Dan berbagai pemimpin terkenal di dunia lainnya, termasuk mantan presiden
Amerika Serikat, Bill Clinton dan ayah George Bush (presiden Amerika sekarang).
Demikian pula, pemain muda kesebelasan sepak bola Portugal dan saat ini membela
kloub terkenal Manchester United, Ronaldo tidak ketinggalan berkunjung ke Aceh.
Tragedi gempa dan tsunami di Aceh, tidak
mengendurkan semangat Susilo Bambang Yudhoyono untuk memikirkan dan mencari
solusi penyelesaian konflik vertikal ini. Belum sampai setahun beliau memimpin,
sudah dua kali mengadakan dialog dan perundingan dengan Gerakan Acheh Meredeka
(GAM), yang difasilitasi dan disponsori oleh sebuah lembaga yang dipimpin
mantan presiden Firlandia, Ahtisarii. Perundingan ini dilanjutkan kembali pada
bulai Mei 2005, juga di Firlandia. Berbagai kesepakatan sedikitnya telah
dicapai, di antaranya kesepakatan memberi perhatian bersama dengan
sungguh-sungguh dan mencari solusi bersama terhadap masa darurat (emergency)
penanggulangan bencana di Aceh. Kesepakatan ini tercapai dalam perundingan
tahap pertama. Pada tahapan ini lebih banyak terfokus pada pembicaraan
masalah-masalah kemanusiaan di Aceh dan tidak sedikit pun menyentuh soal-soal
politik. Namun, pada perundingan tahap kedua, sudah mulai membicakan masalah-masalah politik,
misal, delegasi Indonesia menawarkan
otonomi khusus sebagai solusi untuk Acheh dan GAM menawarkan
"pemerintahan sendiri" (self goverment) sebagai solusi untuk
Aceh. Namun, untuk pembicaraan lebih lanjut tentang politik untuk solusi
terbaik bagi Aceh masa depan, pertemuan
penting ini dilanjutkan pada bulan Mei dan Juli 2005 di Firlandia.
Pertanyaannya adalah, apakah mungkin solusi konflik vertikal yang bijaksana dan
bermartabat, baik untuk Aceh mahupun Pusat akan dicapai semasa presiden
Susilo Bambang Yudhoyono? Semoga. .
Komunikasi Politik Dan Media Massa
Berbagai pemahaman mengenai wacana komunikasi politik telah dibahas oleh
pakar komunikasi dan politik. Michael Schudson (1997) misalnya. Komunikasi politik menurutnya adalah, any
transmission of messages that has, or is intended to have, an effect on the
distribution or use of power in society or an attitude toward the use of power.
Astrid
(1980), menambahkan bahawa, komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan
kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikain rupa, sehingga masalah yang dibahas
oleh kegiatan komunikasi ini boleh mengikat ramai warganya melalui suatu
transaksi yang ditentukan bersama. Tambahnya lagi, komunikasi politik merupakan
suatu aktiviti pra politik. Melalui aktiviti ini akan terjadi realisasi
penghubungan atau pengkaitan masyarakat
social dengan lingkup negara. Di samping itu, tambahnya, komunikasi politik
juga merupakan sarana pendidikan politik atau sosialisasi politik dalam
hubungannya dengan kehidupan negara. Selaras dengan ini, Sigel (1965), dalam bukunya “Assumption about the
learning of political values”, menggambarkan bahawa, political
socialization refers to the learning process by wich the political norm and
behaviors acceptable to an ongoing political system are transmitted from
generation to generation.
Pandangan Sigel ini menggambarkan bahawa, sosialisasi politik bukan hanya
mengambil berat pada penerimaan norma-norma politik dan tingkah laku pada
system politik yang sedang berlangsung sahaja, tetapi juga bagaimana
mewariskan, atau mengalihkan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dalam konteks inilah pentingnya proses komunikasi politik yang
dibentuk, dibangun dan dikelola secara benar dan jujur. Bukan mewariskan kepada
generasi berikut nilai-nilai, norma dan budaya-budaya kekerasan, keganasan,
kecurigaan, dendam, kebohongan, penipuan, dan budaya rasuah (korupsi).
Maurice (1983) menjelaskan bahawa, kekerasan/kekuatan senjata dalam
penyelesaian konflik yang diakibatkan perang, revolusi atau pemberontakan,
bukanlah cara penyelesaian konflik politik. Politik berusaha menyelasaikan
konflik melalui cara yang tanpa memakai kekerasan senjata (non violence).
Kerana itu, cara yang tepat adalah, melalui komunikasi politik yang akana
menghasilkan kompromi politik. Kerana komunikasi politik merupakan suatu konsep
yang dipakai untuk menjelaskan bagaimana konflik-konflik politik boleh
diselesaikan (Maurice, dalam Rush & Althof, 1983).
Proses komunikasi, dalam bentuk apapun, keterlibatan unsur-unsurnya tidak
boleh dinafikan. Komunikator, mesej, media dan komunikan, adalah di antara
unsure-unsur yang sangat penting terjadinya proses komunikasi. Pakar komunikasi
klasik, Wilbur Schram, menyebutkan bahawa, komunikator dan komunikan kedua
unsure ini sebagai two separate units, dan mengadakan sktiviti yang
terpisah dan berbeza pula, atau two separate acts. Namun, dalam proses
komunikasi politik yang terpenting adalah, bukan pada perbezaan fungsi-fungsi
yang dimainkan, tepai boleh menumbuhkan suasana saling menguntungkan, samada
dalam proses komunikasi face to face, atau proses komunikasi dalam
lingkupnegara. Bahkan, boleh melintas batas batas wilayah suatu Negara, atau
yang sering dikenal internationale ommunication.
Rusadi (1990), menggambarkan bahawa, komunikasi politik mempunyai fungsi
boleh menghubungkan fikiran politik yang hidup dalam masyarakat, samada fikiran
intra golongan, institusi, asosiasi, mahupun sector kehidupan politik
masyarakat dengan sector politik kehidupan pemerintah.
Komunikator dalam proses komunikasi politik memainkan peranan yang sangat
signifikan, utamanya dalam membentuk opini publik (public opinion). Karl
Popper, seperti dikutip Novel Ali (1999), mengemukakan bahawa, peran
komunikator politik sebagai public opinion, kerana mereka berhasil membuat
beberapa gagasan yang pada awalnya ditolak, kemudian dipertimbangkan, dan
akhirnya diterima. Pemegang jabatan kerajaan, dalam konteks ini, terlepas dari,
apakah pejabat karir, atau politisi yang dipilih mahupun yang ditunjuk, samada
di lembaga eksekutif, legislative, mahupun yudikatif. Mereka haruslah
komunikator-komunikator politik. Mereka adalah kaum ideolog yang memiliki
kemampuan mempengaruhi orang lain. Dalam kaitan ini, hubungan take and give antara
komunikator politik (pemerintah), baik sebagai individu mahupun kolektif dengan
publik (rakyat) haruslah terbina secara berterusan.
Terjadinya gelombang perlawanan rakyat Aceh terhadap kerajaan pusat (Indonesia), kerana
kurang berfungsinya komunikator politik yang diperankan pemerintah, yang
kemudian terjadinya konflik vertikal berkelanjutan. Contohnya, Gerakan
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), tahun 1953, yang dipimpin
Tgk.M.Daud Beureueh, Gerakan Acheh Merdeka (GAM), tahun 1976, yang dipimpin
Tgk.DR.M.Hasan Ditiro.
Selain komunikator dan komunikan sebagai unsur utama dalam proses
komunikasi, juga faktor media sangat memegang peranan penting dalam upaya
menyampaikan pesan kepada publik, terutama media massa (cetak mahupun
elektronik). Effendy (1993), mengungkapkan bahawa, media massa, selain
berfungsi sebagai penghibur, pendidik, dan pemujuk, juga berfungsi sebagai
pemberi informasi paling penting di alam modern ini. Liliweri (1991)
menambahkan, media massa berfungsi membantu kita untuk berhubungan dengan
pelbagai kelompok masyarakat di luar masyarakat kita.
Menurut Schramm, seperti dikutip Zulkarimen (1988), mengatakan: media
massa secara sendirian ataupun bersama lembaga lain dapat melakukan
fungsi-fungsi: sebagai pemberi informasi, pembuatan keputusan, dan sebagai
pendidik khalayak.
Dampak, pengaruh dan efek dari suatu pesan yang dikomunikasikan lewat
media merupakan masalah yang senatiasa dibincangkan di mana-mana, termasuk
dalam konteks komunikasi politik. Hal senada diperkuat lagi oleh Onong
(1993:6-7), menurutnya, yang terpenting dalam proses komunikasi ialah bagaimana
caranya agar suatu mesej yang disampaikan komunikator itu menimbulkan dampak,
atau efek tertentu pada si komunikan (penerima). Dampak yang ditimbulkan dapat
diklasifikasikan menurut kadarnya, iaitu: dampak kognitif, afektif, dan dampak
behavior. Dampak kognitif, berupa meningkatnya pengetahuan dan
intelektualitinya. Dampak afektif, berupa gerakan hati dan meningkatnya
perasaan tertentu. Sedang dampak behavior, berupa perubahan perilaku, sikap dan
tindakan, atau aktivitas.
Proses penyampaian pesan dapat dijelaskan oleh model komunikasi ulang
alik dalam pemamfaatan media untuk menyampaikan
sebuah mesej. Devito (1996:524) mengatakan, proses pesan ulang alik
terutama berlaku untuk masa kini, yang medianya merupakan bahagian terpenting
dari kehidupan manusia. Selain itu, rasa logis orang yang membuka diri terhadap
satu media seringkali juga akan terbuka terhadap media yang lain.
Selanjutnya, kita harus mengasumsikan
bahawa interaksi antar pribadi terjadi di antara paparan-paparan medaia. Selama
pemaparan ini, samada terhadap media mahupun dalam interaksi antar pribadi,
manusia dipengaruhi, atau mempengaruhi yang lain. Namun, perlu diingat bahawa,
media massa adalah bahagian dari subsistem dari sistem kerajaan (pemerintahan)
dimana media ini beroperasi. Dalam konteks ini, Effendi (1993:87) mengatakan:
media adalah sebuah institusi sosial atau institusi kemasyarakatan yang
merupakan subsistem daripada sistem pemerintahan di negara mana pun juga
beroperasi bersama-sama dengan subsistem lainnya. Kondisi semacam ini,
seringkali terjadi distorsi mesej. Kebebasan mendapatkan informasi oleh
publik, sering dipolitisir oleh kerajaan untuk kepentingan melegalkan
kekekuasaannya. Muller, seperti dikutip Nimmo (1993) menyebutkan bahawa,
distorsi ini dengan komunikasi terarah, komunikasi tertahan dan sistem
komunikasi terkekang. Pabotinggi (1998) menyebutnya sebagai topeng,
projek lupa, representasi, dan distorsi mesej ini sebagai ideologi.
Politik
Media Merekonstruksi Realitas
Merekonstruksi realiti, media sering disebut mirror of reality
(cermin realiti). Menurut Piliang (2002) bahawa, ketika media diakendalikan
oleh berbagai-bagai kepentingan ideologis di sebaliknya, maka ketimbang menjadi
refleksi realitas, media sering dituduh sebagai definer of reality, atau
“perumus realiti”, sesuai dengan ideologi yang melandasinya. Beroperasinya
ideologi politik di sebalik media, tidak boleh dipisahkan dari mekanisme
ketersembunyian dan ketidaksadaran, yang merupakan keberhasilan sebuah
ideologi.
Praktek politik bahasa dan
kekerasan simbolik, seringkali digunakan oleh media massa dalam merekonstruksi
sebuah realitas, utamanya dalam memberitakan isu-isu konflik. Eriyanto (2000),
lebih tegas mengatakan, media dalam
memberitakan realitas konflik, samada konflik horizontal, seperti Ambon, dan
konflik vertikal, seperti Acheh, Papua, dan Timur Leste (dahulu), media
cenderung melakukan praktik politik bahasa, seperti penyebutan Gerakan
Separatis Acheh (GSA), Gerakan Pengacau Keamanan Papua, Pengacau Liar, Kelompok
Putih, Kelompok Merah, dan seterusnya. Pemakaian kata-kata itu boleh dilihat
sebagai sebuah usaha pemaknaan reality melalui kata-kata yang terpilih.
Lull (1998:2), menambahkan bahawa, manipulasi yang dilakukan tanpa henti
terhadap maklumat dan imej public membentuk suatu ideologi dominan yang
membantu menyokong kepentingan material dan budaya para penciptanya. Para
pembuat ideologi dominan menjadi suatu “elit informasi”. Kekuasaan, atau
dominasi mereka berasal langsung dari kemampuan mereka untuk mengedarkan kepada masyarakat sistem ide yang mereka
sukai. Kerana itu, ideologi mempunyai kekuatan apabila dilambangkan dan
dikomunikasikan, seperti halnya bahasa dan kod-kod komunikasi yang lain
dipelajari dan diperkukuh dalam konteks interaksi sosial sehari-hari.
Ideologi juga dibuat menjadi masyhur dan normal dalam pergaulan social
yang rutin. Inilah proses mediasi social, dimana gambaran idelogis dan media
massa dikenali, diinterpretasi, disunting, dan digunakan oleh khalayak dan
konstruksi social mengenai kehidupan sehari-hari.
Berbagai peristiwa yang terjadi menjadi akrab boleh dibuat oleh media,
yang jauh menjadi dekat dan sangat bersahabat dengan kita. Demikian pula
sebaliknya, yang sangat dekat, boleh pula dibuat lebih jauh oleh media. Giddens
(1984) mengatakan bahawa, kejadian-kejadian yang jauh dapat diakarabi bersama
oleh media, atau bahkan lebih, dibandingkan dengan kejadian-kejadian yang dekat
dan diintegrasikan ke dalam kerangka
pengalaman pribadi. Dalam konteks ini, peraturan-peraturan yang eksplisit (yang
mengatur perilaku media) dan inplisit (yang dimediakan) membantu menyusun
perilaku social dengan menghubungkan ideologi dengan kekuasaan.
Stuart Hall (1978), menyebutkan bahawa, wartawan dalam meliput, atau
melaporkan berita akan dipengaruhi oleh ketergantungan wartawan terhadap
penakrif utama (primary definer) tentang suatu peristiwa yang biasanya
merupakan jurubicara daripada kepentingan kelas elit, seperti polis, peguam,
ahli politik, hakim, dll. Bagi jurnalis, dengan mendasarkan laporannya melalui
komen-komen pentakrif utama tersebut, maka jurnalis berharap pendapat atau
laporan yang ditulis lebih dapat dipercaya kerana mengambil kira sumber-sumber
yang mempunyai otoriti.
Budiman, membenarkan, bahawa media tidaklah bersifat neutral. Misal,
atribut-atribut tertentu dari media dapat mengkondisikan mesej-mesej yang
dikomunikasikan. Sebagaimana
dikatakan oleh Marshall McLuhan, “the medium is the message”. Media itu
sendiri adalah mesej. Apa saja yang dikatakan, ditentukan, secara mendalam oleh
medianya. Terlebih lagi, jika disedari bahawa, disebalik pesan-pesan yang
disalurkan lewat media niscaya tersembunyi berbagai mitos. Dan mitos sebagai
system signifikasi, mengandung muatan ideologis yang berpihak kepada
kepentingan mereka yang berkuasa (Budiman, dalam Alex Sobur, 2001).
Seringkali media dalam merekonstruksi realitas. Realitas kebenaran
dimanipulasi. Sehingga kebenaran hanya menurut media sendiri. Sebagaimana yang
dikritik oleh Abrar, mengutip pandangan Watson, dalam mengulas perilaku media,
katanya, konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati,
tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya,
kebenaran ditentukan oleh media massa sendiri (Abrar, 1995:59).
Merekonstruksi realiti dalam berbagai-bagai dimensi peristiwa aktuil,
adalah tugas media. Bukan memanipulasi realiti yang sebenar menjadi sebuah
realiti yang semu. Sehingga, mendatangkan kebingungan dan
kebimbangan-kebimbangan. Alex (2001) mempertegas lagi bahawa, tugas media
pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan
realiti. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan
berbagai-bagai realiti yang dipilihnya, antaranya, realiti politik. Dalam konteks
ini, Amiruddin (2002), mengatakan bahawa, hegemoni yang dilakukan media secara
sedar atau tidak, telah melahirkan kekerasan
terhadap masyarakat secara halus. Kekerasan inilah yang melalui media
massa moden telah menjadi wacana tersendiri yang dikonstruksi dan
didekonstruksi melalui proses pertarungan kepentingan antar berbagai-bagai
pihak yang memegang hegemoni media.
Dalam konteks hegemoni, media menjadi arena kritis dan dilematis yang
sentiasa diperebutkan oleh mana-mana pihak menjamin legality dan kekuasaannya
secara berketerusan. Charlotte Ryan, seperti yang dikutip Nugroho (1999)
mengatakan, media menjadi arena kritis dari pertarungan dan gerakan social,
menempatkan media pada peran menentukan erti penting isu-isu di hadapan
khalayak. Tetapi peningkatan perhatian itu sendiri bukanlah gerakan social,
akan tetapi lebih pada penafsiran yang menampilkan pandangan atas realiti agar
didukung oleh ramai orang.
Lebih menarik lagi, apa yang digambarkan Yasraf (2002:212), bahawa apa
yang direkonstruksi media terhadap realiti-realiti yang ada, dikeranakan
perkembangan teknologi media, yang disebut “teknologi simulasi”(simulation
technology). Simulasi, sebagaimana yang dijelaskan Baudrillard, di dalam Simulations,
adalah “…penciptaan model-model kenyataan
yang tanpa asal usul, atau referensi realiti-hiper realiti”. Simulasi
media (media simulation) adalah penciptaan “realiti media”, yang tidak
lagi mengacu pada realiti di dunia nyata sebagai referensinya, dan kini ia
menjelma menjaadi semacam “realiti kedua” (scond reality), yang
referensinya adalah dirinya sendiri. Bahasa atau kod-kod dalam media,
seolah-olah merefleksikan realiti yang sesungguhnya, apadahal ia adalah
“realiti ertifisial”, iaitu: realiti yang diciptakan lewat teknologi simulasi
sedemikian rupa, sehingga pada peringkat tertentu realiti media ini tanpak
(dipercaya) sebagai sama nyatanya, atau bahkan lebih nyata dari realiti yang
sebenarnya.
Ideologi Dan
Hegemoni Media
Ideologi, sebuah ungkapan untuk
menggambarkan nilai dan agenda public dari suatu Negara, kelompok agamis,
perhimpunan politik, tidak terkecuali institusi bisnis. Namun, istilah itu
sering berhubungan antara informasi (maklumat) dan kekuasaan social dalam
kaitan ekonomi-politik berskala makro. Dalam konteks ini, metodologi berfikir
yang terpilih dan didukung melalui pelbagai saluran (media) oleh mereka yang
mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi dalam kalangan public.
Ideologi, menurut Lull (1998) adalah, fikiran yang tersusun, menyangkut
dengan nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi, sehingga
membentuk perspektif-perspektif idea. Smith (1990), menambahkan, ia adalah
serangkaian rujukan yang dimiliki bersama oleh komuniti social-politik.
Berikutnya, bahawa dengan ideologi inilah orang memberi makna pada
realiti-realiti social.
Terkait dengan media, Lull (1998:2) berkata: manipulasi yang dilakukan
tanpa henti terhadap maklumat dan imej public membentuk suatu ideologi dominan
yang kuat, yang membantu menyokong kepentingan material dan budaya para
penciptanya. Para pembuat ideologi dominan menjadi suatau “elit informasi”.
Kekuasaan atau dominasi mereka berasal langsung dari kemampuan mereka untuk
mengedarkan kepada masyarakat system idea yang mereka sukai. Kerana itu,
ideologi mempunyai kekuatan apabila dilambangkan dan dikomunikasikan.
Hall (1977) mengatakan bahawa, media massa adalah perkaks bagi
representasi ideologi. Hall, menambahkan, hegemoni adalah dominasi dan
subordinasi pada bidang hubungan yang distrukturkan oleh kekuasaan. Terkait
dengan ini, media massa adalah alat yang digunakan oleh elit berkuasa untuk
mempertahankan kekuasaan, kekayaan, dan status mereka, dengan mempopularkan
falsafah, kebudayaan dan morality mereka sendiri. Hegemoni bukanlah suatu
stimuli fikiran atau aksi yang langsung, melainkan suatu susunan dari semua
definisi yang saling bertanding mengenai realiti ke dalam jangkauan kelas
dominan, dengan membawa semua alternatif ke dalam kerangka pemikiran mereka.
Subandi (2001) menambahkan bahawa, seluruh kerja jurnalistik akhirnya
akan menjadi pemberitaan realiti social yang dipilih wartawan seluruhnya
menjadi ajang konvergensi pertarungan ideologi dan kepentingan yang sebenarnya
dikonstruksi oleh segelintir orang, yang dalam hal ini adalah pemilik modal,
atau yang secara alangsung berkepentingan mengontrol pelaku linguistik media
massanya.
Piliang (2000), menggambarkan bahawa, ketika pemberitaan jurnalaistik
hanya bersandar pada ideologi media, maka objektifiti media sangat rentan
terhadap bias berita. Kerana itu, untuk mengukur objektifiti sebuah berita,
sangatlah tergantung dari ideolgi yang dianut sebuah media, kerana batasan
antara objektifiti dan subjektifiti pengetahuan di dalam media massa
sesungguhnya dibatasi oleh dinding “ideologi” yang sangat tipis.
Proses hegemoni, seringkali diapresiasi secara halus dan lunak, padahal
praktik ini bahagian dari represi kekuasaan yanh hipokrit dan otoriter.
Imawan (2002), menggambarkan bahawa, hegemoni pada hakikatnya merupakan bentuk
represif kekuasaan yang bercirikan lunak
atau halus (subtle), dengan mengandalkan kepemimpinan moral dan
intelektuil serta bersifat aktif.
Hegemoni tidak akan dicapai melalui coersive power, tetapi
diskursus sistematik (bahasa), terarah dan berkelanjutan untuk memenagkan
penerimaan public secara sukarela akan sebuah gagasan atau rezim. Politik wacana
memainkan peranan penting dalam meletakkan dasar-dasar hegemoni. Gramsci,
seperti dikutip Piliang (2000)
mel;ukiskan bahawa, hegemoni boleh dicapai dengan kombinasi antara kekuatan
dengan penerimaan public. Public concern ini diekspresikan melalui apa yang
disebut mekanisme opini public, khasnya lewat media massa.
Fakhrurrazi (2002), dalam kajiannya menemukan bahawa, ideologi dan
hegemoni sangat mempengaruhi sikap jurnalis dalam mengemas berita, dan berita
yang dihasilkan pun penuh dengan dominasi untuk mempengaruhi opini dan memaksa
penerimaan opini itu secara halus, atau tidak disedari oleh pembaca. Media akan
menyajikan kemasan berita (new package) berdasarkan ideologi yang dianut
media. Beliau mencontohkan, peristiwa 11 September 2001, yang menghancurkan
gedung World Trade Centre (WTC), yang merupakan simbol kedigjayaan
ekonomi Amerika, dan Pantagon sebagai symbol keperkasaan pertahanan negeri Pamansam
itu. Berita peristiwa itu yang disajikan medaia-media Amerika dan Barat
berdasarkan pertimbangan ideologi yang dianut media Amerika, yang melaporkan
salahsatu kalimat yang mencerminkan ideologi mereka, missal, …”terorisma apapun
bentuknya harus dihapuskan…”. Sementara media-media yang ada di kawasan Timur,
yang mayoriti muslim, menyajikannya berdasarkan ideologi yang berbeza pula.
Dalam konteks ini, pertarungan ideologi dan kepentingan-kepentingan
mempengaruhi orientasi dan sudut pandang pemberitaan suatu media.
Hidayat (2001) mempertegas lagi bahawa, ideologi media dengan demikian
tidak hanya ada di benak dan minda para pekerja indutri media, teatapi melekat
dalam struktur industri yang dijalani dalam keseharian para pekerjanya.
Berdasarkan beberapa pandangan dan
kajian di atas, tanpaknya agak sulit mengharapkan media massa berada pada
posisi yang neutral, adil, jujur, dan berpihak pada kebenaran (data dan fakta),
ketika melaporkan peristiwa dan isu-isu konflik politik dan kemanusiaan,
seperti halnya di Acheh. Ideologi dan hegemoni kerapkali menghantui kerja
jurnalistik yang sentiasa menhambat kemerdekaan pekerja pers. Intervensi
kekuasaan (secara halus atau kasar) sentiasa mempengaruhi kridebiliti dan kualiti
pelaporan sebuah peristiwa. Jurnalisme damai (peace journalism) yang
diharapkan muncul kepermukaan dalam kerja-kerja jurnalistik di daerah konflik,
justeru boleh berubah menjadi praktik jurnalisme perang (war journalism).
Berita Dan
Aspirasi Media
Beberapa
pakar media mencoba memberi batasan tentang berita. Charnley, misalnya,
mengatakan bahawa, berita sebagai laporan tercatat mengenai fakta pendapat (opinion),
yang sangat penting dan menarik, atau kedua-duanya bagi sejumlah besar orang.
Menurut Spencer, berita adalah suatu kenyataan atau idea yang benar dan dapat
menarik perhatian sebahagian besar pembaca. Sementara Bleyer, mentakrifkan berita
sebagai sesuatu yang termasa yang dipilihwartawan untuk dimuat, kerana dapat
menarik, atau mempunyai makna bagi khalayak (Assegaff, 1985:23-24).
Fakta
bukanlah semuanya termasuk berita, tanpa didasarkan pada keaktualan (timeness),
dapat dipublikasikan (publicity), dan ketertarikan manusia (human in
terest). Masri (1990) mengatakan bahawa, berita adalah apa yang surat kabar
cetak, apa yang juru hebah baca. Berita terdiri daripada fakta-fakta, tetapi
tidaklah semua fakta dianggap berita. Berita biasanya tentang manusia, tentang
orang. Tetapi tidak setiap orang mempunyai nilai-nilai berita tentang dirinya
yang menarik perhatian orang lain. Berita adalah apa yang berlaku dalam dunia.
Dalam sehari sahaja, berbilion-bilion berita, peristiwa dan kejadian berlaku
dalam dunia. Tetapi hanya sebilangan kecil daripada peristiwa dan kejadian
harian yang biasanya dilaporkan.
Rakhmat
(1997:228), menambahkan bahawa, berita tidak lagi merupakan sekumpulan mesej
dalam satu format tertentu. Ianya telah menjadi sebuah drama kemanusiaan,
membentuk lakon-lakon social, membangun satu fenomena social dan politik,
sehingga kegiatan politik bukan lagi mekanisme abstrak yang mengolah masukan (input)
menjadi keluaran (output), tetapi telah menjadi kisah pertarungan
manusia melawan kekusahan dan upaya manusia untuk menaklukkan penderitaan.
Sudah menjadi
anggapan umum (convension) di kalangan jurnalis, bahawa dalam membuat
berita mesti menggunakan formula 5W (who,
what, why, when, where) 1H (how).
Dengan
formula ini, maka terlihat jelas kemana aspirasi media aka tertuju. Apakah
keberpihakannya kepada publik, atau membela kepentingan-kepentingan tertentu.
Selalunya, berpihak kepada penguasa atau perusahaan tempat akhbar itu
dibesarkan. Persoalannya adalah, bagaimana aspirasi media ketika berada di
daerah berkecamuknya konflik, seperti di Acheh.
Berbagai
kepentingan dan pengaruh senantiasa mewarnai posisi media di daerah konflik,
terutama bagi pihak-pihak yang bertikai. Sehinggalah aspirasi media selalu
berimbas pada posisi yang tidak menguntungkan. Terkadang, boleh merugikan
publik dan media itu sendiri. Beberapa kes kekerasan dan pembunuhan terhadap
pekerja pers daerah konflik telah berpengaruh pada idealisme asperasi media
massa.
Posisi Media Massa
Posisi
media massa dalam percaturan dinamika pembangunan dan kehidupan sangatlah
strategis. Bukan saja dapat merekonstruksi perubahan-perubahan dalam berbagai
dimensi, tetapi dapat pula mewarnai kultur sosial. Bahkan dapat mengontrol
perkembangan dan kebijakan politik yang sedang dimainkan. Maka tidaklah
berlebihan ketika pers (baca: media massa) disebut the fouth state oleh pakar politik dan media massa, disamping
kekuatan eksekutif,legislatif, dan yudikatif dalam sebuah negara.
Masalahnya
adalah, begitu strategisnya posisi pers, bagaimana posisi pers ketika berada di
wilayah konflik, seperti Aceh. Apakah kejujuran, kebenaran, dan indepedensinya
masih mampu dipertahankan.Namun, teori mengatakan lain, bahwa bila salahsatu
pihak bisa menguasai 50% lebih media massa, maka telah berjaya memenangi
setengah dari peperangan di lapangan. Dalam kondisi semacam ini, media massa di
wilayah konflik lazimnya cendrung, kalau bukan kepada peace journalism, sudah tentu ke war journalism.
Ada tiga kategori posisi media ketika berada
di wilayah konflik, pertama, issue intensifier (posisi media yang
memunculkan isu , atau konflik dan mempertajamnya). Kedua, conflict
deminisher (menenggelamkan suatu isu, atau konflik yang dilakukan secara
sengaja). Ketiga, media sebagai conflict resolution (media menjadi
mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif yang mengarahkan pihak-pihak yang bertikai untuk mahu duduk
bersama membahas perdamaian boleh mencari solusi-solusi bijak tentang konflik).
Menjawab,
bagaimana posisi media di daerah konflik(Acheh), simak peristiwa-peristiwa
kejahatan kemanusiaan ini. Pembunuhan Ersa Seregar, wartawan Rajawali
Citar Televisyen Indonesia (RCTI),
ketika meliput peristiwa konflik di Acheh. Beliau ditembak oleh Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Peristiwa ini diakui sendiri oleh Kepala Kesatuan
Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Ryamizard Ryacudu, bahawa peluru pencabut
nyawa Ersa berasal darai TNI. Menurutnya, kematian reporter RCTI itu adalah
resiko wartawan perang di medan tempur yang sedang bergejolak (Serambi
Indonesia, 31 Desember 2003).
Demikian
pula penahanan Very Santoro, kameramen (wartawan foto) dari media yang sama
(RCTI) oleh Gerakan Acheh Merdeka (GAM) (Waspada, 8 Januari 2004). Berikutnya,
penembakan mobil (kereta) klepunyaan dua wartawan Metro TV dan wartawan foto akhbar harian
Media Indonesia yang sedang meliput berita di Desa (Kampung) Blang Mane,
Peusangan, Kabupaten Bireuen, oleh kelompok bersenjata (Harian Waspada, 25 Mei
2003), adalah jawaban-jawaban, bagaimana sebenarnya posisi media ketika meliput
konflik, sangat dilematis!
Peace Journalism
Adalah
Johan Galtung yang pertama kali mempopulerkan istilah peace journalism, bersama pakar media, akademisi dan pemerhati
perdamaian. Ide ini muncul dalam suatu forum kuliah musim panas di Universiti
Birmingham, Inggris, tahun 1997, dengan tajuk Conflict and Peace Forum. Di antara peserta yang ikut ambil bagian
dalam kuliah ini beberapa pakar
perdamaian, praktisi pers, dan beberapa mahasiswa dari Negara-negara
Eropa, Afrika, Asia dan AS, yang diselingi dengan berbagai perdebatan (Galtung,
1998).
Kemuakan,
kejenuhan dan rasa kesal dari pekerja-pekerja pers, akademisi dan publik,
adalah bagian dari indikator penting munculnya ide peace journalism sebagai
protes terhadap sajian-sajian perang dan
kekerasan oleh media massa yang dianggap sebagai sajian hiburan
(intertainment). Kekesalan dan kemuakan yang paling memuncak, ketika Amerika
dan sekutu-sekutunya melakukan Operasi
Badai Gurun di Teluk. Cable News
Network (CNN) misalnya, membuat siaran langsung yang disajikan detik demi
detik peperangan tahun 90-an tersebut.
Saat
itu semua media menjagokan Amerika sebagai polisi dunia dan seluruh kompanye negative
ditimpakan kepada presiden Irak, Saddam Husein yang dianggap sumber likmalapetaka.
Padahal ketidakseimbangan kekuatan antara Irak dan Amerika yang dibantu oleh
sekutu-sekutunya. Sama halnya apa yang terjadi masa sekarang di Irak. Media
massa (baik cetak mahupun elekronik) karena ingin mendapatkan hadiah Pulitzer sebagai symbol prestise,
menafikan realitas objektif di lapangan. Ironisnya lagi, jarang media massa
membela dan menyiarkan secara langsung dan berketerusan terhadap korban
pihak-pihak yang tidak terlibat samasekali dengan konflik dan peperangan.
Pengeboman tempat-tempat sipil dan barak-barak pengungsi oleh serdadu,
seharusnya mendapat forsi dan space
yang memadai dari pers. Dengan kata-kata, gambar-gambar dan ulasan-ulasan yang
menyentuh hati dan perasaan setiap public (pembaca dan pemirsa) media massa.
Ulasan dan tayangan-tayangan tersebut dapat membentuk prilaku kolektif rasa senasib, iba, rasa kasihan, solidarity dan aksi-aksi saling
membantu. Ketrampilan menggunakan prinsip-prinsip peace journalism ini oleh pekerja-pekerja pers merupakan bagian
dari art journalism (lihat:
A.Muis,2001).
Definisi
(takrif) yang sesuai dengan peace journalism ini memang belum banyak
terdapat dalam literatur-literatur
jurnalistik dan kewartawanan. Namun, Jake Lynch dan Annababel McGold Rick,
mencoba memberi takrif secara lebih umum, peace journalism sebagai
melaporkan kejadian dengan bingkai (frame) yang lebih luas, lebih
berimbang, dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan
perubahan yang terjadi (Haryanto, LSPP, 2001).
Lukas
dan Solahudin (2000), menyebutnya sebagai sebuah konsep yang menggaris bawahi
kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan struktur kelompok masyarakat yang
menjadi korban konflik, atau perang.
Dalam konteks jurnalisme
damai, yang diperhatikan adalah, kekakuratan, keberimbangan dan
keobjektifan sebuah berita, selain menghindari dari pemakaian-pemakaian bahasa
yang bermakna ganda yang dapat mengaburkan realiti. Jurnalisme damai,
mendasarkan pada jkurnalisme moden, yang berpegang pada objektifiti berita,
yang komponennya terdiri imparsialiti dan faktualiti. Kemudian
dilengkapai dengan prinsip-prinsip yang bertujuan menghindarkan konflik dan
kekerasan di dalam masyarakat. Makanya, jurnalisme ini menganjurkan wartawan
jangan menjadi bahagian dari pertikaian, melainkan haraus menjadi bagian dari
upaya solusi. Pers tetap mempunyai tanggung jawab moral terhadap kebenaran
informasi yang tidak boleh dilihat hanya dari satu pihak, tetapi harus
ditransformasikan kebenaran menurut pihak lain (Subiyakto, 2001).
Memetakan (maping) persoalan,
mengidentifikasi berbagai-bagai pihak yang terlibat, baik secara langsung
mahupun tidak, mengungkap dan menganalisis aspirasi dan agenda mer+ka. Sehingga
tidak terpengaruh dengan bias informasi yang diterima satu pihak,
merupakan fungsi dan tugas jurnalisme damai.
Galtung (1998),
mengatakan bahawa, prinsip jurnalisme damai adalah ingin menghumaniskan
semua pihak yang bertikai dan tidak melakukan demonisasi terhadap kelompok
tertentu, yang dalam jurnalisme perang, sentiasa direduksi menjadi dua
pihak yang bertikai. Maka, jurnalisme damai harus melihat dan memberi
forsi yang sesuai terhadap pihak yang bertaikai. Ertinya, tidak hanya dua pihak
sahaja, namun sebenarnya dalam perang selalu sahaja ada pihak-pihak yang
termarjinalkan. Dan, tidak melakukan praktik demonisasi, tapi harus
menmghumaniskan semua mereka. Lebih jauh, Galtung berucapa bahwa, jurnalisme
saat ini kebanyakan mengabaikan bagaian penting dari cerita, bagaimana konflik
boleh ditransendenkan. Konteks ini merupakan tesis utama Galtung. Dia melihat,
banyak media yang memberitakan konflik
ibarat sebuah laporan tentang berjangkitnya penyakit yang tak pernah
mempertimbangkan bagaiman cara merawat, atau menyembuhkannya.
Terjangkitnya
penyakit kolera misalnya, bolehkah dianggap lengkap, jika jurnalis hanya
menjabarkan secara singkat kesengsaraan penderita, jumlah penderita yang
meninggal, namun, mengabaikan segala sesuatu yang mungkin dapat menghentikan
epidemic penyakit tersebut.
Terkait
dengan tesis Galtung ini, Amiruddin (2002), menilai bahawa, jurnalisme damai
harus menjadi sebuah paradigma, platform, acuan, atau roh yang berada di
tingkat spirit dalam proses penyelenggaraan
kegiatan jurnalisme. Ditambahkan bahawa, ketika mewartakan reportase konflik,
jurnalisme damai tidaklah semata-mata terfokus pada hal-hal yang
bersifat dekoratif, seperti harus cover both side, menilai sudut bidik
berita yang tepat, tidak memuat gambar yang sadis, pilihan lead/intro
(pokok fikiran) berita yang relevan dengan kata-kata yang tidak bombastis
terhadap semua peristiwa pertikaian, kerusuhan, kejahatan, pembunuhan, dan
berbagai-bagai peristiwa kekerasan lain sebagai akibat konflik.
Ashadi
(2001), menambahkan bahawa, jurnalisme damai tetap bertumpu pada fakta.
Tetapi konsep kelayakan informasi ditetapkan dalam tataran ruang public yang
didominasi anomali. Dalam tataran anomali, perhatian ditujukan pada fakta yang
mengandung nilai humaniti dan kultural.
Sebagai
sebuah paradigma, frame, dan acuan dalam peliputan konflik, maka, jurnalisme
damai boleh menjadi platform, nilai, tradisi dan kod etik bagi
jurnalis dan pekerja pers dalam meliput, menganalisis, dan melaporkan isu-isu
konflik. Walaupun konflik itu sendiri sering menguntungkan media.
Bagi
Dedy N. Hidayat (2001), beranggapan bahwa, konflik selalu menguntungkan media.
Sebab media justru diuntungkan oleh krisis dan dirugikan oleh segala sesuatu
yang berjalan normal. Deddy agaknya lupa, bahwa fungsi dan peran media adalah,
di samping memberi informasi yang benar, pendidikan, hiburan. Juga berfungsi
sebagai kekuatan control social. Apalagi di daerah konflik, fungsi yang
terakhir ini sangat urgen untuk dimunculkan. Bukan menngambil untung diatas
penderitaan orang lain. Aksi-aksi semacam ini sangat bertentangan dengan Kode Etik dan indepedensi kaum jurnalis
itu sendiri dan prinsip-prinsip HAM.
Media
harus mampu mengkritisi, mengevaluasi dan menawarkan solusi setiap kebijakan
dan propaganda yang berkembang. Apalagi di wilayah-wilayah konflik, seperti di
Aceh. Jangan ikut-ikutan menabuh genderang
perang. Beritakan peristiwa-peristiwa berdasarkan data dan fakta, jangan
menjadi alat propaganda dari pihak bertikai. Berapa orang yang terbunuh,
siapa-siapa, di mana, kapan dan bagaimana (5W+1H). Jangan hanya diberitakan yang ditembak itu TNA dan TNI,
bukan sipil. Padahal jelas-jelas masyarakat biasa tanpa senjata. Berita itu pun
masih miring, TNA selalu terbunuh, sedang TNI hanya luka-luka biasa. Sipil yang
juga setiap hari kehilangan nyawa, harta benda, kecemasan, stress, gila dan
gangguan psikologis berkepanjangan, hampir-hampir luput dari pemberitaan media
massa. Simak misalnya, hasil polling yang diadakan Tabloid Kontras mengenai
harapan warga kota Banda Aceh terhadap pemberitaan pers dengan 136 responden.
Sebanyak 43,38% mengharapkan pers menonjolkan penderitaan korban, 34,56%
menginginkan penonjolan insiden dan penderitaan koban, hanya 11,76% saja yang
menginginkan penonjolan insiden dan 10,30% pers menonjolkan
pernyataanpihak-pihak bertikai (KIPPAS,2002).
Hasil
Polling ini menggambarkan, betapa besarnya harapan masyarakat agar pers
berpihak kepada para korban. Hanya sebagian kecil saja (11,76%) yang
menginginkan pers memberitakan insiden. Bahkan lebih sedikit lagi yang hanya
mengharapkan komentar pihak-pihak berperang (10,30%).
Akhbar-akhbar
harian dan mingguan, mahupun tabloid-tabloid di Aceh, seperti Harian Serambi,
tabloid Kontras, Bedoh, dll. Merupakan bagian dari kekuatan yang sedang
bertarung di antara pihak-pihak yang bertikai. Tekanan-tekanan terhadap media
dan jurnalis telah menjadi bahagian dari konflik itu sendiri. Penyandraan dan
pembunuhan Ersa Siregar (30 Desember 2003) salah seorang wartawan senior
Rajawali Citra Televisi indonesia (RCTI),adalah bagian dari tekanan, terror dan
intimidasi terhdap pekerja pers.Ruang (space), masa dan kebebasan, seakan-akan
hanya milik pihak-pihak yang bertikai. Penembakan Ersa juga pelecehan terhadap
profesi mulia kewartawanan.
Pengakuan
KSAD, Ryamizard Ryacudu (diluar kebiasaa) bahwa peluru pencabut nyawa Ersa itu berasal dari TNI. Menurutnya, kematian
reporter RCTI itu adalah resiko wartawan perang di medan tempur yang sedang
bergejolak (Surabaya Post, 31 Desember 2003).
Peristiwa
pembunuhan Ersa Siregar ini benar-benar menjadi ujian bagi pekerja-pekerja
pers. Apakah berani membuat investigasi, meliput, mengolah data dan
mempublikasi secara transparan kepada public, atau menyerah dan pasrah dalam
ketakutan. Berita-berita korban konflik dari orang-orang yang tidak bersalah
tidak berani diliput dan dipublikasikan. Bagaimana jika yang korban tersebut
rakannya sendiri…???.
Akhbar
lokal yang populer di Aceh sekarang adalah Harian Serambi Indonesia, disamping
akhbar Harian Waspada Medan. Isu-isu konflik Aceh sebagai konsumsi
akhbar-akhbar lokal dan nasional akhir-akhir ini sedang merebut tempat dengan
isu-isu pemilihan umum (pemilu) yang
berlangsung April 2004. Misalnya, berita-berita yang diturunkan Harian
Serambi pada hari jum’at 19 Desember 2003, hanya dua tempat yang menyentuh dengan
konflik. Halaman muka dengan dengan judul : KOOPS SELAMATKAN SUPIR KRU RCTI.
Dan pada halaman 6 dengan judul: 20.000 WARGA DEKLARASIKAN GEURASA (Gerakan Rakyat Anti Separatis). Dekian pula
Tabloid-tabloid, seperti Kontras No.271, 18-24 Desember 2003, laporannya tidak
menyentuh samasekali dengan berita-berita konflik Aceh. Bahkan lebih banyak
menurunkan berita-berita pemilu dan penangkapan Saddam Husein. Bagaimana dengan
Tabloid Bedeh? Juga sama, misal,
edisi 8, 19 Nopember-3 Desember 2003, hanya laporan utama saja yang menyentuh
konflik dibawah judul: SOLIDARITAS ACEH-PAPUA KECAM PERPANJANGAN DARURAT
MILITER DI ACEH. Selebinya hampir semua halamannya menurunkan berita-berita
seputar pemilu di Indonesia, terutama di wilayah Aceh dalam kondisi Darurat
Militer. Meskipun ulasan-ulasannya menolak pemilu di Aceh dengan alasan tidak
demokratis kerana Aceh dalam status Darurat Militer.
Dengan
gambaran berita-berita yang diturun akhbar harian dan Tabloid-tabloid di atas,
terlihat bahwa ada kecendrungan media massa menggeser posisinya dari hirukpikuk
larut dalam berita-berita konflik ke posisi isu-isu semasa. Namun, prinsip-prinsip
jurnalisme damai (peace journalism) masih belum sepenuhnya dilaksanakan. Nasib
para korban konflik, anti kekerasan, menyerukan perdamaian, mencegah peperangan
dan perang lanjutan sebagai muatan peace
journalism tetap terabaikan.
War Journalism
Journalisme
Perang atau war journalism, kebalikan
dari peace journalism dan
prinsip-prinipnya pun sangat kontradiktif pula. Jurnalisme Perang ini lebih
banyak dipraktekkan hanya untuk mencari keuntungan finasial semata-mata, dengan
menaikkan tiras atau oplah media. Berita-berita yang disajikan sentiasa
bernuansa kekerasan dan sangat vulgar, bersifat propaganda dan ikut serta menabuh gendrang perang.
Eriyanto
menyebutkan, journalisme perang lebih beroreintasi pada menang-kalah (zero-sume oriented);dampak yang dapat
dilihat (dampak fisik);membagi pihak yang bertikai menjadi dua kubu yang
bermusuhan; cendrung memburukkan lawan dan menghumanis kan kelompok “kita”;
harus jelas pemenang dan pecundang (Eriyanto, 2001).
Journalisme Perang lebih terfokus pada arena
konflik, situasi kacau, perang dan kekerasan. Fakta dan data ditutup-tutupi,
sebab akibat hanya sebatas konflik, terbatas hanya pada dampak fisik
(pembunuhan, berapa korban, luka-luka dan kerugian materi). Menyebut nama
pelaku kejahatan dan kelompoknya di pihak “mereka” saja. Lebih banyak
berorientasi pada elit ketimbang rakyat jelata, menyembunyikan kebenaran dan
inisiatif perdamaian dan terlena dengan stabilitas masyarakat yang terkendali.
Dan masih banyak hal-hal lain yang sentiasa kontra dengan keinginan dan
inisiatif-inisiatif yang mengacu kepada perdamaian, keadilan, kemanusiaan dan
demokratisasi.
Journalisme
Perang sering ditampilkan media massa lewat penggunaan bahasa-bahasa berita
yang bombastis, hiperbolik, dan sensasional. Terkait dengan konteks ini, telah
dilakukan penelitian yang cermat oleh sdr Fakhrurrazi, mahasiswa Fakultas
Dakwah IAIN Ar-Raniry Aceh terhadap akhbar Harian Serambi Indonesia terbitan 1
April-12 Mei 2002, dengan menggunakan metode Content Analisis terhadap bahasa berita konflik Aceh di Harian
Serambi Indonesia. Hasilnya mengambarkan bahwa akhbar Harian Serambi Indonesia
orientasi pemeberitaannya cendrung pada War
Journalism, dengan rincian, dari 53 berita yang diriset ditemukan sebanyak
47 pokok berita (88,67%) memuat kekerasan simbolik, artinya hanya 6 pokok
berita (11,32%) saja yang tidak termuat kekerasan simbolik. Demikian pula,
masalah sumber-sumber berita yang didominasi oleh kalangan elit RI dan GAM,
masing-masing: TNI/POLRI (militer) ditemukan 43 pokok berita (81,13%). GAM
sebanyak 41 pokok berita (77,35%).
Deskripsi
ini menunjukkan bahwa akhbar Harian Serambi Indonesia menyediakan space yang lebar kepada pihak bertikai
(RI dan GAM) untuk saling menghujat, memfitnah, menghadu domba dan propaganda.
Imbasnya adalah terjadi kebingungan-kebingungan dari public pembaca, siapa
sebenarnya yang benar dan harus diikuti. Kondisi semacam ini memang dapat
dipahami, bagaimana posisi media massa dan pekerja pers yang sentiasa dibawah
tekanan moncong senjata.
Penembakan
Ersa Siregar reporter RCTI (Berita Harian, 1 Januari 2004), barangkali boleh
menjadi analisis dan gambaran bagaimana kondisi dan posisi pekerja pers ketika
meliput berita-berita konflik. Di satu sisi, ingin bertindak sesuai dengan
fitrah kewartawanan, di sisi lain, berhadapan berbagai kemungkinan yang
kadang-kadang boleh merenggut nyawa.
Penutup
Konflik Acheh terjadi dalam
eskalasi yang panjang dengan kerajaan pusat (Jakarta), yang kemudiannya konflik
ini lebih dikenal dengan konflik vertikal. Konflik Acheh dengan kerajaan
pusat ini, disamping telah berjalan dalam masa yang lama, konflik ini pula,
telah menembus berbagai lintas batas, baik kemanusiaan, social, politik,
ekonomi, budaya, hukum, HAM, pendidikan. Bahkan, agama sekalipun.
Intimidasi, terror, penganiayaan,
penghilangan, pembakaran, pemerkosaan, perampasan. Bahkan, pembunuhan secara
sadis, adalah peristiwa-peristiwa mengerikan sepanjang eskalasi konflik
vertikal ini. Sehingga konflik vertikal ini telah mengarah kepada
kekerasan-kekerasan kemanusiaan. Terkait dengan konteks ini, proses
penyelesaiaannya pun dengan pelibatan semua komponen public, baik lokal,
nasional mahpun international, termasuk komponen media massa.
Keberadaan media massa di
wilayah-wilayah konflik, seperti Acheh, memang sangat dilematis. Di satu sisi,
dituntut independent, idealis, neutral dan berpihak kepada kebenaran (fakta).
Tetapi di sisi lain, media massa sentiasa berhadapan dengan pihak berkonflik,
yang justeru menggunakan senjata, sebagai simbol kekerasan-kekerasan yang
mereka lakukan. Pembunuhan Ersa Seregar, wartawan Rajawali Citra Televisyen
Indonesia (RCTI) dalam eskalasi konflik di Acheh misalnya, adalah sebagai
sampel kekerasan pihak berkonflik terhadap pekerja pers (media massa). Maka,
dalam konteks ini, posisi media massa di wilayah-wilayah konflik sentiasa
cenderung menggunakan prinsip dan etika jurnalisme damai (peace journalism)
atau perang (war journalism).
DAFTAR
PUSTAKA
Alfian, Ibrahim, 1987,
Perang di jalan Allah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Al-Chaidar, 1998, Aceh
Bersimbah Darah, Pustaka Al-Kausar, Jakarta.
Agus Sudibyo, 2001, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka
Agama di Media Massa, ESAI, Jakarta.
Alo Liliwery, 1991, Memahami Komunikasi Dan Peran
Komunikasi Massa Dalam Masyarakat, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Anderson
B, 1991, Imagined Communities: Reflections on the Orogin and Spread of Nationalism. London , New York :
Verso.
Amiruddin, 2002, Paradigma Jurnalisme Damai,
Harian Suara Merdeka, semarang.
Astrid S, 1982, Komunikasi Kontemporer, Bina
Cipta, Bandung.
Anthony Giddens, 1984, The Constitution of
Society, Cambridge, Polity Press.
Abdullah Z, 2001, Internal Conflict and
State Making: Fatalisme Dunia Ketiga, Jakarta.
Alex Sobur, 2001,
Analisis Teks Media Massa, Rosdakarya, Bandung.
Dedy N, Hidayat, 2001,
Media Sang Penabuh Genderang, Kompas, 30 Sept 2001.
Joseps Devito, 1996,
Komunikasi Antar Manusia, Jakarta, Books.
Novel Ali, 1999,
Peradaban Komunikasi Massa, Remaja Karya, Bandung.
Onong, 1993, Dinamika
Komunikasi, Remaja Rosda Karya, Bandung.
------------------,
1993, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Fakhrurrazi, 2002, Media
Massa di Daerah Konflik: antara Jurnalisme Damai Dan Perang. IAIN
Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.
Hurgronje, Snuock, 1908,
The Acehnese, Terj.A.W. S. Sulivan, Vol.L.,aiden, E.J.Brill.
Sjamsuddin, Nazaruddin,
1990, Pemberontakan Kaum Republik, Temprit, Jakarta.
Sudibyo,
Agus, dkk., 2001, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka agama di Media
Smith,
1990, A Europe of Nation or The Nation of Europe, Peace Research, Vol
30, No 2.
Stuart
Hall, 1978, Culture, Media and The Ideological Effect, Edward Arnold, London.
Nugroho, Bimo, 1999, Politik Media Mengemas Berita, ISAI, Jakarta.
Galtung,
Johan, 1998, The Peace Journalism Option, Trancend Peace and Development
Network, Taplou, Inggris.
Prasetyo, Adi, Stanley, 2001,Makalah seminar;
Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai, 19 April 2001, Yayasan KIPPAS,
Medan, dimuat di Jurnal Kupas, No.2 Vol 3.
Siregar, Ashadi,
Jurnalisme Damai: Resolusi Konflik, dimuat dalam Jurnal SENDI.
---------------, 2001, Di tengah Konflik Media Harus
Lebih Humanis, Harian Suara Merdeka, Semarang.
KIPPAS, 2002, Luka Aceh Duka Pers, Ed. J. Anto,
Medan.
Muis, A. 2001,
Komunikasi Islami, Pen. ROSDA, Bandung.
Ahmad, S.M, dkk, 1999,
Merdeka Dalam Perdebatan, Citra Putra Bangsa, Jakarta.
Bimo Nugroho, 1999, Politik Media Mengemas Berita,
ESAI, Jakarta.
Calhoun,
C, 1999, Nasionalisme dan Sivil Society. Jurnal Ilmu sosial Transformatif, No.
1, Jakarta :
INSIST.
Cohen and Arato, 1992, Civil Society and
Political Theory. Massachuset: MIT Press.
Dan Nimno, 1999, Komunikasi Politik, Komuniukator,
Pesan Dan Media, Remaja Roada Karya, Bandung.
Hasan Saleh, 1992, Mengapa Aceh Bergolak, Temprit,
Jakarta.
Hikam, M.A.S, 1997, Demokrasi dan Sivil Society,
LP3ES, Jakarta.
___________,
1999, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Sivil Society, Erlangga,
Jakarta.
Piliang, 2002, Sebuah Dunia Yang Menakutkan:
Mesin-Mesin Kekerasan Dalam Jagat Raya, Mizan, Bandung.
Prasetyo, 2001, Konflik Dan Ide Jurnalisme Damai,
KIPPAS, Medan.
Pobotinggi, 1998, Hanya Yang Berdarah Berhak
Berkata, Grasindo, Jakarta.
Zulkarimein Nasution, 1996, Komunikasi Pembangunan,
Persada, Jakarta.
Harian Serambi Indonesia, Jum’at, 19 Desember
2003.
Tabloid Kontras, No.271,
18-24 Desember 2003.
Tabloid Bedoh, Edisi 8,
19 Nopember-3 Desember 2003.
Harian Surabaya Post, 31 Desember 2003
Harian Waspada, 8 Januari 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar