REVITALISASI DAN REKONSTRUKSI PENDIDIKAN MORAL DALAM SISTEM
PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh:
Buhori Muslim
ABSTRAK
Proses pembelajaran yang
dilaksanakan baik di sekolah maupun di luar sekolah perlu disesuaikan dengan
perkembangan tuntutan pembangunan, dan selaras dengan tujuan pendidikan
nasional. Proses pendidikan harus memperhatikan aspek, intelektual, rohaniah,
jasmanih dan spiritual. Oleh karena itu pendidikan harus mampu mengembangkan
kemampuan peserta didik, membentuk watak dan karakter mereka untuk menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Peserta didik harus diarahkan menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya.
Untuk itu, dibutuhkan kultur sekolah dalam membangun nilai-nilai akhlak yang
baik yang dapat menjadi sarana yang efektif dalam mentransformasi nilai-nilai
moral-spiritual yang sangat berguna bagi pembentukan karakter peserta didik
yang pada gilirannya diharapkan menjadi karakter budaya bangsa. Dengan demikian,
nilai-nilai moral diharapkan akan tercermin dalam akhlak kehidupan sehari-hari.
Hal ini menuntut kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai
kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta
didik.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan
di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Pendidikan dalam proses mencapai tujuannya perlu dikelola dalam suatu sistem
terpadu dan serasi, baik antar sektor pendidikan dan sektor pembangunan
lainnya.
Pendidikan yang dilaksanakan baik di sekolah maupun di
luar sekolah perlu disesuaikan dengan perkembangan tuntutan pembangunan yang
memerlukan berbagai jenis keterampilan dan keahlian disegala bidang serta ditingkatkan
mutunya sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pendidikan tersebut harus
memperhatikan aspek, rohaniah, jasmanih dan spiritual.
Sebagai bangsa Indonesia, kita harus mengartikan dan
memahami pendidikan sebagai perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang berakar
pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945
dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional dengan sifat dan kekhususan
tujuannya, dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat
perkembangan peserta didik, keluasan dan kedalaman bahan pengajaran.
Oleh karena itu pendidikan berlangsung harus sesuai
dengan tujuan pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan Nasional sebagaimana
dinyatakan di dalam UU RI No. 2 tahun 1989 pasal 3, adalah, terwujudnya bangsa
yang cerdas, manusia yang utuh beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, berbudi pekerti luhur, terampil dan berpengetahuan, sehat jasmani dan
rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri, bertanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.[1]
Sementara dalam dalam BAB II pasal 3 UUSPN tahun 2003 disebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Kemudian pada pasal 30 UUSPN, disebutkan bahwa
pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi ahli ilmu agama.[2]
Hal ini mencerminkan betapa pentingnya posisi pendidikan akhlakul karimah dalam
bingkai pendidikan nasional.
Sementara itu, dalam peringatan Hari Pendidikan
Nasional tahun 2003, Megawati Sukarno Putri, Presien RI saat itu menegaskan,
kegagalan dan kekurangberhasilan yang terjadi selama ini merupakan cerminan
dari kegagalan dalam membentuk mental dan karakter sebagai bangsa yang sedang
membangun. Senada dengan pernyataan Mantan Ibu Negara RI tersebut, Wakil
Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Fasal Jalal
mengakui, pendidikan karakter harus dibangun secara integral. Menurutnya,
dibutuhkan kultur sekolah membangun nilai-nilai akhlak yang baik dan itu harus
dipraktikkan dan dilaksanakan. Semua mata pelajaran menuntut kompetensi yang
menanggung nilai-nilai kebajikan, seperti kebaikan, kejujuran, keadilan,
disiplin, dan sebagainya. Pendidikan karakter tidak harus diajarkan di sekolah
saja, tetapi harus menjadi tanggung jawab semua guru, orang tua, rumah,
sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Menurut praktisi pendidikan, Ratna Megawangi, pendidikan
karakter harus mampu menyukseskan proses internalisasi nilai-nilai moral. Jadi,
bukan sekadar mengetahui mana yang baik dan buruk. Tapi, seorang anak didik
juga harus mampu mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dengan benar dalam
kehidupan sehari-hari. Pakar psikologi sosial Yayah Khisbiyah menyatakan,
pentingnya menyiapkan peserta didik sebagai warga negara yang kritis dan mampu
memberikan kontribusi dalam memajukan bangsa.
Semua ungkapan-ungkapan ini, bagaikan bermuara pada
kesimpulan tentang tipisnya etika kita dalam membina kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kalau disimak ujung dari semua itu seakan-akan berhenti pada
ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan nasional kita. Kesadaran akan
adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan tuntutan reformasi
yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan lainnya. Bahkan
di kawasan Asia, Indonesia dinilai sebagai negara yang paling ketinggalan (least
well-educated country) dalam pendidikan baik dari budgeting, out
put, maupun manjerial.
Untuk menyusun dan mengimplentasikan pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan
ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.[3]
Dari ilustrasi tersebut, nampak jelas urgensitas
pendidikan dan pembinaan akhlakul karimah (moralitas) dalam sistem pendidikan
nasional. Ungkapan manusia seutuhnya yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia,
demokratis, berbudi pekerti luhur, mandiri serta memiliki rasa tanggungjawab
terhadap sesama, merupakan manipestasi dari konsep pendidikan akhlak
(moralitas). Eksistensi pendidikan akhlak dalam sistem pendidikan nasional
sebenarnya menempati posisi teratas, dan utama. Akan tetapi, bila dikaji lebih
jauh lagi pada pasal 37 UUSPN tahun 2003 tersebut, ditemukan bahwa kurikulum
yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, sangat minim materi ajar yang
berhubungan dengan akhlak dan agama. Dalam prakteknya juga ditemukan bahwa
pendidikan agama yang memuat di dalamnya materi akhlak (moralitas) hanya
diberikan satu kali tatap muka per minggu (2 jam pelajaran/minggu). Hal ini
menyebabkan tujuan tersebut tidak mungkin dicapai secara maksimal.
Pendidikan akhlak merupakan salah satu materi yang
paling utama diterapkan kepada anak bangsa untuk menciptakan suatu masyarakat
yang berperadaban dan berkeadilan. Dalam UUD 1945 pasal 31 dijelaskan bahwa
pemerintah berkewajiban menjamin keberlangsungan pendidikan anak bangsa dan
memajukan kualitas bangsa secara komprehensif, integrated dan professional
melalui institusi pendidikan. Dengan demikian, diperlukan suatu upaya dalam
sistem pendidikan nasional yang berorientasi akhlakul karimah (moralitas)
menuju masyarakat Indonesia yang berperadaban dan berkeadilan.
Upaya yang bersifat reformatif dalam proses pendidikan
sangat diperlukan agar pendidikan kita tidak berjalan di tempat. Tujuan utama
melakukan upaya yang bersifat reformatif dalam sektor pendidikan ialah untuk
melakukan rekonstruksi sosial ke arah bentuk masyarakat madani ideal seperti
yang dicita-citakan. Dengan upaya yang reformatif, semua praksis pendidikan
yang bertentangan dengan proses demokratisasi kehidupan yang sehat, adil, dan
berharkat, perlu disingkirkan. Dengan paradigma yang demikian itu, rekonstruksi
sosial akan mampu membangun masyarakat menjadi masyarakat madani yang penuh
dengan praktik-praktik kehidupan atas dasar kasih sayang antara sesama warga
masyarakat secara egaliter.
Sebenarnya, terlepas dari berbagai
kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar
nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan
implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan seperti
yang diharapkan dalam penciptaan karakter anak didik yang baik sebenarnya dapat
dicapai. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan pembinaan karakter dalam
materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta
didik dalam kehidupan sehari-hari. Usaha ini dapat dilakukan dengan
internalisasi nilai terhadap semua mata pelajaran. Proses internalisasi ini
dapat ditempuh dengan tiga rekayasa, yaitu mengubah lingkungan dengan cara
menata peraturan serta konsekuensi di sekolah dan dirumah, Memberikan
pengetahuan, tentang bagaimana melakukan perilaku yang diharapakan untuk muncul
dalam kesehariannya serta diaplikasikan, dan terakhir mengkondisikan emosi anak
didik. Emosi manusia adalah kendali 88% dalam kehidupan manusia. Jika mampu
menyentuh emosinya dan memberikan informasi yang tepat maka informasi tersebut
akan menetap dalam hidupnya.[4]
Sistem
Pendidikan Nasional
Kelahiran Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada dasarnya merupakan salah satu wujud reformasi
bangsa dalam bidang pendidikan sebagai respons terhadap berbagai tuntutan dan
tantangan yang berkembang baik global, nasional, maupun lokal. Dalam konsideran
UU tersebut dinyatakan: “bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan
efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu
dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.”
Moch. Surya menyatakan bahwa Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 mengandung sejumlah paradigma baru yang
menjadi landasan perwujudan pendidikan nasional. Paradigma tersebut, antara
lain:
1. Penyelenggaraan pendidikan
nasional dilandasi dengan prinsip-prinsip berikut ini: a) Secara demokratis
dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keagamaan, dan budaya bangsa. b)
Sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multi makna. c)
Sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan yang berlangsung sepanjang hayat.
d) Sebagai proses keteladanan membangun kemauan dan kreativitas dalam proses
pembelajaran. e) Mengembangkan budaya belajar (baca, tulis, dan hitung) bagi
segenap warga masyarakat. f) Memberdayakan masyarakat melalui partisipasi dan
pengendalian mutu layanan pendidikan.
2.
Demokratisasi dan desentralisasi sebagai semangat yang melandasi
penyelenggaraan pendidikan nasional dengan lebih menekankan peran serta
masyarakat dan pemerintah daerah dalam keseluruhan aktivitas penyelenggaraan
pendidikan.
3. Peran serta
masyarakat sebagai konsekuensi demokratisasi pendidikan nasional maka
masyarakat memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
4. Tantangan global, hal ini
berimplikasi bahwa pendidikan nasional harus beradaptasi dengan perkembangan
global yang menuntut sumber daya manusia yang lebih berkualitas dalam
menghadapi persaingan global di segala bidang.
5. Kesetaraan dan keseimbangan,
bahwa Undang-undang Sisdiknas yang baru mengandung paradigma dengan menerapkan
konsep kesetaraan dalam penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah memiliki kesetaraan dengan satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh masyarakat (swasta). Sedangkan yang dimaksud keseimbangan ialah
keseimbangan yang utuh antara unsur-unsur kepribadian yang meliputi aspek
intelektual, spiritual, emosional, fisik, sosial, moral, dan kultural.[5]
Menurut pandangan kami, UUSPN tahun 2003, secara
teoritis, banyak memiliki kelebihan dibanding dengan UU Sistem Pendidikan
Nasional sebelumnya, khususnya dalam bidang pendidikan akhlak, akan tetapi bila
ditelaah secara operasional, proses pendidikan akhlak yang dilakukan dalam
proses pembelajaran masih lemah dan bahkan terabaikan. Hal ini dapat dilihat
dari jumlah tatap muka mata pelajaran agama yang masih minim, tidak masuknya
materi akhlak tersebut sebagai salah satu indikator kelulusan anak didik dalam
suatu tingkat dan jenjang kependidikan.
Hal inilah yang menjadikan kualitas anak didik yang dihasilkan oleh
institusi-instusi pendidikan di Indonesia khususnya pada institusi pendidikan
umum, sangat lemah dari aspek moralitas, sekalipun mereka memiliki kualitas
yang memadai dari aspek kognitif dan intelektual.
Disamping itu, bila kita amati sistem pendidikan
Nasional di Indonesia terlalu birokratis. Sebuah gambaran sistem pendidikan
nasional adalah tentang ketidaknyamanan dan ketidakberhasilan sistem pendidikan Nasional karena terlalu dicampuri
oleh sistem birokrasi yang ketat dan berlebihan. Kondisi sistem pendidikan di Indonesia tidak berkembang akibat belenggu
birokrasi negara yang dipengaruhi oleh perkembangan sosial politik. Hal ini
seolah-olah menurut asumsi penulis bahwa birokrasi sistem pendidikan di
Indonesia diwakili oleh sejarah birokrasi pendidikan nasional. Dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Tahun 1989 disebutkan bahwa
yang dikatakan sistem pendidikan Nasional adalah perpaduan pendidikan warisan
Belanda dan pendidikan Islam.
Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa sistem
pendidikan warisan Belanda dan bahkan Jepang juga memberikan andil yang cukup
besar dalam melahirkan para intelektual dan pemikir di Indonesia. Hal ini
menunjukkan sistem pendidikan saat itu
menjadi bagian dari konsep yang utuh tentang hakikat pendidikan
Nasional. Sebenarnya hal inilah yang menjadikan sistem pendidikan nasional
menjadi dikotomis atau dualisme, baik dalam hal manajemen pengelolaan,
pembiayaan, kurikulum, dan perekrutan tenaga pengajar.
Dari aspek manajemen pengelolaan, diketahui bahwa
sistem pendidikan Nasional dikelola oleh dua lembaga/kementerian, yaitu
Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama. Kedua kementerian itu,
sama-sama memiliki seorang menteri yang langsung bertanggungjawab kepada
Presiden. Masing-masing kementerian memiliki kebijakan tersendiri dalam
melakukan manajemen pengelolaan pendidikan. Sebenarnya hal inilah yang
menjadikan sistem pendidikan Nasional menjadi tumpang tindih dan tidak
berkembang.
Hal ini dapat dilihat dari muatan kurikulum setiap
lembaga pendidikan di kedua kementerian. Kementerian Pendidikan Nasional lebih
banyak mengakomodir ilmu-ilmu umum dan meminimalkan ilmu-ilmu agama. Sedangkan
kementerian Agama memberikan porsi yang agak lebih pada muatan-muatan
keagamaan, walaupun pada aspek lain tetap menekankan pada bidang studi umum.
Akan tetapi, suatu hal yang sangat dilematis adalah, bahwa kebijakan pendidikan
secara Nasional berada pada kementerian
pendidikan Nasional. Hal ini dapat dilihat dengan pemberlakuan Ujian
Nasional yang mayoritas bidang studi yang diujikan adalah bidang studi umum,
kecuali pada bidang studi tertentu pada sekolah-sekolah di bawah naungan
kementerian Agama.
Jadi secara umum dapat kita katakan bahwa masih
diperlukan perhatian khusus dari pengambil kebijakan terhadap penerapan UUSPN
tahun 2003 dalam proses kependidikan, karena masih memiliki banyak kelemahan,
khusunya pada aspek aplikasi pendidikan akhlak (moral) bagi anak didik di
tingkat sekolah dasar dan menengah. Implilaksi dari lemahnya proses
pembelajaran akhlak (moral) bagi anak-anak bangsa di lembaga-lembaga pendidikan
nasional, akan menyebabkan lemahnya kualitas generasi penerus bangsa secara
moral, yang pada akhirnya usaha untuk menciptakan warga Negara yang berakhlak
mulia dan memiliki karakter inovatif religious akan tidak tercapai sebagaimana
yang diamanatkan oleh pendiri bangsa.
Tujuan
Pendidikan Nasional
Perlu digaris bawahi, bahwa tujuan utama pendidikan nasional
adalah menyemai karakter bangsa yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Dalam hal ini pendidikan dimaknai sebagai proses belajar dan adaptasi secara
terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita luhur masyarakat dan
diorientasikan untuk menghadapi tantangan eksternal. Salah satu karakter budaya
kuat bangsa Indonesia adalah pengamalan dan sikap berpegang teguh atas
nilai-nilai religiusitas dan moral dalam dimensi kehidupan. Indonesia sejak
zaman nenek moyang demikian menjunjung tinggi nilai moral, budaya, dan agama
dan ini terjadi di hampir semua suku bangsa yang tercermin dalam adat istiadat
yang mereka lakukan.
Cara pandang religius inilah yang menjadi modal dasar
pembangunan termasuk dalam pengembangan pendidikan. Pembangunan manusia
Indonesia melalui pendidikan dengan demikian berbeda dengan karakter
pembangunan manusia Barat yang sekuler. Sistem pendidikan barat hanya lebih
mementingkan kulit daripada isi, dan juga hanya lebih mementingkan kualitas
dari kuantitas. Sistem pendidikan barat tidak dapat memecahkan permasalahan
pendidikan di dunia Islam, dan bahkan seringkali menimbulkan
permasalahan-permasalahan baru bagi masyarakat Islam yang menerapkan system
tersebut.[6]
Dalam system pendidikan barat, pendidikan keagamaan tidak dikelola dan diatur
oleh Negara, bahkan tidak diajarkan dalam lembaga pendidikan formal, melainkan
diserahkan sepenuhnya kepada individu untuk mencari dan mengembangkannya
menurut pemahamannya masing-masing.
Menurut praktisi pendidikan, bahwa krisis pendidikan
Islam pada masa kini adalah salah satunya makin bergesernya sikap manusia ke
arah pragmatisme yang pada gilirannya membawa ke arah materialisme dan
individualisme, sehingga melengahkan nilai-nilai agama dimana prinsip-prinsip
moralitas dan etis serta berorietasi ke arah ukhrâwî semakin mengendor bahkan mengerosi jiwa pribadi dan
masyarakat Islam.[7] Oleh
karena itu, pembangunan SDM kita menekankan pentingnya moral (budi pekerti) di
semua lini kehidupan baik privat maupun publik.
Adanya cakupan pendidikan nasional ke arah pendidikan
budi pekerti seperti yang terdapat dalam system pendidikan nasional, sejalan
dengan konsepsi dasar pendidikan yang diletakkan oleh Bapak Pendidikan Nasional
Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan budi
pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani, selaras
dengan alam dan masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Mohammad Natsir juga
menegaskan makna pendidikan kita adalah tidak sekuler. Menurut Natsir
sebagaimana yang dikutip Jazuli
Juwaini mengatakan, bahwa yang dinamakan pendidikan ialah satu
pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan
arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya.[8]
UUD 1945 mengamanatkan pemerintah untuk
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. UUD 1945 menginginkan
karakter manusia Indonesia yang berakhlak mulia, bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dan cerdas dalam kehidupannya. Amanat UUD 1945 tersebut selanjutnya
dijabarkan di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 1 ayat (1) menjabarkan substansi pendidikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Inilah makna pendidikan yang tidak sekularistik atau pendidikan yang membangun
manusia Indonesia seutuhnya yaitu memiliki kekuatan moral, spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Agar tujuan pendidikan ini dapat
terpenuhi, maka salah satu strategi yang harus dilakukan adalah melakukan
internalisasi nilai-nilai moralitas dan keagamaan ke dalam seluruh komponen
pendidikan, mulai dari komponen peserta didik, pendidik, kurikulum, metode,
sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan dan sampai pada aspek evaluasi
pembelajaran.
Internalisasi Nilai-Nilai Moral dalam Pendidikan
Perlu diketahui, bahwa, manusia merupakan
makhluk Allah yang dianugrahi potensi untuk mengimani Allah dan mengamalkan
ajaran-Nya. Karena fitrah inilah manusia dijuluki homo religius, makhluk
beragama. Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang
mengandung kemungkinan atau peluang untuk berkembang. Namun dalam
perkembangannya manusia sangat tergantung kepada proses pendidikan yang
diterima (faktor lingkungan).[9]
Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk pada aspek rohaniah individu yang
berkaitan dengan keimanan kepada Tuhan dan pengaktualisasiannya melalui
peribadatan kepada-Nya., baik yang bersifat hablumminallah dan hablumminanas.
Keimanan kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari
internalisasi, yaitu proses pengenalan, pemahamamn, dan kesadaran pada diri
seseorang terhadap nilai-nilai agama.
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan
kepada anak didik agar mereka berkembang sesuai dengan
potensinya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan
emosional), sosial, maupun moral-spiritual. Sekolah mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak didik, karena sekolah
merupakan substansi dari keluarga dan guru substitusi dari orangtua. Mengenai
peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa
penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan
serta macam-macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya
dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang
tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki
dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun
kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.[10]
Dalam kaitannya dengan
upaya mengembangkan fitrah beragama anak didik, sekolah mempunyai peranan yang
sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan
mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap
ajaran atau hukum-hukum agama. Diantara strategi yang dilakukan untuk melakukan
internalisasi nilai-nilai moralitas dalam proses pendidikan dan pengajaran
adalah sebagai berikut:
1.
Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode) yang
bervariasi (seperti ceramah,
tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya;
2.
Dalam
menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks
atau materi itu saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya
peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat (kontekstual);
3.
Guru
hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh)
akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai-nilai
yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan
sehari-hari;
4.
Guru
hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia);
5.
Guru
hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal
materi-materi yang terkandung dalam kurikulum;
6.
Guru
hendaknya memahami ilmu-ilmu lain yang relevan atau yang menunjang kemampuannya
dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi pendidikan,
bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikanm teknik
evaluasi, dan psikologi belajar agama;
7.
Pimpinan
sekolah, guru-guru dan pihak sekolah lainnya hendaknya memberikan contoh,
tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama, seperti dalam melaksanakan
ibadah shalat, menjalin tali persaudaraan, memelihara kebersihan, mengucapkan
dan menjawab salam, semangat dalam menuntut ilmu, dan berpakaian
muslim/muslimat (menutup aurat);
8.
Guru-guru
yang mengajar bukan pendidikan agama hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai
agama ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya;
9.
Sekolah
hendaknya menyediakan saran ibadah (mesjid) yang memadai dan memfungsikannya
secara optimal;
10.
Sekolah
hendaknya menyelenggarakan kegiatan ektrakulikuler kerohanian bagi para siswa
dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.[11]
Untuk memberikan
pendalaman, penguatan dan pembiasaan terhadap sikap dan perilaku yang baik
peserta didik, maka perlu dilakukan proses internalisasi nilai-nilai akhlak mulia
dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Untuk perlu didesain model
ekstra kurikuler yang bernuansa islami, seperti:
1.
Pembiasaan Akhlak Mulia, sebagi upaya yang
dilakukan oleh sekolah secara rutin dan berkelanjutan dalam membangun karakter
(character building) keagamaan dan
akhlak mulia peserta didik, sebagai proses internalisasi nilai-nilai keagamaan
agar peserta didik terbiasa berbicara, bersikap, dan berperilaku terpuji dalam
kehidupan keseharian. Melalui kegiatan pembiasaan, diharapkan peserta didik
memiliki karakter dan prilaku terpuji baik dalam komunitas kehidupan di
sekolah, di rumah, maupun di masyarakat;
2.
Pekan Keterampilan dan Seni Islami, sebagai wahana kompetisi di kalangan
peserta didik dalam berbagai jenis keterampilan dan seni agama yang
diselenggarakan mulai tingkat sekolah, gugus, kecamatan kabupaten/kota,
propinsi sampai dengan tingkat nasional. Jenis keterampilan yang dapat
dilombakan antara lain: Musabaqah Tilawatil Qur'an, kaligrafi, hafalan surat
pendek, pidato, cerdas cermat, khutbah Jum'at, hafalan do'a, menjadi imam,
adzan, baca sajak, puisi, lomba mengarang, kesenian Islam seperti nasyid,
qasidah, dan lain-lain. Mengenai jenis keterampilan yang
dilombakan, setiap sekolah atau daerah dapat memilih jenis lomba yang cocok dan
lebih memasyarakat di daerahnya masing-masing;
3.
Pesantren Kilat, merupakan kegiatan pesantren yang dilaksanakan
pada saat liburan sekolah, dengan waktu yang relatif singkat di bulan Ramadhan atau
di luar Ramadhan;
4.
Ibadah Ramadhan, adalah salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang bernuansa
islami yang dilakukan selama bulan suci Ramadhan, dengan durasi waktu mulai
malam pertama shalat tarawih sampai dengan kegiatan halal bihalal
(bersalam-salaman saling maaf-maafan) yang dilaksanakan dalam nuansa perayaan
hari raya Iedul Fitri;
5.
Tuntas Baca Tutis Al-Qur'an, adalah kegiatan khusus yang dilakukan oleh
sekolah di luar jam pelajaran dalam rangka mendidik, membimbing, dan melatih
keterampilan membaca, menulis, menghafal, dan memahami arti Al-Qur'an,
khususnya bagi para peserta didik yang belum memiliki kompetensi membaca dan
menulis Al-Qur'an;
6.
Wisata Rohani, adalah salah satu kegiatan yang dapat dilakukan dalam bentuk
out bound atau umroh pelajar yang ditujukan sebagai wahana hiburan yang
menyenangkan sekaligus memperoleh pengetahuan dan pengalaman religius yang
bermanfaat. Kegiatan ini dapat menambah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah;
7.
Peringatan Hari Besar Islam, dengan maksud syiar Islam sekaligus menggali
arti dan makna dari suatu Hari Besar Islam,[12] dan kegiatan-kegiatan lainnya
yang mendukung pendalaman, peningkatan dan pembiasaan nilai-nilai
keislaman dalam kehidupan sehari-hari.
Disamping peranan keluarga dan sekolah dalam pembinaan
moralitas anak didik, juga perlu dilibatkan lingkungan masyarakat. Yang
dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah interaksi sosial dan sosiokulktural
yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak (terutama
remaja). Perkembangan moral seorang anak didik banyak
dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa masyarakat
(lingkungan), kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang; demikian
pula halnya degan aspek moral pada anak. Anak belajar dan
diajar oleh lingkungannnya mengenai bagaimana ia harus
bertingkahlaku yang baik dan tingkah laku yang dikatakan salah atau tidak
baik.[13]
Dalam masyarakat, anak didik melakukan interaksi
sosial dengan teman sebayanya (peer
group) atau anggota masyarakat
lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak
mulia. Namun apabila sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya itu
menunjukan kebobrokan moral, maka anak didik cenderung akan terpegaruh untuk
berprilaku seperti temannya tersebut. Hal ini terjadi, apabila anak kurang
mendapat bimbingan agama dari orang tuanya.[14].
Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa
kualitas perkembangan kesadaran beragama anak didik sangat bergantung kepada
kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri.
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif (menunjang)
bagi perkembangan kesadaran beragama anak didik adalah mereka yang: a) taat
melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling
menolong, dan bersikap jujur, dan b) menghindari sikap dan perilaku yang
dilarang agama, seperti sikap permusuhan, saling mencurigai, sikap munafik,
mengambil hak orang lain (mencuri, korupsi, dsb) dan perilaku maksiat lainnya
(berzina, berjudi dan minuman keras). Sedangkan sikap dan perilaku warga
masyarakat yang tidak kondusif, atau berpengaruh negatif terhadap perkembangan
akhlak atau kesadaran beragama akan ditandai oleh karakteristik berikut:
1.
Gaya hidup warga masyarakat (orang dewasa) yang materialistis dan
hedonisme, yaitu yang mendewakan
materi dan hidupnya sangat berorientasi untuk meraih kenikmatan (walaupun dengan cara yang melanggar aturan agama);
2.
Warga
masyarakat (baik yang memegang kekuasaan maupun warga biasa) bersikap
melecehkan norma agama, atau bersikap acuh tak acuh dan bahkan mensponsori
kemaksiatan, seperti: perjudian, prostitusi, minuman keras, dan penayangan
acara-acara televisi yang merusak aqidah dan akhlak.[15]
Dalam upaya
mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia anak didik, maka ketiga
lingkungan tersebut secara sinergi harus bekerjasama, dan bahu membahu untuk
menciptakan iklim, suasana ligkungan yang kondusif. Iklim yang kondusif
tersebut ditandai dengan berkembangnya komitmen yang kuat dari masing-masing
individu yang mempunyai kewajiban moral (orang tua, pihak sekolah, pejabat
pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam
kehidupan sehari-hari.
Membangun Kembali Semangat Nilai-Nilai Moralitas dalam Sistem
Pendidikan Nasional
Secara eksplisit desain pendidikan nasional menekankan
pentingnya pendidikan karakter dan moral. Dalam kerangka ini, pendidikan harus
menjadi sarana yang efektif dalam mentransformasi nilai-nilai moral-spiritual
yang sangat berguna bagi pembentukan karakter peserta didik yang pada
gilirannya diharapkan menjadi karakter budaya bangsa.
Philip H. Phenix sebagaimana dikutip Jazuli Juwaini
mengatakan bahwa pendidikan karakter dan moral pada dasarnya adalah to guide
the young towards voluntary personal commitment to values, yaitu pekerjaan
membimbing generasi muda untuk secara sukarela mengikatkan diri mereka kepada
norma-norma atau nilai-nilai.[16]
Yang penting di sini ialah bahwa commitment to
values atau pengikatan diri kepada nilai-nilai harus terjadi secara
sukarela, harus tumbuh dari dalam, dan bukan karena ancaman atau ketakutan
kepada sesuatu di luar hati. Dengan kerelaan tersebut, nilai-nilai moral
diharapkan akan tercermin dalam akhlak kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut
kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai kegiatan yang
aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari anak didik didik.
Pengembangan kantin kejujuran di sejumlah sekolah misalnya merupakan bentuk
terobosan kegiatan pendidikan moral. [17]
Di sejumlah madrasah bahkan telah pula dikembangkan kelas
kejujuran di mana anak didik terbiasa mengerjakan soal-soal ujian tanpa
pengawasan guru. Jika hal ini menjadi kesadaran kolektif, niscaya kita tidak akan
mendengar lagi “perburuan bocoran kunci jawaban” di setiap Ujian Nasional (UAN)
dan dalam jangka panjang dapat membangun karakter moral yang kuat pada anak
bangsa generasi penerus.
Pelajaran agama yang menjadi pijakan utama pendidikan
moral misalnya tidak boleh dikesankan sebatas penyampaian doktrin-doktrin
agama, tentang halal-haram, tata cara ibadah berikut pahala, surga dan ancaman
dosa-neraka, tetapi harus banyak berbicara dimensi pemaknaan yang mengajak anak
didik meraih kesadaran (conscience) terhadap nilai. Unsur-unsur ajaran
agama menyangkut ibadah dan hukum-hukum agama tentu saja harus disampaikan, tapi
tidak boleh dilupakan bahwa tujuan utama pendidikan akhlak (agama) adalah
internalisasi nilai sehingga menjadi karakter.
Pengajaran moral melalui pembahasaan yang divergen
atas nilai-nilai yang terkandung dalam materi ajar melalui kegiatan-kegiatan
sederhana, tapi mengena akan mengefektifkan pembentukan karakter moral para anak
didik didik. Pada gilirannya akan membentengi akhlak anak didik dari perbuatan
yang dilarang (amoral).
Hal ini tentu saja sangat penting bagi fondasi
pembangunan bangsa di masa depan. Ketika karakter moral telah membudaya, ia
akan menjadi etos kerja bangsa sehingga proses-proses politik, perumusan
kebijakan, dan praktik pemerintahan dan pembangunan akan dilandasi moralitas
yang kuat, terhindar dari berbagai penyimpangan
Penutup
Dari uraian-uraian di atas, dapat diambil
benang merahnya, yakni bahwa perubahan zaman yang semakin cepat, harus ada
tuntutan untuk mengendalikan zaman tersebut. Sebagai langkah utama adalah menerapkan
proses pembelajaran yang berorientasi akhlakul karimah (moral) sebagai
penyeimbang dalam pengendalikan pertukaran kultur yang sangat cepat melalui
media informasi yang akhir-akhir ini semakin canggih dan mengglobal.
Pendidikan akhlak mempunyai tanggung jawab
yang cukup berat dalam usahanya menciptakan manusia yang cerdas, terampil,
manusia yang beriman dan bertaqwa sehingga membentuk kepribadian yang luhur
seperti disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003.
Untuk itu lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar, menengah sampai
perguruan tinggi harus berusaha menciptakan sistem yang selain demokratis, juga
mempersiapkan dengan kebijakan-kebijakannya yang akan memperlebar ruang gerak
pendidikan akhlak bagi anak didiknya. Usaha juga harus ditunjang dengan kajian
ilmiah kritis tentang pemilihan materi-materi yang sesuai, tenaga pengajar yang
mumpuni sebagai perisai keberhasilan pendidikan aklak. Dengan demikian,
cita-cita menuju masyarakat Indonesia yang bermartabat dan berpradaban akan
terwujud. Inilah tujuan akhir yang harus dicapai oleh pendidikan nasional
sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 sebagai dasar penyelenggaraan Negara
RI.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud, UU RI
No. 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
Depdiknas, UU RI.
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN). Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Fadil al-Jamaly, Tarbiyyat
al-Insan al-Jadid, Tunis: Matba‘at al-Ittihad al-‘Am al-Tunisiyyat
al-Sughli, 1967.
http://www.yudinet.com/pendidikan/pengertian-makna-pendidikan-karakter/
diakses tanggal 12 Agustus 2011.
Husnizar, Konsep
Subjek Didik dalam Pendidikan Islam (Suatu telaah Perkembangan Spritual dan
Intelektual Subjek Didik), Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007.
Jazuli
Juwaini, Revitalisasi
Pendidikan Moral, http://m.okezone.com,
diakses tanggal 6 Oktober 2010.
Mohamad Surya, “Implikasi Kebijakan Otonomi daerah terhadap Tuntutan
Pengembangan Sumber daya Manusia” Makalah dalam Seminar Sehari
Dalam rangka Dies Natalis I Universitas Kuningan, tanggal 17 Juni 2004, di
Kuningan
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan
Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Singgih Gunarsa, Psikologi Praktis:
Anak, Remaja dan Keluarga, Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Syamsu Yusuf, Psikologi
Belajar Agama, Bandung: Maestro, 2002.
Sukirman, Modul
Pengembangan Ekstra Kurikuler PAI, Jakarta: Direktorat Pendidikan Agama
Islam,: 2011.
[1]Depdikbud, UU RI No. 2 tahun 1989,
tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, 1989
[2]Depdiknas, UU RI. No. 20
tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN). Jakarta: Balai Pustaka, 2003
[3]http://www.yudinet.com/pendidikan/pengertian-makna-pendidikan-karakter/
diakses tanggal 12 Agustus 2011
[4]http://www.pendidikankarakter.com/kurikulum-pendidikan-karakter,
diakses tanggal 12 Agustus 2011
[5]Mohamad
Surya, “Implikasi Kebijakan Otonomi daerah terhadap Tuntutan
Pengembangan Sumber Daya Manusia”
Makalah dalam Seminar Sehari Dalam rangka Dies Natalis I Universitas
Kuningan, tanggal 17 Juni 2004, di Kuningan
[6]Fadil al-Jamaly, Tarbiyyat al-Insân al-Jadid, (Tunis:
Matba‘at al-Ittihad al-‘Am al-Tunisiyyat al-Sughli, 1967), hal. 36.
[7]M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1993), hal. 41, disamping itu sumber krisis pendidikan Islam
juga meliputi krisis nilai-nilai, krisis
konsep tentang kehidupan yang baik, adanya kesenjangan kredibilitas, adanya
beban institusii sekolah yang terlalu besar, kurangnya sikap idealisme,
kurangnnya sensitif terhadap pola kelangsungan hidup masa depan, kurangnya
relevansi program pendidikan dengan kebutuhan masyarakat, adanya tendensi dalam
pemanfaatan secara naif kekuatan teknologi canggih, makin membesarnya jurang si
kaya dan si miskin, ledakan pertumbuhan penduduk dan makin menyusutnya jumlah
ulama tradisional dan kualitasnya, lihat. M. Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan…, hal. 38-41.
[8]Jazuli Juwaini, Revitalisasi Pendidikan Moral, http://m.okezone.com, diakses tanggal 6 Oktober
2010
[9]Husnizar, Konsep Subjek Didik dalam Pendidikan Islam (Suatu
telaah Perkembangan Spritual dan Intelektual Subjek Didik), (Banda Aceh:
Ar-Raniry Press, 2007), hal. 116
[10]Singgih Gunarsa, Psikologi Praktis:
Anak, Remaja dan Keluarga, (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hal. 61
[12]Sukirman, Modul Pengembangan Ekstra Kurikuler PAI, (Jakarta:
Direktorat Pendidikan Agama Islam,: 2011), hal. 37-42
[13]Singgih Gunarsa, Psikologi
Perkembangan, …, hal. 61
[14]Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar, …, hal. 53
[15] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar, …, hal. 53
[16] Jazuli Juwaini, Revitalisasi,
…,hal. 2