Kamis, 26 Juni 2014

Baharuddin: Jurnal Al-Mumtaz, Volume 3, Nomor 1, Januari-Juni 2014, hal. 135-156

KONFLIK ACEH DAN POSISI MEDIA MASSA

Oleh:
Baharuddin

ABSTRAK
Konflik Acheh dengan Pemerintah Pusat (Jakarta), atau sering disebut dengan konflik vertikal, telah berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Benih-benih konflik ini telah disemai dalam masa yang lama pula oleh para penjajah (colonialism). Kondisi media massa di wilayah konflik (conflict area) baik cetak maupun elektronik sangat dilematis. Di satu sisi, dituntut indepedensi, kejujuran, keadilan, keberanian dan berpihak kepada kebenaran. Di sisi lain, proses perebutan pengaruh kedua pihak berkonflik juga sangat berimbas pada eksistensi media massa dan pekerja pers. Dalam konteks ini, telah menjadi pembenaraan bahwa media massa ikut andil mengacaukan suasana sekaligus menganjurkan perang. Bagaimana prinsip-prinsip jurnalistik yang digunakan oleh pekerja pers dalam meliput berita-berita konflik. Apakah cenderung ke jurnalisme damai (peace journalism) atau jurnalisme perang (war journalism). Dan bagaimana pula bahasa-bahasa berita yang digunakan.Tulisan sederhana ini mencoba menyoroti dan menganalisis kondisi, posisi dan kecendrungan  media massa dalam meliput berita-berita konflik, terutama media massa di Aceh. Di samping itu, juga akan disorot, bagaimana proses komunikasi politik yang dimainkan. Konteks ini terkait dengan proses politik yang dimainkan dalam penyelesaian konflik vertikal di Aceh. Hegemoni dan ideologi media dan bagaimana media merekonstruksi realitas, juga menjadi sorotan dalam bahasan ini. Terkait dengan konteks ini, proses penyelesaiaannya harus melibatkan semua komponen public, baik lokal, nasional maupun international, termasuk komponen media massa. Media massa dalam konteks ini, harus senantiasa cenderung menggunakan prinsip dan etika jurnalisme damai (peace journalism) atau perang (war journalism).

Kata Kunci: Konflik Aceh, Media Massa

Pendahuluan                      
         Konflik Acheh dengan Pemerintah Pusat (Jakarta), atau sering disebut dengan konflik vertikal, telah berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Benih-benih konflik ini telah disemai dalam masa yang lama pula oleh para penjajah (colonialism). Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, ternyata spirit dan aktualisasi praktik-praktik model klasik dan ortodok ini masih juga diamalkan. Sehingga ketidakpuasan rakyat terhadap hasil-hasil pembangunan menuai protes di mana-mana, baik pada masa Orde Lama (Soekarno), lebih-lebih lagi masa Orde Baru (Soeharto), termasuk di Acheh. Demikian pula media massa, terutama di wilayah-wilayah konflik, seperti di Acheh, sangatlah sulit menonjolkan idealisme kepemihakan kepada rakyat, utamanya kepada korban konflik, yang selalu masyarakat umum (sivil). Tetapi keberadaan media massa selalu dihimpit oleh kedua pihak yang berkonflik.         
Kondisi media massa di wilayah konflik (conflict area) baik cetak maupun elektronik memang sangat dilematis. Di satu sisi, dituntut indepedensi, kejujuran, keadilan, keberanian dan berpihak kepada kebenaran. Di sisi lain, proses perebutan pengaruh kedua pihak berkonflik juga sangat berimbas pada eksistensi media massa dan pekerja pers.
Terror, intimidasi, penculikan, bahkan pembunuhan,  menjadi fenomena mengerikan bagi pekerja pers. Pembakaran kantor dan surat kabar tertentu yang tidak sesuai mempublikasikan informasi dengan pihak berkonflik, juga menjadi catatan yang sangat mengusik kemerdekaan kerja  bagi insan-insan pers. Realiti ke kinian ini berimbas pada kesempatan dan ruang (space) yang sangat sempit bagi jurnalis untuk bekerja meliput, mengolah, dan mempublikasikan berita-berita konflik Acheh secara objektif  kepada khalayak.
Kemerdekan memperoleh informasi (KMI) yang benar dan akurat bagi publik, yang  merupakan bagian dari HAM dalam wilayah konflik, hanya menjadi impian belaka. Apalagi berita-berita yang damai dan menyejukkan. Media massa ikut-ikutan  menabuh genderang  perang  sebagai sebuah upaya penggiringan media ke arah anarkhisme dan brutalisme. Dalam konteks ini, telah menjadi pembenaraan bahwa media massa ikut andil mengacaukan suasana sekaligus menganjurkan perang. Persoalannya adalah, bagaimana prinsip-prinsip jurnalistik yang digunakan oleh pekerja pers dalam meliput berita-berita konflik. Apakah cenderung ke jurnalisme damai (peace journalism) atau jurnalisme perang (war journalism). Dan bagaimana pula bahasa-bahasa berita yang digunakan.Tulisan sederhana ini mencoba menyoroti dan menganalisis kondisi, posisi dan kecendrungan  media massa dalam meliput berita-berita konflik, terutama media massa di Aceh.
Di samping itu, juga akan disorot, bagaimana proses komunikasi politik yang dimainkan. Konteks ini terkait dengan proses politik yang dimainkan dalam penyelesaian konflik vertikal di Aceh. Hegemoni dan ideologi media dan bagaimana media merekonstruksi realitas, juga menjadi sorotan dalam bahasan ini.
   
Konflik Acheh
Membedah konfik Aceh dalam sejarah panjang memang agak melelahkan. Perjalanan sejarah panjang ke-Acehan itu tidak pernah sepi dengan konflik yang mengarah kepada kekerasan-kerasan (violence). Konflik-konflik terebut secara  perioderisasi sederhana dapat dibagi dua, pertama, sebelum kemerdekaan RI. Konflik pada era ini lebih mengarah pada perlawanan-perlawanan rakyat terhadap penjajahan-penjajahan luar (eksternal), sebut saja, Belanda, Portugis dan jepang. Tahun 1873, merupakan klimaks kemarahan Belanda terhadap rakyat Aceh untuk melancarkan perang. Kemudian perang  ini dikenal dengan Perang Aceh. Belanda ketika itu telah menabur benih-benih konflik  di seluruh wilayah Indonesia. Bagi rakyak  Aceh sendiri, perang semacam ini disebut  Snouck Hurgronje sebagai Perang Kaphe (Hurgronje,1906).  Perang dengan orang bermata biru ini bagi orang Aceh juga dikenal dengan Prang Sabi (perang menegakkan Agama di jalan Allah).
Salahsatu benih konflik yang masih membekas dalam sanubari rakyat Aceh yang dimunculkan penjajah adalah kerja paksa (Rudi). Semua rakyat dipaksa kerja pada tanah sendiri tanpa diberi upah yang sesuai. Sedang keuntungan yang berlipat ganda diambil oleh mereka. Terkait dengan ini, banyak buruh kasar yang dibawa dari pulau jawa dan mereka dipekerjakan di kebun-kebun karet dan kelapa sawit. Mereka sewaktu-waktu juga dimamfaatkan untuk membantu operasi tentera penjajahan. Setidaknya menjadi informan untuk menyuplai informasi dan data-data pejuang Aceh. Perang Aceh dengan Belanda ini dianggap paling lama dalam sejarah perlawanan rakyat melawan penjajah. Terkait dengan ini, rakyat Aceh juga telah memperkenalkan bagaimana Perang gerilya. Alfian (1987) menggambarkan bahwa, orang Aceh dengan gigih melawan Belanda karena dianggap sangat berbahaya, disamping merusak tata kehidupan masyarakat dan nilai-nilai keagamaan,juga mereka dianggap kafir.
Bersamaan dengan berkecamuknya perang dengan Belanda, tiba-tiba Jepang mendarat melalui Malaya(Malaysia sekarang). Mula-mula mendapat sambutan hangat. Bahkan para pemuda secara rahasia menanti kedatangan Jepang dengan memakai sandi “F” (Fujiwara). Tidak begitu lama “bersahabat”dengan rakyat Aceh, Jepang semakin terlihat sifat-sifat fasisme dan kolonialismenya. Bangkitlah kemarahan rakyat Aceh untuk melawan Jepang. Dalam gambaran dan pandangan rakyat Aceh, baik Belanda maupun Jepang sama saja tidak boleh dipercaya. Ungkapan kesal ini tergambar dalam pepatah “Tapicrok Bui Jiteka Asei” (kita kejar babi datang anjing).
Dendam dan benci kepada penjajahan (colonial), sifat, karakter dan bentuk-bentuknya (kolonialis) dalam jiwa rakyat Aceh, sebenarnya sebuah proses panjang dan sangat sulit untuk dihilangkan. Kalau kemudian karakter dan prinsip semacam ini masih eksis dalam jiwa-jiwa rakyat Aceh  dan setiap saat akan muncul, adalah sikap-sikap kesal dan ketidakpuasan terhadap praktek-praktek yang masih diaktualisasikan seperti penjajahan masa dahulu (kolonialis). Konteks ini, tidak terbatas waktu dan ruang. Siapa saja yang mewarisi dan mengaktualisasikan kerja-kerja colonial akan dibenci oleh orang Aceh. Termasuk familinya sendiri. Kedua, pascakemerdekaan RI. Pengkhianatan demi pengkhianatan yang dilakukan RI terhadap Aceh, adalah bagian dari punca merebaknya konflik dan munculnya protes-protes dan ketidakpercayaan rakyat Aceh terhadap  pusat (RI).
Meletusnya pemberontakan DI/TII yang dikomandoi Tgk. Daud Bereueh, merupakan jawaban terhadap pengkhianatan tersebut. Tuntutan rakyat saat itu sebenarnya sangat sederhana untuk mengembalikan bagian identitas ke-Acehan, yaitu masyarakat Aceh diberikan kebebasan sepenuhnya melaksanakan Syariat Islam secara kaffah. Tuntutan ini hanya pengulangan janji-janji Soekarno (presiden RI) ketika menghadap ulama dan tokoh-tokoh Aceh, bahwa akan menggunakan legalitasnya untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh merujuk pada Piagam Jakarta (Baca: syamsuddin, 1990).
Setelah janji-janji kotor tidak dipenuhi, Soekarno juga membubarkan Provinsi Aceh. Dan yang sangat menyakitkan rakyat lagi, Tgk. Daud Bereueh diberhentikan secara resmi sebagai Gubernur -Militer Aceh dan Tanah Karo.
Perlakuan-perlakuan semacam ini berimbas pada bertambahnya luka bagi rakyat Aceh, bagaikan jatuh tertimpa tangga. Ketidakpercayaan rakyat Aceh kepada kerajaan pusat, telah memunculkan protes-protes social secara keras dalam bentuk pemberontakan.
Konflik vertikal antara kerajaan pusat dengan rakyat Aceh tidak dapat dihindarkan. Ketidakpercayaan rakyat ini berlarut-larut sampai munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Dr. Hasan Di Tiro (1953-1976). Dari rentangan waktu ke waktu sebelum munculnya generasi penggugat baru, seharusnya kerajaan pusat membuka mata lebar-lebar, kemudian secara jujur dan transparan mengakui segala kelemahan dan berikrar secara sungguh-sungguh untuk memperbaikinya serta tidak akan mengulangi lagi kekeliruan masa lalu. Komitmen inilah sebenarnya yang ditungu-tunggu publik, tidak hanya rakyat Aceh. Namun yang muncul sentiasa sikap-sikap arogan, gengsi, tamak, rakus dan suka korupsi. Aksi-aksi semacam ini yang kemudian diaktualkan lagi oleh aparat keamanan yang bertugas di Acheh secara berlebih-lebihan sebagai bagian dari tugas-tugas negara itu sendiri.
Melihat keseriusan Jakarta menumpas setiap protes sosial, termasuk di Aceh, mengindikasikan bahwa GAM bukan lagi gerakan sempalan tanpa dukungan. Berbagai operasi militer telah digelar sejak GAM dideklarasi th 1976 di Gunung Halimun, Pidie. Dengan mengunakan berbagai sandi, mulai dari Operasi Siwah Alpha (1977-1982). Operasi Siwah Beta (1982-1983). Operasi Sadar (1989-1990). Operasi Jaring Merah (1990-1998). Sandi-sandi operasi ini mulai 1989-1998 (selama 10 tahun) masuk dalam kebijakan yang sangat mengerikan yang disebut Daerah Operasi Militer (DOM jilid I).
Mulai 19 Mei 2003-19 Mei 2004 telah ditetapkan kembali Aceh Daerah Operasi Militer (DOM jilid II). Penguasa sipil dilebur menjadi Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD).Dalam arti kata, semua lembaga, dan institusi, baik sipil, militer, maupun swasta, tak terkecuali media massa, berada dalam kungkungan PDMD.
Pelanggaran HAM dalam aksi-aksi operasi militer tersbut bagaikan catatan-catatan mati pada batu nisan. Begitu pula pembungkaman media massa, juga bagaikan permainan penyamun di siang bolong dan telah melanggar pula hak-hak mengemukakan pendapat dan kemerdekaan memperoleh informasi bagi publik. Yang merepotkan (baca panik) adalah, bahwa Acheh telah menjadi bagian dari global village (desa global). Kondisi semacam ini, telah mempengaruhi dan memungkinkan isu-isu semasa dan sejagat telah menjadi santapan setiap orang dalam masa yang sama, termasuk isu-isu Aceh sekarang.  Dibantu pula dengan kecanggihan teknologi komunikasi, termasuk multi media. Maka teori pembungkaman yang selama ini digunakan sudah sewajarnya secara sadar harus ditinggalkan.
Dari berbagai konflik kekerasan (perang) tersebut, baik sebelum kemerdekaan RI, maupun pascakemerdekaan RI sampai sekarang, banyak pengalaman pahit yang tersisa, baik dari pihak penjajah, mapun di pihak Aceh sendiri. Pusara Jendral Kohler di depan Mesjid Raya Baiturrahman dan perkuburan serdadu-serdadu Belanda, Kerkhop, adalah bukti-bukti sejarah kerugian konflik kekerasan tersebut. Demikian pula bagi RI sendiri, berapa banyak aparatnya yang gugur setiap operasi yang digelar di Aceh. Bagi pihak Aceh kerugian yang paling dirasakan adalah, ribuan korban orang-orang yang tidak bersalah (secara hukum), dan kerugian hartabenda, penghilangan, penculikan, pembunuhan, terror, pemerkosaan, dll. Kondisi refresif aparat (baca: negara) berketerusan ini, telah menyisakan trauma psikologis berbalut dendam dan sangat sulit untuk disembuhkan. Walaupun kondisi semacam ini bagian dari sebuah scenario dan setting  dalam jangka panjang. Konteks inilah yang sangat prihatin dan membimbangkan masa depan, meskipun kondisi aman di Aceh dapat dicapai kelak.
Ketiga, aksi Referendum. Tumbangnya rezim kuku besi, orde baru, Mei 1998, Soeharto dipaksa meninggalkan jabatan kesayangannya sebagai presiden RI (seumur hidup). Rezim ini, kemudian bertukar menjadi Orde Reformasi. Ketika itu, spirit gerakan reformasi ini telah melanda seluruh pelosok tanah air, termasuk ke Aceh. Gerakan pembungkaman yang begitu lama di bawah rezim Soeharto, mulai terkuak secara lebar. Ruang dan kesempatan berharga ini tidak disia-siakan oleh aktivis, mahasiswa dan akademisi untuk mencadangkan dan menyuarakan agar konflik Aceh dapat diselesaikan secara demokratis, manusiawi dan bermartabat. Cadangan konseptual ini ditawarkan sebagai sebuah upaya untuk memberikan proteksi dan meminimalisir korban di pihak masyarakat (sivil). Cadangan konseptual ini, pada awalnya dipelopori oleh tokoh-tokoh muda intelektual kampus. Beberapa kali diskusi internal dilakukan untuk mempertajam dan mempertegas konsep, visi dan misi. Akhirnya, bersepakat untuk menawarkan wacana referendum sebagai solusi bijak penyelesaian konflik Aceh. Pertama kali wacana ini dibacakan dan diperdengarkan di hadapan Pangdam Bukit Barisan, Affan Gaffar (waktu itu belum terbentuk Kodam di Aceh masih tunduk ke Medan), para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat Aceh. Acara akbar ini diadakan di Anjong Mon Mata (komplek pendopo Gubernur Aceh).
Wacana referendum ini, kemudian diback up oleh media massa (cetak dan elektronik) samada di tingkat lokal mahupun nasional. Demikian pula para aktivis pro demokrasi dan kemanusiaan, mahasiswa, akademisi dan aktivis NGO sudah mulai membicarakan wacana referendum ini dalam diskusi-duskusi, dialog dan seminar-seminar.
Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau (Kompas) yang diadakan di gedung sosial, Jl Tgk. Syik Ditiro Banda Aceh, merupakan klimaks kesadaran rasional penerimaan referendum sebagai tawaran bijak solusi konflik Acheh oleh para aktivis Aceh serantau. Kongres perdana ini diikuti lebih dari delapan puluh wadah (organisasi) mahasiswa dan pemuda Aceh serantau, samada bersifat kampus, NGO, dayah, mahupun ormas. Kongres bersejarah ini dalam salahsatu agendanya membicarakan pula apa dan bagaimana wadah-wadah aktivis Aceh serantau ini boleh disatukan dalam sebuah wadah baru yang representative yang memuat isu referendum sebagai titik focus. Peserta kongres kemudian menyepakati SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) sebagai wadah representatif bersifat presidium. Salahsatu agendanya adalah, mensosialisasikan isu referendum ini kepada rakyat di seluruh pelosok Aceh dengan cara-cara damai dan bijak.
Tanggal 9 November 1999, merupakan puncak kesuksesan proses sosialisasi isu referendum kepada rakyat Aceh. Lebih dari satu juta orang berbondong-bondong datang ke Banda Aceh menghadiri upacara pendeklarasian  referendum sebagai simbol pemberdayaan kedaulatan rakyat secara damai, demokratis dan manusiawi. Upacara akbar ini diselenggarakan di halaman mesjid raya Baiturrahman Banda Aceh, tanpa sembarang insiden dan berjalan secara aman dan damai. Upacara ini juga dihadiri oleh ketua DPRD Aceh, Moh.Yus, Wakil Gubernur, Bustari mansur dan beberapa anggota dewan dan pejabat Aceh lainnya. Bahkan, Moh.Yus (ketua DPRD) dan Bustari mansur (Wakil Gubernur) menandatangani naskah referendum ini di hadapan peserta upacara bersejarah ini dan di hadapan saksi-saksi dan berikrar untuk memperjuangkannya kepada pemerintah pusat (Jakarta).
         Gerakan referendum ini, akhirnya kandas di tengah jalan, walaupun presiden Republik Indonesia (ketika itu) Gus Dur, pernah berucap: “…masak untuk Timur-Timor diberikan referendum, apalagi untuk Aceh,… “. Namun, ucapan ini tidak membawa legalitas sama sekali. Akhirnya, Gus Dur sendiri diturunkan dari jabatan presiden dan digantikan oleh Megawati Soekarno Putri.
              Pergantian tampuk kepemimpinan di tingkat nasional dan proses penyelesaian konflik vertikal ini secara damai sentiasa menjadi agenda utama setiap pemimpin baru yang terpilih, termasuk Megawati Soekarno Putri. Ketika beliau berkunjung ke Acheh menjelang terpilihnya menjadi Presiden, ucapan pertama yang keluar dari mulutnya adalah… "seandainya saya terpilih menjadi presiden Republik Indonesia (RI), saya menjamin tidak akan ada lagi setetes darah pun mengalir di bumi Acheh tercinta ini". Ucapan beliau itu sangat melegakan rakyat Acheh ketika itu. Tetapi bayang-bayang penipuan ayahnya, Soekarno terhadap rakyat Acheh tempo hari tetap masih tersisa dalam ingatan kebanyakan rakyat Acheh. Ternyata memang benar. Tidak lama Megawati memerintah Indonesia, Aceh kembali ditetap sebagai daerah Darurat Militer (DM), atau Daerah Operasi Militer (DOM) jilid II, setelah proses dialog dengan Gerakan Acheh Merdeka (GAM) dinayatakan gagal dan semua tokoh perunding GAM ditangkap di Hotel Kuala Tripa Banda Acheh (hotel tersebut yang kini telah hancur akibat gempa dan tsunami 26 Desember 2004). Dan ketua perunding GAM, Sofyan Ibrahim Tiba yang ditahan di rumah tahanan (Rutan) Kedah Banda Acheh, telah meninggal dunia bersama ratusan tahanan lainnya, ketika terjadi gempa dan tsunami di Acheh yang lalu, akibat rumah tahanan tersebut digulung oleh gelombang tsunami itu.                           
                Penetapan Acheh sebagai daerah operasi militer dalam rezim Megawati, dimulai tgl 19 Mei 2003 dan terjadi sekali perpanjangan. Kemudian status Acheh diturunkan menjadi Daerah Darurat Sipil (DS), sampai terjadinya pergantian pucuk pimpinan nasional dari Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhir tahun 2004. Ternyata ketika SBY memerintah, status Aceh sebagai daerah Darurat Sipil, juga masih tetap berlaku (belum dicabut), walaupun SBY berasal dari partai Demokrat, yang katanya lebih demokratis, tetapi nuansa militerisme agaknya lebih dominan sebagai latar belakang profesinya.
                 Tragedi kemanusiaan paling dahsyat gempa dan tsunami berkekuatan 9,1 (versi luar negeri) dan 8,9 (versi Indoenesia) di Acheh dan telah menewaskan ratusan ribu manusia serta memporak-porandakan hartabenda dan perkampungan-perkampungan  penduduk di sekitar pantai. Tragedi ini telah menjadi berita besar bagi dunia dan sekaligus telah membongkar isolasi dan "pembongsaian" wilayah Aceh yang selama ini sangat tertutup dan ditutupi bagi dunia luar (International). Berbagai bangsa dan pemimpin terkenal dunia turut berduka serta berkunjung ke Acheh untuk menyaksikan sendiri tragedi terdhasyat ini sambil menyerahkan bantuan kepada korban gempa dan tsunami tersebut. Tidak terkecuali Jecky Chan, bintang film laga, bahkan Kofi Anann, ketua Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), juga Abdullah Ahmad Badawi, Mahathir Muhammad, dan rombongan dari Negara jiran, Malaysia. Dan berbagai pemimpin terkenal di dunia lainnya, termasuk mantan presiden Amerika Serikat, Bill Clinton dan ayah George Bush (presiden Amerika sekarang). Demikian pula, pemain muda kesebelasan sepak bola Portugal dan saat ini membela kloub terkenal Manchester United, Ronaldo  tidak ketinggalan  berkunjung ke Aceh.      
Tragedi gempa dan tsunami di Aceh, tidak mengendurkan semangat Susilo Bambang Yudhoyono untuk memikirkan dan mencari solusi penyelesaian konflik vertikal ini. Belum sampai setahun beliau memimpin, sudah dua kali mengadakan dialog dan perundingan dengan Gerakan Acheh Meredeka (GAM), yang difasilitasi dan disponsori oleh sebuah lembaga yang dipimpin mantan presiden Firlandia, Ahtisarii. Perundingan ini dilanjutkan kembali pada bulai Mei 2005, juga di Firlandia. Berbagai kesepakatan sedikitnya telah dicapai, di antaranya kesepakatan memberi perhatian bersama dengan sungguh-sungguh dan mencari solusi bersama terhadap masa darurat (emergency) penanggulangan bencana di Aceh. Kesepakatan ini tercapai dalam perundingan tahap pertama. Pada tahapan ini lebih banyak terfokus pada pembicaraan masalah-masalah kemanusiaan di Aceh dan tidak sedikit pun menyentuh soal-soal politik. Namun, pada perundingan tahap kedua, sudah  mulai membicakan masalah-masalah politik, misal, delegasi Indonesia menawarkan  otonomi khusus sebagai solusi untuk Acheh dan GAM menawarkan "pemerintahan sendiri" (self goverment) sebagai solusi untuk Aceh. Namun, untuk pembicaraan lebih lanjut tentang politik untuk solusi terbaik bagi Aceh masa depan,  pertemuan penting ini dilanjutkan pada bulan Mei dan Juli 2005 di Firlandia. Pertanyaannya adalah, apakah mungkin solusi konflik vertikal yang bijaksana dan bermartabat, baik untuk Aceh mahupun Pusat akan dicapai semasa  presiden  Susilo Bambang Yudhoyono? Semoga.                      .                                                                                                     

Komunikasi Politik Dan Media Massa
Berbagai pemahaman mengenai wacana komunikasi politik telah dibahas oleh pakar komunikasi dan politik. Michael Schudson (1997) misalnya. Komunikasi politik menurutnya adalah, any transmission of messages that has, or is intended to have, an effect on the distribution or use of power in society or an attitude toward the use of power.
Astrid (1980), menambahkan bahawa, komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikain rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh kegiatan komunikasi ini boleh mengikat ramai warganya melalui suatu transaksi yang ditentukan bersama. Tambahnya lagi, komunikasi politik merupakan suatu aktiviti pra politik. Melalui aktiviti ini akan terjadi realisasi penghubungan  atau pengkaitan masyarakat social dengan lingkup negara. Di samping itu, tambahnya, komunikasi politik juga merupakan sarana pendidikan politik atau sosialisasi politik dalam hubungannya dengan kehidupan negara. Selaras dengan ini, Sigel (1965), dalam bukunya “Assumption about the learning of political values”, menggambarkan bahawa, political socialization refers to the learning process by wich the political norm and behaviors acceptable to an ongoing political system are transmitted from generation to generation.
Pandangan Sigel ini menggambarkan bahawa, sosialisasi politik bukan hanya mengambil berat pada penerimaan norma-norma politik dan tingkah laku pada system politik yang sedang berlangsung sahaja, tetapi juga bagaimana mewariskan, atau mengalihkan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks inilah pentingnya proses komunikasi politik yang dibentuk, dibangun dan dikelola secara benar dan jujur. Bukan mewariskan kepada generasi berikut nilai-nilai, norma dan budaya-budaya kekerasan, keganasan, kecurigaan, dendam, kebohongan, penipuan, dan budaya rasuah (korupsi).
Maurice (1983) menjelaskan bahawa, kekerasan/kekuatan senjata dalam penyelesaian konflik yang diakibatkan perang, revolusi atau pemberontakan, bukanlah cara penyelesaian konflik politik. Politik berusaha menyelasaikan konflik melalui cara yang tanpa memakai kekerasan senjata (non violence). Kerana itu, cara yang tepat adalah, melalui komunikasi politik yang akana menghasilkan kompromi politik. Kerana komunikasi politik merupakan suatu konsep yang dipakai untuk menjelaskan bagaimana konflik-konflik politik boleh diselesaikan (Maurice, dalam Rush & Althof, 1983).
Proses komunikasi, dalam bentuk apapun, keterlibatan unsur-unsurnya tidak boleh dinafikan. Komunikator, mesej, media dan komunikan, adalah di antara unsure-unsur yang sangat penting terjadinya proses komunikasi. Pakar komunikasi klasik, Wilbur Schram, menyebutkan bahawa, komunikator dan komunikan kedua unsure ini sebagai two separate units, dan mengadakan sktiviti yang terpisah dan berbeza pula, atau two separate acts. Namun, dalam proses komunikasi politik yang terpenting adalah, bukan pada perbezaan fungsi-fungsi yang dimainkan, tepai boleh menumbuhkan suasana saling menguntungkan, samada dalam proses komunikasi face to face, atau proses komunikasi dalam lingkupnegara. Bahkan, boleh melintas batas batas wilayah suatu Negara, atau yang sering dikenal internationale ommunication.
Rusadi (1990), menggambarkan bahawa, komunikasi politik mempunyai fungsi boleh menghubungkan fikiran politik yang hidup dalam masyarakat, samada fikiran intra golongan, institusi, asosiasi, mahupun sector kehidupan politik masyarakat dengan sector politik kehidupan pemerintah.
Komunikator dalam proses komunikasi politik memainkan peranan yang sangat signifikan, utamanya dalam membentuk opini publik (public opinion). Karl Popper, seperti dikutip Novel Ali (1999), mengemukakan bahawa, peran komunikator politik sebagai public opinion, kerana mereka berhasil membuat beberapa gagasan yang pada awalnya ditolak, kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima. Pemegang jabatan kerajaan, dalam konteks ini, terlepas dari, apakah pejabat karir, atau politisi yang dipilih mahupun yang ditunjuk, samada di lembaga eksekutif, legislative, mahupun yudikatif. Mereka haruslah komunikator-komunikator politik. Mereka adalah kaum ideolog yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain. Dalam kaitan ini, hubungan take and give antara komunikator politik (pemerintah), baik sebagai individu mahupun kolektif dengan publik (rakyat) haruslah terbina secara berterusan.
Terjadinya gelombang perlawanan rakyat Aceh  terhadap kerajaan pusat (Indonesia), kerana kurang berfungsinya komunikator politik yang diperankan pemerintah, yang kemudian terjadinya konflik vertikal berkelanjutan. Contohnya, Gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), tahun 1953, yang dipimpin Tgk.M.Daud Beureueh, Gerakan Acheh Merdeka (GAM), tahun 1976, yang dipimpin Tgk.DR.M.Hasan Ditiro.
Selain komunikator dan komunikan sebagai unsur utama dalam proses komunikasi, juga faktor media sangat memegang peranan penting dalam upaya menyampaikan pesan kepada publik, terutama media massa (cetak mahupun elektronik). Effendy (1993), mengungkapkan bahawa, media massa, selain berfungsi sebagai penghibur, pendidik, dan pemujuk, juga berfungsi sebagai pemberi informasi paling penting di alam modern ini. Liliweri (1991) menambahkan, media massa berfungsi membantu kita untuk berhubungan dengan pelbagai kelompok masyarakat di luar masyarakat kita.
Menurut Schramm, seperti dikutip Zulkarimen (1988), mengatakan: media massa secara sendirian ataupun bersama lembaga lain dapat melakukan fungsi-fungsi: sebagai pemberi informasi, pembuatan keputusan, dan sebagai pendidik khalayak.
Dampak, pengaruh dan efek dari suatu pesan yang dikomunikasikan lewat media merupakan masalah yang senatiasa dibincangkan di mana-mana, termasuk dalam konteks komunikasi politik. Hal senada diperkuat lagi oleh Onong (1993:6-7), menurutnya, yang terpenting dalam proses komunikasi ialah bagaimana caranya agar suatu mesej yang disampaikan komunikator itu menimbulkan dampak, atau efek tertentu pada si komunikan (penerima). Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, iaitu: dampak kognitif, afektif, dan dampak behavior. Dampak kognitif, berupa meningkatnya pengetahuan dan intelektualitinya. Dampak afektif, berupa gerakan hati dan meningkatnya perasaan tertentu. Sedang dampak behavior, berupa perubahan perilaku, sikap dan tindakan, atau aktivitas.
Proses penyampaian pesan dapat dijelaskan oleh model komunikasi ulang alik dalam pemamfaatan media untuk menyampaikan  sebuah mesej. Devito (1996:524) mengatakan, proses pesan ulang alik terutama berlaku untuk masa kini, yang medianya merupakan bahagian terpenting dari kehidupan manusia. Selain itu, rasa logis orang yang membuka diri terhadap satu media seringkali juga akan terbuka terhadap media yang lain. Selanjutnya,  kita harus mengasumsikan bahawa interaksi antar pribadi terjadi di antara paparan-paparan medaia. Selama pemaparan ini, samada terhadap media mahupun dalam interaksi antar pribadi, manusia dipengaruhi, atau mempengaruhi yang lain. Namun, perlu diingat bahawa, media massa adalah bahagian dari subsistem dari sistem kerajaan (pemerintahan) dimana media ini beroperasi. Dalam konteks ini, Effendi (1993:87) mengatakan: media adalah sebuah institusi sosial atau institusi kemasyarakatan yang merupakan subsistem daripada sistem pemerintahan di negara mana pun juga beroperasi bersama-sama dengan subsistem lainnya. Kondisi semacam ini, seringkali terjadi distorsi mesej. Kebebasan mendapatkan informasi oleh publik, sering dipolitisir oleh kerajaan untuk kepentingan melegalkan kekekuasaannya. Muller, seperti dikutip Nimmo (1993) menyebutkan bahawa, distorsi ini dengan komunikasi terarah, komunikasi tertahan dan sistem komunikasi terkekang. Pabotinggi (1998) menyebutnya sebagai topeng, projek lupa, representasi, dan distorsi mesej ini sebagai ideologi.

Politik Media Merekonstruksi Realitas
Merekonstruksi realiti, media sering disebut mirror of reality (cermin realiti). Menurut Piliang (2002) bahawa, ketika media diakendalikan oleh berbagai-bagai kepentingan ideologis di sebaliknya, maka ketimbang menjadi refleksi realitas, media sering dituduh sebagai definer of reality, atau “perumus realiti”, sesuai dengan ideologi yang melandasinya. Beroperasinya ideologi politik di sebalik media, tidak boleh dipisahkan dari mekanisme ketersembunyian dan ketidaksadaran, yang merupakan keberhasilan sebuah ideologi.
Praktek  politik bahasa dan kekerasan simbolik, seringkali digunakan oleh media massa dalam merekonstruksi sebuah realitas, utamanya dalam memberitakan isu-isu konflik. Eriyanto (2000), lebih  tegas mengatakan, media dalam memberitakan realitas konflik, samada konflik horizontal, seperti Ambon, dan konflik vertikal, seperti Acheh, Papua, dan Timur Leste (dahulu), media cenderung melakukan praktik politik bahasa, seperti penyebutan Gerakan Separatis Acheh (GSA), Gerakan Pengacau Keamanan Papua, Pengacau Liar, Kelompok Putih, Kelompok Merah, dan seterusnya. Pemakaian kata-kata itu boleh dilihat sebagai sebuah usaha pemaknaan reality melalui kata-kata yang terpilih.
Lull (1998:2), menambahkan bahawa, manipulasi yang dilakukan tanpa henti terhadap maklumat dan imej public membentuk suatu ideologi dominan yang membantu menyokong kepentingan material dan budaya para penciptanya. Para pembuat ideologi dominan menjadi suatu “elit informasi”. Kekuasaan, atau dominasi mereka berasal langsung dari kemampuan mereka untuk mengedarkan  kepada masyarakat sistem ide yang mereka sukai. Kerana itu, ideologi mempunyai kekuatan apabila dilambangkan dan dikomunikasikan, seperti halnya bahasa dan kod-kod komunikasi yang lain dipelajari dan diperkukuh dalam konteks interaksi sosial sehari-hari.
Ideologi juga dibuat menjadi masyhur dan normal dalam pergaulan social yang rutin. Inilah proses mediasi social, dimana gambaran idelogis dan media massa dikenali, diinterpretasi, disunting, dan digunakan oleh khalayak dan konstruksi social mengenai kehidupan sehari-hari.
Berbagai peristiwa yang terjadi menjadi akrab boleh dibuat oleh media, yang jauh menjadi dekat dan sangat bersahabat dengan kita. Demikian pula sebaliknya, yang sangat dekat, boleh pula dibuat lebih jauh oleh media. Giddens (1984) mengatakan bahawa, kejadian-kejadian yang jauh dapat diakarabi bersama oleh media, atau bahkan lebih, dibandingkan dengan kejadian-kejadian yang dekat dan diintegrasikan  ke dalam kerangka pengalaman pribadi. Dalam konteks ini, peraturan-peraturan yang eksplisit (yang mengatur perilaku media) dan inplisit (yang dimediakan) membantu menyusun perilaku social dengan menghubungkan ideologi dengan kekuasaan.
Stuart Hall (1978), menyebutkan bahawa, wartawan dalam meliput, atau melaporkan berita akan dipengaruhi oleh ketergantungan wartawan terhadap penakrif utama (primary definer) tentang suatu peristiwa yang biasanya merupakan jurubicara daripada kepentingan kelas elit, seperti polis, peguam, ahli politik, hakim, dll. Bagi jurnalis, dengan mendasarkan laporannya melalui komen-komen pentakrif utama tersebut, maka jurnalis berharap pendapat atau laporan yang ditulis lebih dapat dipercaya kerana mengambil kira sumber-sumber yang mempunyai otoriti.
Budiman, membenarkan, bahawa media tidaklah bersifat neutral. Misal, atribut-atribut tertentu dari media dapat mengkondisikan mesej-mesej yang dikomunikasikan. Sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan, “the medium is the message”. Media itu sendiri adalah mesej. Apa saja yang dikatakan, ditentukan, secara mendalam oleh medianya. Terlebih lagi, jika disedari bahawa, disebalik pesan-pesan yang disalurkan lewat media niscaya tersembunyi berbagai mitos. Dan mitos sebagai system signifikasi, mengandung muatan ideologis yang berpihak kepada kepentingan mereka yang berkuasa (Budiman, dalam Alex Sobur, 2001).
Seringkali media dalam merekonstruksi realitas. Realitas kebenaran dimanipulasi. Sehingga kebenaran hanya menurut media sendiri. Sebagaimana yang dikritik oleh Abrar, mengutip pandangan Watson, dalam mengulas perilaku media, katanya, konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa sendiri (Abrar, 1995:59).
Merekonstruksi realiti dalam berbagai-bagai dimensi peristiwa aktuil, adalah tugas media. Bukan memanipulasi realiti yang sebenar menjadi sebuah realiti yang semu. Sehingga, mendatangkan kebingungan dan kebimbangan-kebimbangan. Alex (2001) mempertegas lagi bahawa, tugas media pada  hakikatnya adalah mengkonstruksikan realiti. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai-bagai realiti yang dipilihnya, antaranya, realiti politik. Dalam konteks ini, Amiruddin (2002), mengatakan bahawa, hegemoni yang dilakukan media secara sedar atau tidak, telah melahirkan kekerasan  terhadap masyarakat secara halus. Kekerasan inilah yang melalui media massa moden telah menjadi wacana tersendiri yang dikonstruksi dan didekonstruksi melalui proses pertarungan kepentingan antar berbagai-bagai pihak yang memegang hegemoni media.
Dalam konteks hegemoni, media menjadi arena kritis dan dilematis yang sentiasa diperebutkan oleh mana-mana pihak menjamin legality dan kekuasaannya secara berketerusan. Charlotte Ryan, seperti yang dikutip Nugroho (1999) mengatakan, media menjadi arena kritis dari pertarungan dan gerakan social, menempatkan media pada peran menentukan erti penting isu-isu di hadapan khalayak. Tetapi peningkatan perhatian itu sendiri bukanlah gerakan social, akan tetapi lebih pada penafsiran yang menampilkan pandangan atas realiti agar didukung oleh ramai orang.
Lebih menarik lagi, apa yang digambarkan Yasraf (2002:212), bahawa apa yang direkonstruksi media terhadap realiti-realiti yang ada, dikeranakan perkembangan teknologi media, yang disebut “teknologi simulasi”(simulation technology). Simulasi, sebagaimana yang dijelaskan Baudrillard, di dalam Simulations, adalah “…penciptaan model-model kenyataan  yang tanpa asal usul, atau referensi realiti-hiper realiti”. Simulasi media (media simulation) adalah penciptaan “realiti media”, yang tidak lagi mengacu pada realiti di dunia nyata sebagai referensinya, dan kini ia menjelma menjaadi semacam “realiti kedua” (scond reality), yang referensinya adalah dirinya sendiri. Bahasa atau kod-kod dalam media, seolah-olah merefleksikan realiti yang sesungguhnya, apadahal ia adalah “realiti ertifisial”, iaitu: realiti yang diciptakan lewat teknologi simulasi sedemikian rupa, sehingga pada peringkat tertentu realiti media ini tanpak (dipercaya) sebagai sama nyatanya, atau bahkan lebih nyata dari realiti yang sebenarnya.


Ideologi Dan Hegemoni Media
          Ideologi, sebuah ungkapan untuk menggambarkan nilai dan agenda public dari suatu Negara, kelompok agamis, perhimpunan politik, tidak terkecuali institusi bisnis. Namun, istilah itu sering berhubungan antara informasi (maklumat) dan kekuasaan social dalam kaitan ekonomi-politik berskala makro. Dalam konteks ini, metodologi berfikir yang terpilih dan didukung melalui pelbagai saluran (media) oleh mereka yang mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi dalam kalangan public.
Ideologi, menurut Lull (1998) adalah, fikiran yang tersusun, menyangkut dengan nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi, sehingga membentuk perspektif-perspektif idea. Smith (1990), menambahkan, ia adalah serangkaian rujukan yang dimiliki bersama oleh komuniti social-politik. Berikutnya, bahawa dengan ideologi inilah orang memberi makna pada realiti-realiti social.
Terkait dengan media, Lull (1998:2) berkata: manipulasi yang dilakukan tanpa henti terhadap maklumat dan imej public membentuk suatu ideologi dominan yang kuat, yang membantu menyokong kepentingan material dan budaya para penciptanya. Para pembuat ideologi dominan menjadi suatau “elit informasi”. Kekuasaan atau dominasi mereka berasal langsung dari kemampuan mereka untuk mengedarkan kepada masyarakat system idea yang mereka sukai. Kerana itu, ideologi mempunyai kekuatan apabila dilambangkan dan dikomunikasikan.
Hall (1977) mengatakan bahawa, media massa adalah perkaks bagi representasi ideologi. Hall, menambahkan, hegemoni adalah dominasi dan subordinasi pada bidang hubungan yang distrukturkan oleh kekuasaan. Terkait dengan ini, media massa adalah alat yang digunakan oleh elit berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan, kekayaan, dan status mereka, dengan mempopularkan falsafah, kebudayaan dan morality mereka sendiri. Hegemoni bukanlah suatu stimuli fikiran atau aksi yang langsung, melainkan suatu susunan dari semua definisi yang saling bertanding mengenai realiti ke dalam jangkauan kelas dominan, dengan membawa semua alternatif ke dalam kerangka pemikiran mereka.
Subandi (2001) menambahkan bahawa, seluruh kerja jurnalistik akhirnya akan menjadi pemberitaan realiti social yang dipilih wartawan seluruhnya menjadi ajang konvergensi pertarungan ideologi dan kepentingan yang sebenarnya dikonstruksi oleh segelintir orang, yang dalam hal ini adalah pemilik modal, atau yang secara alangsung berkepentingan mengontrol pelaku linguistik media massanya.
Piliang (2000), menggambarkan bahawa, ketika pemberitaan jurnalaistik hanya bersandar pada ideologi media, maka objektifiti media sangat rentan terhadap bias berita. Kerana itu, untuk mengukur objektifiti sebuah berita, sangatlah tergantung dari ideolgi yang dianut sebuah media, kerana batasan antara objektifiti dan subjektifiti pengetahuan di dalam media massa sesungguhnya dibatasi oleh dinding “ideologi” yang sangat tipis.
Proses hegemoni, seringkali diapresiasi secara halus dan lunak, padahal praktik ini bahagian dari represi kekuasaan yanh hipokrit dan otoriter. Imawan (2002), menggambarkan bahawa, hegemoni pada hakikatnya merupakan bentuk represif  kekuasaan yang bercirikan lunak atau halus (subtle), dengan mengandalkan kepemimpinan moral dan intelektuil serta bersifat aktif.
Hegemoni tidak akan dicapai melalui coersive power, tetapi diskursus sistematik (bahasa), terarah dan berkelanjutan untuk memenagkan penerimaan public secara sukarela akan sebuah gagasan atau rezim. Politik wacana memainkan peranan penting dalam meletakkan dasar-dasar hegemoni. Gramsci, seperti dikutip  Piliang (2000) mel;ukiskan bahawa, hegemoni boleh dicapai dengan kombinasi antara kekuatan dengan penerimaan public. Public concern ini diekspresikan melalui apa yang disebut mekanisme opini public, khasnya lewat media massa.
Fakhrurrazi (2002), dalam kajiannya menemukan bahawa, ideologi dan hegemoni sangat mempengaruhi sikap jurnalis dalam mengemas berita, dan berita yang dihasilkan pun penuh dengan dominasi untuk mempengaruhi opini dan memaksa penerimaan opini itu secara halus, atau tidak disedari oleh pembaca. Media akan menyajikan kemasan berita (new package) berdasarkan ideologi yang dianut media. Beliau mencontohkan, peristiwa 11 September 2001, yang menghancurkan gedung World Trade Centre (WTC), yang merupakan simbol kedigjayaan ekonomi Amerika, dan Pantagon sebagai symbol keperkasaan pertahanan negeri Pamansam itu. Berita peristiwa itu yang disajikan medaia-media Amerika dan Barat berdasarkan pertimbangan ideologi yang dianut media Amerika, yang melaporkan salahsatu kalimat yang mencerminkan ideologi mereka, missal, …”terorisma apapun bentuknya harus dihapuskan…”. Sementara media-media yang ada di kawasan Timur, yang mayoriti muslim, menyajikannya berdasarkan ideologi yang berbeza pula. Dalam konteks ini, pertarungan ideologi dan kepentingan-kepentingan mempengaruhi orientasi dan sudut pandang pemberitaan suatu media.
Hidayat (2001) mempertegas lagi bahawa, ideologi media dengan demikian tidak hanya ada di benak dan minda para pekerja indutri media, teatapi melekat dalam struktur industri yang dijalani dalam keseharian para pekerjanya.
          Berdasarkan beberapa pandangan dan kajian di atas, tanpaknya agak sulit mengharapkan media massa berada pada posisi yang neutral, adil, jujur, dan berpihak pada kebenaran (data dan fakta), ketika melaporkan peristiwa dan isu-isu konflik politik dan kemanusiaan, seperti halnya di Acheh. Ideologi dan hegemoni kerapkali menghantui kerja jurnalistik yang sentiasa menhambat kemerdekaan pekerja pers. Intervensi kekuasaan (secara halus atau kasar) sentiasa mempengaruhi kridebiliti dan kualiti pelaporan sebuah peristiwa. Jurnalisme damai (peace journalism) yang diharapkan muncul kepermukaan dalam kerja-kerja jurnalistik di daerah konflik, justeru boleh berubah menjadi praktik jurnalisme perang (war journalism).

Berita Dan Aspirasi Media
Beberapa pakar media mencoba memberi batasan tentang berita. Charnley, misalnya, mengatakan bahawa, berita sebagai laporan tercatat mengenai fakta pendapat (opinion), yang sangat penting dan menarik, atau kedua-duanya bagi sejumlah besar orang. Menurut Spencer, berita adalah suatu kenyataan atau idea yang benar dan dapat menarik perhatian sebahagian besar pembaca. Sementara Bleyer, mentakrifkan berita sebagai sesuatu yang termasa yang dipilihwartawan untuk dimuat, kerana dapat menarik, atau mempunyai makna bagi khalayak (Assegaff, 1985:23-24).
Fakta bukanlah semuanya termasuk berita, tanpa didasarkan pada keaktualan (timeness), dapat dipublikasikan (publicity), dan ketertarikan manusia (human in terest). Masri (1990) mengatakan bahawa, berita adalah apa yang surat kabar cetak, apa yang juru hebah baca. Berita terdiri daripada fakta-fakta, tetapi tidaklah semua fakta dianggap berita. Berita biasanya tentang manusia, tentang orang. Tetapi tidak setiap orang mempunyai nilai-nilai berita tentang dirinya yang menarik perhatian orang lain. Berita adalah apa yang berlaku dalam dunia. Dalam sehari sahaja, berbilion-bilion berita, peristiwa dan kejadian berlaku dalam dunia. Tetapi hanya sebilangan kecil daripada peristiwa dan kejadian harian yang biasanya dilaporkan.    
Rakhmat (1997:228), menambahkan bahawa, berita tidak lagi merupakan sekumpulan mesej dalam satu format tertentu. Ianya telah menjadi sebuah drama kemanusiaan, membentuk lakon-lakon social, membangun satu fenomena social dan politik, sehingga kegiatan politik bukan lagi mekanisme abstrak yang mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output), tetapi telah menjadi kisah pertarungan manusia melawan kekusahan dan upaya manusia untuk menaklukkan penderitaan.
Sudah menjadi anggapan umum (convension) di kalangan jurnalis, bahawa dalam membuat berita mesti menggunakan formula 5W (who, what, why, when, where) 1H (how). Dengan formula ini, maka terlihat jelas kemana aspirasi media aka tertuju. Apakah keberpihakannya kepada publik, atau membela kepentingan-kepentingan tertentu. Selalunya, berpihak kepada penguasa atau perusahaan tempat akhbar itu dibesarkan. Persoalannya adalah, bagaimana aspirasi media ketika berada di daerah berkecamuknya konflik, seperti di Acheh.
Berbagai kepentingan dan pengaruh senantiasa mewarnai posisi media di daerah konflik, terutama bagi pihak-pihak yang bertikai. Sehinggalah aspirasi media selalu berimbas pada posisi yang tidak menguntungkan. Terkadang, boleh merugikan publik dan media itu sendiri. Beberapa kes kekerasan dan pembunuhan terhadap pekerja pers daerah konflik telah berpengaruh pada idealisme asperasi media massa.

Posisi Media Massa
Posisi media massa dalam percaturan dinamika pembangunan dan kehidupan sangatlah strategis. Bukan saja dapat merekonstruksi perubahan-perubahan dalam berbagai dimensi, tetapi dapat pula mewarnai kultur sosial. Bahkan dapat mengontrol perkembangan dan kebijakan politik yang sedang dimainkan. Maka tidaklah berlebihan ketika pers (baca: media massa) disebut the fouth state oleh pakar politik dan media massa, disamping kekuatan eksekutif,legislatif, dan yudikatif dalam sebuah negara.
Masalahnya adalah, begitu strategisnya posisi pers, bagaimana posisi pers ketika berada di wilayah konflik, seperti Aceh. Apakah kejujuran, kebenaran, dan indepedensinya masih mampu dipertahankan.Namun, teori mengatakan lain, bahwa bila salahsatu pihak bisa menguasai 50% lebih media massa, maka telah berjaya memenangi setengah dari peperangan di lapangan. Dalam kondisi semacam ini, media massa di wilayah konflik lazimnya cendrung, kalau bukan kepada peace journalism, sudah tentu ke war  journalism.
              Ada tiga kategori posisi media ketika berada di wilayah konflik, pertama, issue intensifier (posisi media yang memunculkan isu , atau konflik dan mempertajamnya). Kedua, conflict deminisher (menenggelamkan suatu isu, atau konflik yang dilakukan secara sengaja). Ketiga, media sebagai conflict resolution (media menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif yang mengarahkan  pihak-pihak yang bertikai untuk mahu duduk bersama membahas perdamaian boleh mencari solusi-solusi bijak tentang konflik).
Menjawab, bagaimana posisi media di daerah konflik(Acheh), simak peristiwa-peristiwa kejahatan kemanusiaan ini. Pembunuhan Ersa Seregar, wartawan Rajawali Citar  Televisyen Indonesia (RCTI), ketika meliput peristiwa konflik di Acheh. Beliau ditembak oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Peristiwa ini diakui sendiri oleh Kepala Kesatuan Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Ryamizard Ryacudu, bahawa peluru pencabut nyawa Ersa berasal darai TNI. Menurutnya, kematian reporter RCTI itu adalah resiko wartawan perang di medan tempur yang sedang bergejolak (Serambi Indonesia, 31 Desember 2003).
Demikian pula penahanan Very Santoro, kameramen (wartawan foto) dari media yang sama (RCTI) oleh Gerakan Acheh Merdeka (GAM) (Waspada, 8 Januari 2004). Berikutnya, penembakan mobil (kereta) klepunyaan dua wartawan  Metro TV dan wartawan foto akhbar harian Media Indonesia yang sedang meliput berita di Desa (Kampung) Blang Mane, Peusangan, Kabupaten Bireuen, oleh kelompok bersenjata (Harian Waspada, 25 Mei 2003), adalah jawaban-jawaban, bagaimana sebenarnya posisi media ketika meliput konflik, sangat dilematis!

Peace Journalism
Adalah Johan Galtung yang pertama kali mempopulerkan istilah peace journalism, bersama pakar media, akademisi dan pemerhati perdamaian. Ide ini muncul dalam suatu forum kuliah musim panas di Universiti Birmingham, Inggris, tahun 1997, dengan tajuk Conflict and Peace Forum. Di antara peserta yang ikut ambil bagian dalam kuliah ini  beberapa pakar perdamaian, praktisi pers, dan beberapa mahasiswa dari Negara-negara Eropa, Afrika, Asia dan AS, yang diselingi dengan berbagai perdebatan (Galtung, 1998).
Kemuakan, kejenuhan dan rasa kesal dari pekerja-pekerja pers, akademisi dan publik, adalah bagian dari indikator penting munculnya ide peace journalism  sebagai protes terhadap sajian-sajian  perang dan kekerasan oleh media massa yang dianggap sebagai sajian hiburan (intertainment). Kekesalan dan kemuakan yang paling memuncak, ketika Amerika dan sekutu-sekutunya melakukan Operasi Badai Gurun di Teluk. Cable News Network (CNN) misalnya, membuat siaran langsung yang disajikan detik demi detik peperangan tahun 90-an tersebut.
Saat itu semua media menjagokan Amerika sebagai polisi dunia dan seluruh kompanye negative ditimpakan kepada presiden Irak, Saddam Husein yang dianggap sumber likmalapetaka. Padahal ketidakseimbangan kekuatan antara Irak dan Amerika yang dibantu oleh sekutu-sekutunya. Sama halnya apa yang terjadi masa sekarang di Irak. Media massa (baik cetak mahupun elekronik) karena ingin mendapatkan hadiah Pulitzer sebagai symbol prestise, menafikan realitas objektif di lapangan. Ironisnya lagi, jarang media massa membela dan menyiarkan secara langsung dan berketerusan terhadap korban pihak-pihak yang tidak terlibat samasekali dengan konflik dan peperangan. Pengeboman tempat-tempat sipil dan barak-barak pengungsi oleh serdadu, seharusnya mendapat forsi dan space yang memadai dari pers. Dengan kata-kata, gambar-gambar dan ulasan-ulasan yang menyentuh hati dan perasaan setiap public (pembaca dan pemirsa) media massa. Ulasan dan tayangan-tayangan tersebut dapat membentuk prilaku kolektif rasa  senasib, iba, rasa  kasihan, solidarity dan aksi-aksi saling membantu. Ketrampilan menggunakan prinsip-prinsip peace journalism ini oleh pekerja-pekerja pers merupakan bagian dari art journalism (lihat: A.Muis,2001).
Definisi (takrif) yang sesuai dengan peace journalism ini memang belum banyak terdapat  dalam literatur-literatur jurnalistik dan kewartawanan. Namun, Jake Lynch dan Annababel McGold Rick, mencoba memberi takrif secara lebih umum, peace journalism sebagai melaporkan kejadian dengan bingkai (frame) yang lebih luas, lebih berimbang, dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan yang terjadi (Haryanto, LSPP, 2001).
Lukas dan Solahudin (2000), menyebutnya sebagai sebuah konsep yang menggaris bawahi kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan struktur kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik, atau perang.  
Dalam konteks jurnalisme damai, yang diperhatikan adalah, kekakuratan, keberimbangan dan keobjektifan sebuah berita, selain menghindari dari pemakaian-pemakaian bahasa yang bermakna ganda yang dapat mengaburkan realiti. Jurnalisme damai, mendasarkan pada jkurnalisme moden, yang berpegang pada objektifiti berita, yang komponennya terdiri imparsialiti dan faktualiti. Kemudian dilengkapai dengan prinsip-prinsip yang bertujuan menghindarkan konflik dan kekerasan di dalam masyarakat. Makanya, jurnalisme ini menganjurkan wartawan jangan menjadi bahagian dari pertikaian, melainkan haraus menjadi bagian dari upaya solusi. Pers tetap mempunyai tanggung jawab moral terhadap kebenaran informasi yang tidak boleh dilihat hanya dari satu pihak, tetapi harus ditransformasikan kebenaran menurut pihak lain (Subiyakto, 2001).                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              
                               pers daerah konflik telah berpengaruh pada idealisme asperasi pers. di Acheh.Memetakan (maping) persoalan, mengidentifikasi berbagai-bagai pihak yang terlibat, baik secara langsung mahupun tidak, mengungkap dan menganalisis aspirasi dan agenda mer+ka. Sehingga tidak terpengaruh dengan bias informasi yang diterima satu pihak, merupakan fungsi dan tugas jurnalisme damai.
Galtung (1998), mengatakan bahawa, prinsip jurnalisme damai adalah ingin menghumaniskan semua pihak yang bertikai dan tidak melakukan demonisasi terhadap kelompok tertentu, yang dalam jurnalisme perang, sentiasa direduksi menjadi dua pihak yang bertikai. Maka, jurnalisme damai harus melihat dan memberi forsi yang sesuai terhadap pihak yang bertaikai. Ertinya, tidak hanya dua pihak sahaja, namun sebenarnya dalam perang selalu sahaja ada pihak-pihak yang termarjinalkan. Dan, tidak melakukan praktik demonisasi, tapi harus menmghumaniskan semua mereka. Lebih jauh, Galtung berucapa bahwa, jurnalisme saat ini kebanyakan mengabaikan bagaian penting dari cerita, bagaimana konflik boleh ditransendenkan. Konteks ini merupakan tesis utama Galtung. Dia melihat, banyak media  yang memberitakan konflik ibarat sebuah laporan tentang berjangkitnya penyakit yang tak pernah mempertimbangkan bagaiman cara merawat, atau menyembuhkannya.
Terjangkitnya penyakit kolera misalnya, bolehkah dianggap lengkap, jika jurnalis hanya menjabarkan secara singkat kesengsaraan penderita, jumlah penderita yang meninggal, namun, mengabaikan segala sesuatu yang mungkin dapat menghentikan epidemic penyakit tersebut.
Terkait dengan tesis Galtung ini, Amiruddin (2002), menilai bahawa, jurnalisme damai harus menjadi sebuah paradigma, platform, acuan, atau roh yang berada di tingkat spirit dalam proses penyelenggaraan  kegiatan jurnalisme. Ditambahkan bahawa, ketika mewartakan reportase konflik, jurnalisme damai tidaklah semata-mata terfokus pada hal-hal yang bersifat dekoratif, seperti harus cover both side, menilai sudut bidik berita yang tepat, tidak memuat gambar yang sadis, pilihan lead/intro (pokok fikiran) berita yang relevan dengan kata-kata yang tidak bombastis terhadap semua peristiwa pertikaian, kerusuhan, kejahatan, pembunuhan, dan berbagai-bagai peristiwa kekerasan lain sebagai akibat konflik.
Ashadi (2001), menambahkan bahawa, jurnalisme damai tetap bertumpu pada fakta. Tetapi konsep kelayakan informasi ditetapkan dalam tataran ruang public yang didominasi anomali. Dalam tataran anomali, perhatian ditujukan pada fakta yang mengandung nilai humaniti dan kultural.
Sebagai sebuah paradigma, frame, dan acuan dalam peliputan konflik, maka, jurnalisme damai boleh menjadi platform, nilai, tradisi dan kod etik bagi jurnalis dan pekerja pers dalam meliput, menganalisis, dan melaporkan isu-isu konflik. Walaupun konflik itu sendiri sering menguntungkan media.
Bagi Dedy N. Hidayat (2001), beranggapan bahwa, konflik selalu menguntungkan media. Sebab media justru diuntungkan oleh krisis dan dirugikan oleh segala sesuatu yang berjalan normal. Deddy agaknya lupa, bahwa fungsi dan peran media adalah, di samping memberi informasi yang benar, pendidikan, hiburan. Juga berfungsi sebagai kekuatan control social. Apalagi di daerah konflik, fungsi yang terakhir ini sangat urgen untuk dimunculkan. Bukan menngambil untung diatas penderitaan orang lain. Aksi-aksi semacam ini sangat bertentangan dengan Kode Etik dan indepedensi kaum jurnalis itu sendiri dan prinsip-prinsip HAM.
Media harus mampu mengkritisi, mengevaluasi dan menawarkan solusi setiap kebijakan dan propaganda yang berkembang. Apalagi di wilayah-wilayah konflik, seperti di Aceh. Jangan ikut-ikutan menabuh genderang perang. Beritakan peristiwa-peristiwa berdasarkan data dan fakta, jangan menjadi alat propaganda dari pihak bertikai. Berapa orang yang terbunuh, siapa-siapa, di mana, kapan dan bagaimana (5W+1H). Jangan hanya  diberitakan yang ditembak itu TNA dan TNI, bukan sipil. Padahal jelas-jelas masyarakat biasa tanpa senjata. Berita itu pun masih miring, TNA selalu terbunuh, sedang TNI hanya luka-luka biasa. Sipil yang juga setiap hari kehilangan nyawa, harta benda, kecemasan, stress, gila dan gangguan psikologis berkepanjangan, hampir-hampir luput dari pemberitaan media massa. Simak misalnya, hasil polling yang diadakan Tabloid Kontras mengenai harapan warga kota Banda Aceh terhadap pemberitaan pers dengan 136 responden. Sebanyak 43,38% mengharapkan pers menonjolkan penderitaan korban, 34,56% menginginkan penonjolan insiden dan penderitaan koban, hanya 11,76% saja yang menginginkan penonjolan insiden dan 10,30% pers menonjolkan pernyataanpihak-pihak bertikai (KIPPAS,2002).           
Hasil Polling ini menggambarkan, betapa besarnya harapan masyarakat agar pers berpihak kepada para korban. Hanya sebagian kecil saja (11,76%) yang menginginkan pers memberitakan insiden. Bahkan lebih sedikit lagi yang hanya mengharapkan komentar pihak-pihak berperang (10,30%).
Akhbar-akhbar harian dan mingguan, mahupun tabloid-tabloid di Aceh, seperti Harian Serambi, tabloid Kontras, Bedoh, dll. Merupakan bagian dari kekuatan yang sedang bertarung di antara pihak-pihak yang bertikai. Tekanan-tekanan terhadap media dan jurnalis telah menjadi bahagian dari konflik itu sendiri. Penyandraan dan pembunuhan Ersa Siregar (30 Desember 2003) salah seorang wartawan senior Rajawali Citra Televisi indonesia (RCTI),adalah bagian dari tekanan, terror dan intimidasi terhdap pekerja pers.Ruang (space), masa dan kebebasan, seakan-akan hanya milik pihak-pihak yang bertikai. Penembakan Ersa juga pelecehan terhadap profesi mulia kewartawanan.
Pengakuan KSAD, Ryamizard Ryacudu (diluar kebiasaa) bahwa peluru pencabut nyawa Ersa itu berasal dari TNI. Menurutnya, kematian reporter RCTI itu adalah resiko wartawan perang di medan tempur yang sedang bergejolak (Surabaya Post, 31 Desember 2003).
Peristiwa pembunuhan Ersa Siregar ini benar-benar menjadi ujian bagi pekerja-pekerja pers. Apakah berani membuat investigasi, meliput, mengolah data dan mempublikasi secara transparan kepada public, atau menyerah dan pasrah dalam ketakutan. Berita-berita korban konflik dari orang-orang yang tidak bersalah tidak berani diliput dan dipublikasikan. Bagaimana jika yang korban tersebut rakannya sendiri…???.           
Akhbar lokal yang populer di Aceh sekarang adalah Harian Serambi Indonesia, disamping akhbar Harian Waspada Medan. Isu-isu konflik Aceh sebagai konsumsi akhbar-akhbar lokal dan nasional akhir-akhir ini sedang merebut tempat dengan isu-isu pemilihan umum (pemilu) yang  berlangsung April 2004. Misalnya, berita-berita yang diturunkan Harian Serambi pada hari jum’at 19 Desember 2003, hanya dua tempat yang menyentuh dengan konflik. Halaman muka dengan dengan judul : KOOPS SELAMATKAN SUPIR KRU RCTI. Dan pada halaman 6 dengan judul: 20.000 WARGA DEKLARASIKAN GEURASA (Gerakan Rakyat Anti Separatis). Dekian pula Tabloid-tabloid, seperti Kontras No.271, 18-24 Desember 2003, laporannya tidak menyentuh samasekali dengan berita-berita konflik Aceh. Bahkan lebih banyak menurunkan berita-berita pemilu dan penangkapan Saddam Husein. Bagaimana dengan Tabloid Bedeh? Juga sama, misal, edisi 8, 19 Nopember-3 Desember 2003, hanya laporan utama saja yang menyentuh konflik dibawah judul: SOLIDARITAS ACEH-PAPUA KECAM PERPANJANGAN DARURAT MILITER DI ACEH. Selebinya hampir semua halamannya menurunkan berita-berita seputar pemilu di Indonesia, terutama di wilayah Aceh dalam kondisi Darurat Militer. Meskipun ulasan-ulasannya menolak pemilu di Aceh dengan alasan tidak demokratis kerana Aceh dalam status Darurat Militer.
Dengan gambaran berita-berita yang diturun akhbar harian dan Tabloid-tabloid di atas, terlihat bahwa ada kecendrungan media massa menggeser posisinya dari hirukpikuk larut dalam berita-berita konflik ke posisi isu-isu semasa. Namun, prinsip-prinsip jurnalisme damai (peace journalism) masih belum sepenuhnya dilaksanakan. Nasib para korban konflik, anti kekerasan, menyerukan perdamaian, mencegah peperangan dan perang lanjutan sebagai muatan peace journalism tetap terabaikan.         

War Journalism           
Journalisme Perang atau war journalism, kebalikan dari peace journalism dan prinsip-prinipnya pun sangat kontradiktif pula. Jurnalisme Perang ini lebih banyak dipraktekkan hanya untuk mencari keuntungan finasial semata-mata, dengan menaikkan tiras atau oplah media. Berita-berita yang disajikan sentiasa bernuansa kekerasan dan sangat vulgar, bersifat propaganda dan ikut serta menabuh gendrang perang.
Eriyanto menyebutkan, journalisme perang lebih beroreintasi pada menang-kalah (zero-sume oriented);dampak yang dapat dilihat (dampak fisik);membagi pihak yang bertikai menjadi dua kubu yang bermusuhan; cendrung memburukkan lawan dan menghumanis kan kelompok “kita”; harus jelas pemenang dan pecundang (Eriyanto, 2001).
  Journalisme Perang lebih terfokus pada arena konflik, situasi kacau, perang dan kekerasan. Fakta dan data ditutup-tutupi, sebab akibat hanya sebatas konflik, terbatas hanya pada dampak fisik (pembunuhan, berapa korban, luka-luka dan kerugian materi). Menyebut nama pelaku kejahatan dan kelompoknya di pihak “mereka” saja. Lebih banyak berorientasi pada elit ketimbang rakyat jelata, menyembunyikan kebenaran dan inisiatif perdamaian dan terlena dengan stabilitas masyarakat yang terkendali. Dan masih banyak hal-hal lain yang sentiasa kontra dengan keinginan dan inisiatif-inisiatif yang mengacu kepada perdamaian, keadilan, kemanusiaan dan demokratisasi.
Journalisme Perang sering ditampilkan media massa lewat penggunaan bahasa-bahasa berita yang bombastis, hiperbolik, dan sensasional. Terkait dengan konteks ini, telah dilakukan penelitian yang cermat oleh sdr Fakhrurrazi, mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Aceh terhadap akhbar Harian Serambi Indonesia terbitan 1 April-12 Mei 2002, dengan menggunakan metode Content Analisis terhadap bahasa berita konflik Aceh di Harian Serambi Indonesia. Hasilnya mengambarkan bahwa akhbar Harian Serambi Indonesia orientasi pemeberitaannya cendrung pada War Journalism, dengan rincian, dari 53 berita yang diriset ditemukan sebanyak 47 pokok berita (88,67%) memuat kekerasan simbolik, artinya hanya 6 pokok berita (11,32%) saja yang tidak termuat kekerasan simbolik. Demikian pula, masalah sumber-sumber berita yang didominasi oleh kalangan elit RI dan GAM, masing-masing: TNI/POLRI (militer) ditemukan 43 pokok berita (81,13%). GAM sebanyak 41 pokok berita (77,35%).
Deskripsi ini menunjukkan bahwa akhbar Harian Serambi Indonesia menyediakan space yang lebar kepada pihak bertikai (RI dan GAM) untuk saling menghujat, memfitnah, menghadu domba dan propaganda. Imbasnya adalah terjadi kebingungan-kebingungan dari public pembaca, siapa sebenarnya yang benar dan harus diikuti. Kondisi semacam ini memang dapat dipahami, bagaimana posisi media massa dan pekerja pers yang sentiasa dibawah tekanan moncong senjata.
Penembakan Ersa Siregar reporter RCTI (Berita Harian, 1 Januari 2004), barangkali boleh menjadi analisis dan gambaran bagaimana kondisi dan posisi pekerja pers ketika meliput berita-berita konflik. Di satu sisi, ingin bertindak sesuai dengan fitrah kewartawanan, di sisi lain, berhadapan berbagai kemungkinan yang kadang-kadang boleh merenggut nyawa.

Penutup      
            Konflik Acheh terjadi dalam eskalasi yang panjang dengan kerajaan pusat (Jakarta), yang kemudiannya konflik ini lebih dikenal dengan konflik vertikal. Konflik Acheh dengan kerajaan pusat ini, disamping telah berjalan dalam masa yang lama, konflik ini pula, telah menembus berbagai lintas batas, baik kemanusiaan, social, politik, ekonomi, budaya, hukum, HAM, pendidikan. Bahkan, agama sekalipun.       
            Intimidasi, terror, penganiayaan, penghilangan, pembakaran, pemerkosaan, perampasan. Bahkan, pembunuhan secara sadis, adalah peristiwa-peristiwa mengerikan sepanjang eskalasi konflik vertikal ini. Sehingga konflik vertikal ini telah mengarah kepada kekerasan-kekerasan kemanusiaan. Terkait dengan konteks ini, proses penyelesaiaannya pun dengan pelibatan semua komponen public, baik lokal, nasional mahpun international, termasuk komponen media massa.  
            Keberadaan media massa di wilayah-wilayah konflik, seperti Acheh, memang sangat dilematis. Di satu sisi, dituntut independent, idealis, neutral dan berpihak kepada kebenaran (fakta). Tetapi di sisi lain, media massa sentiasa berhadapan dengan pihak berkonflik, yang justeru menggunakan senjata, sebagai simbol kekerasan-kekerasan yang mereka lakukan. Pembunuhan Ersa Seregar, wartawan Rajawali Citra Televisyen Indonesia (RCTI) dalam eskalasi konflik di Acheh misalnya, adalah sebagai sampel kekerasan pihak berkonflik terhadap pekerja pers (media massa). Maka, dalam konteks ini, posisi media massa di wilayah-wilayah konflik sentiasa cenderung menggunakan prinsip dan etika jurnalisme damai (peace journalism) atau perang (war journalism).  

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Ibrahim, 1987, Perang di jalan Allah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Al-Chaidar, 1998, Aceh Bersimbah Darah, Pustaka Al-Kausar, Jakarta.
Agus Sudibyo, 2001, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa, ESAI, Jakarta.
Alo Liliwery, 1991, Memahami Komunikasi Dan Peran Komunikasi Massa Dalam Masyarakat, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Anderson B, 1991, Imagined Communities: Reflections on the Orogin and Spread of          Nationalism. London, New York: Verso.
Amiruddin, 2002, Paradigma Jurnalisme Damai, Harian Suara Merdeka, semarang.
Astrid S, 1982, Komunikasi Kontemporer, Bina Cipta, Bandung.
Anthony Giddens, 1984, The Constitution of Society, Cambridge, Polity Press.
Abdullah Z, 2001, Internal Conflict and State Making: Fatalisme Dunia Ketiga, Jakarta.
Alex Sobur, 2001, Analisis Teks Media Massa, Rosdakarya, Bandung.
Dedy N, Hidayat, 2001, Media Sang Penabuh Genderang, Kompas, 30 Sept 2001.
Joseps Devito, 1996, Komunikasi Antar Manusia, Jakarta, Books.
Novel Ali, 1999, Peradaban Komunikasi Massa, Remaja Karya, Bandung.
Onong, 1993, Dinamika Komunikasi, Remaja Rosda Karya, Bandung.
------------------, 1993, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bhakti, Bandung.
Fakhrurrazi, 2002, Media Massa di Daerah Konflik: antara Jurnalisme Damai Dan Perang. IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.
Hurgronje, Snuock, 1908, The Acehnese, Terj.A.W. S. Sulivan, Vol.L.,aiden, E.J.Brill.
Sjamsuddin, Nazaruddin, 1990, Pemberontakan Kaum Republik, Temprit, Jakarta.
 Sudibyo, Agus, dkk., 2001, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka agama di Media     
Massa, ISAI, Jakarta.
Smith, 1990, A Europe of Nation or The Nation of Europe, Peace Research, Vol 30, No 2.
Stuart Hall, 1978, Culture, Media and The Ideological Effect, Edward Arnold, London.     
Nugroho, Bimo, 1999, Politik  Media Mengemas Berita, ISAI, Jakarta.
Galtung, Johan, 1998, The Peace Journalism Option, Trancend Peace and Development Network, Taplou, Inggris.
Prasetyo, Adi, Stanley, 2001,Makalah seminar; Resolusi Konflik Melalui Jurnalisme Damai, 19 April 2001, Yayasan KIPPAS, Medan, dimuat di Jurnal Kupas, No.2 Vol 3.
Siregar, Ashadi, Jurnalisme Damai: Resolusi Konflik, dimuat dalam Jurnal SENDI.
---------------, 2001, Di tengah Konflik Media Harus Lebih Humanis, Harian Suara Merdeka, Semarang.
KIPPAS, 2002, Luka Aceh Duka Pers, Ed. J. Anto, Medan.
Muis, A. 2001, Komunikasi Islami, Pen. ROSDA, Bandung.
Ahmad, S.M, dkk, 1999, Merdeka Dalam Perdebatan, Citra Putra Bangsa, Jakarta.
Bimo Nugroho, 1999, Politik Media Mengemas Berita, ESAI, Jakarta.
Calhoun, C, 1999, Nasionalisme dan Sivil Society. Jurnal Ilmu sosial Transformatif, No. 1, Jakarta: INSIST.
Cohen and Arato, 1992, Civil Society and Political  Theory. Massachuset: MIT Press.
Dan Nimno, 1999, Komunikasi Politik, Komuniukator, Pesan Dan Media, Remaja Roada Karya, Bandung.
Hasan Saleh, 1992, Mengapa Aceh Bergolak, Temprit, Jakarta.
Hikam, M.A.S, 1997, Demokrasi dan Sivil Society, LP3ES, Jakarta.
___________,   1999, Islam, Demokratisasi, dan Pemberdayaan Sivil Society, Erlangga, Jakarta.
Piliang, 2002, Sebuah Dunia Yang Menakutkan: Mesin-Mesin Kekerasan Dalam Jagat Raya, Mizan, Bandung.
Prasetyo, 2001, Konflik Dan Ide Jurnalisme Damai, KIPPAS, Medan.
Pobotinggi, 1998, Hanya Yang Berdarah Berhak Berkata, Grasindo, Jakarta.
Zulkarimein Nasution, 1996, Komunikasi Pembangunan, Persada, Jakarta.
Harian Serambi Indonesia, Jum’at, 19 Desember 2003.
Tabloid Kontras, No.271, 18-24 Desember 2003.
Tabloid Bedoh, Edisi 8, 19 Nopember-3 Desember 2003.
Harian Surabaya Post, 31 Desember 2003
Harian Waspada, 8 Januari 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar